23 Agustus 2012

Teori Peluang (Pengantar)


Mengapa belajar pengantar statistik atau lebih tepatnya mengenai teori peluang/probabilitas, hampir pasti bisa ditebak kalau contoh yang akan digunakan dalam penghitungan / penerapan rumus adalah dadu, kartu dan uang logam? Terkadang hal itu membuat bosan bagi mereka yang cepat bosan. Atau menjadi hal yang disepelekan karena contohnya saja sudah hal-hal sepele bukan hal yang lebih riil bagi yang berpikiran sempit. Dan sesungguhnya juga sudah ada jawaban yang hampir pasti sudah menjadi rahasia umum. Yaitu karena dari situlah awal mula dikemukakan teori peluang dan contoh-contoh itulah yang paling mudah bisa menjelaskan sebagai pemaparan awal. Sesungguhnya memang alangkah lebih baik agar selepas belajar mengenai contoh-contoh tentang peluang dadu, kartu dan mata uang logam agar diberikan contoh-contoh lain yang lebih riil dan bermanfaat. Segera, dan lebih banyak. Mengulang hanya kebutuhan untuk mengingat teori dasar. Dan entah sampai kapan teori dadu, kartu dan uang logam akan selalu ada di pengantar statistik. Sepertinya sampai kapanpun ilmu statistik akan eksis hingga beratus atau beribu tahun mendatang, akan tetap ada contoh uang logam, kartu dan dadu. Itu juga selagi dadu, kartu dan uang logam eksis di peradaban.

Probabilitas adalah kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu peristiwa. Tentu dengan pendekatan akal logis saja sesuai dengan batasan dan asumsi tertentu. Karena pada dasarnya manusia hanya bisa menduga apa yang akan terjadi tetapi tidak bisa mengetahui apa saja yang belum terjadi. Pengertian mengenai probabilitas dapat dilihat dari tiga macam pendekatan.

Pendekatan Klasik; diartikan sebagai hasil bagi banyaknya peristiwa yang dimaksud dengan seluruh peristiwa yang mungkin. Rumus : P (A) = x / n. Misalnya sebuah dadu dilempar sekali kemudian ditentukan probabilitas munculnya angka lima.

Pendekatan Frekuensi Relatif; probabilitas adalah proporsi waktu terjadinya suatu peristiwa dalam jangka panjang jika kondisi stabil atau frekuensi relatif dari seluruh peristiwa dalam sejumlah besar percobaan. Misalnya dari 100 mahasiswa yang mengambil mata kuliah tertentu terdapat sebaran beberapa kemungkinan nilai, lalu diminta menentukan probabilitas seseorang untuk mendapat nilai tertentu.

Pendekatan Subjektif; tingkat kepercayaan individu atau kelompok yang didasarkan pada fakta-fakta / peristiwa masa lalu yang ada atau berupa terkaan saja. Misalnya perasaan atau feeling seorang direktur dalam memilih 3 calon sekretarisnya.

Contoh manfaat teori peluang dalam perkara yang cukup sederhana. Misalnya peluang seorang pelamar kerja lolos dari 100 calon lain dengan asumsi semuanya dapat mengerjakan soal ujian dengan cukup baik rata-rata dan hanya sekali tes; maka peluangnya adalah 1/100 = 0.01. Ya, memang cukup kecil untuk lolos ujian karena yang diambil dari 100 orang calon tersebut hanya satu orang. Berbeda kasusnya jika seseorang tersebut merasa tidak bisa cukup baik dapat mengerjakan soal ujian, feeling bisa mengerjakan semua soal hanya 60 % atau 0.6. Maka peluang lolos ujian kerja menjadi 0.6 x 0.01 = 0.006. Ya, bertambah kecil untuk lolos. Itu dengan catatan sesuai dengan jangkauan akal manusia. Oleh karena itu perlu ditambah dengan doa

Episode Kehidupan


Kebahagiaan bagai berlian di dalam sebuah laci yang terkunci pada lemari yang terkunci di dalam kamar yang terkunci di sebuah rumah yang terkunci dengan pagar tinggi yang terkunci, begitulah gambaran seorang ulama.

Dalam perjalanan hidup manusia, tentu yang diharapkan adalah kebahagiaan terus-menerus alias bahagia selalu, tapi mungkinkah? Hal ini mungkin terjadi apabila ukuran kebahagiaan kita adalah iman, sehingga setiap waktu kita akan merasa bahagia karena meyakini setiap episode kehidupan adalah buah dari kasih sayang Allah. Tetapi menjadi tidak mungkin manakala ukuran kebahagiaan semata nafsu dan prasangka.

Perhatikan firman Allah dalam Al-Qur’an:”Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik.”(QS. Ar-Ra’du [13]: 29)

Sejujurnya, hidup ini menjadi tidak menarik manakala berlangsung datar, bahagia terus atau sedih terus. Kehidupan bagaikan alunan musik yang memiliki dinamika sehingga menarik dan enak didengar. Kadang dengan nada yang tinggi dan sesekali turun ke nada yang rendah, sehingga musik itu akan enak didengar. Penyanyi yang mampu menyanyikan lagu dengan nada yang tepat dan penghayatan yang baik, maka ia akan disukai pendengarnya.

Karena hakikat kehidupan adalah anugerah dan ujian, maka kebahagiaan dan kesedihan menjadi keniscayaan. Adanya malam karena adanya siang, adanya kebaikan karena adanya kejahatan, begitu pula adanya kebahagiaan tentu karena adanya kesedihan. Pria tiada artinya tanpa kehadiran wanita, begitu pula wanita tidak berdaya tanpa kehadiran pria. Inilah keadilan Tuhan, semuanya diciptakan seimbang dan berpasangan.

Setiap manusia harus siap menghadapi kenyataan yang terjadi. Saat kita bahagia, kita harus bersyukur dan menyiapkan diri untuk menyongsong kesedihan yang pasti akan menjelang. Saat kita sedih, sabarlah karena kebahagiaan akan segera menyapa. Kita harus mampu menghadapi kebahagiaan dan kesedihan dengan sikap yang terbaik. Hidup ini adalah pilihan yang menuntut kita untuk mampu memilih yang terbaik. Semakin kita mampu memilih yang terbaik, kelak kita akan mendapatkan yang terbaik di kehidupan yang akan datang. Sebaliknya, bila yang kita pilih justru hal yang buruk, bersiaplah untuk mendapatkan yang serupa nanti.

Saat bayi dilahirkan, ia menangis sejadinya, sungguh tragis. Pertanyaannya mengapa setiap bayi yang dilahirkan pasti menangis? Apakah mereka telah diajari bahwa manakala mereka dilahirkan maka mereka harus menangis? Lalu apa maksudnya? Setiap bayi menangis saat dilahirkan karena mereka sedih akan segera menghadapi ujian yang berat, yakni hidup di dunia. Padahal kalau mereka bisa memilih, lebih baik mereka tetap di dalam rahim sang ibu. Ya, inilah awal kesedihan yang pasti dirasakan manusia, walau otak mereka belum berpikir sempurna.

Setiap muslim mulai merasakan ujian kehidupannya manakala beranjak baligh, sejak saat itulah kita dipikulkan beban untuk melakukan hal yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Mau ataupun tidak inilah kehidupan. Semakin banyak hal yang baik yang kita lakukan maka kita semakin sukses menjalani kehidupan ini, tapi jika sebaliknya, maka gagallah kita.

Norma yang membimbing kita untuk melakukan segala hal yang baik dan menjauh dari segala hal yang buruk. Norma ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri, ada yang berasal dari luar, “something is out there”. Manakala kita berhasil memahami semua norma yang berlaku, maka semakin kita mahir melakukan hal yang baik. Benar dan salah bisa kita temukan dengan logika, indah dan jelek bisa kita temukan dengan estetika, sedangkan baik dan buruk ada pada etika. Budaya, hukum, sosial, adalah ragam norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tapi semua itu bermuara pada norma agama, terutama Islam yang memang mencakup segala aspek kehidupan manusia.

Kondisi masyarakat kita kini memang telah sedemikian jauh dari norma-norma yang berlaku terutama norma agama. Banyak yang tidak lagi memperhatikan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal ini jelas berbahaya. Seperti sekawanan semut yang membuat rumah bersama-sama, setiap individu semut berusaha mengikuti aturan yang berlaku agar rumahnya bisa diselesaikan dengan sempurna. Manakala ada sebagian semut yang keluar dari aturan, maka mereka akan mengganggu stabilitas dan soliditas kelompok dan rumah yang sedang dibuat pun tidak akan selesai sesuai harapan. Keberhasilan sebuah masyarakat merupakan akumulasi keberhasilan setiap individu anggotanya, begitu pula kegagalannya. Kita harus peduli manakala ada di antara kita yang berbuat kesalahan, karena dampak dari kesalahan itu akan kita dapatkan juga. Semoga kita mampu menikmati setiap episode kehidupan ini dengan senantiasa berpegang teguh pada prinsip norma Islam

Mewujudkan Netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Era Otonomi Daerah


Pendahuluan

Reformasi di bidang kepegawaian yang merupakan konsekuensi dari perubahan di bidang politik, ekonomi dan sosial yang begitu cepat terjadi sejak paruh pertama tahun 1998 ditandai dengan berlakunya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan perundang-undangan yang merupakan perubahan dan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 dengan pokok bahasan yang sama tersebut, kemudian diikuti dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, baik yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden (Keppres), untuk menjamin terlaksananya Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ini secara baik dan terarah.

Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) di negara manapun mempunyai tiga peran yang serupa. Pertama, sebagai pelaksana peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan pemerintah. Untuk mengemban tugas ini, netralitas PNS sangat diperlukan. Kedua, melakukan fungsi manajemen pelayanan publik. Ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi peran ini adalah seberapa jauh masyarakat puas atas pelayanan yang diberikan PNS. Apabila tujuan utama otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga desentralisasi dan otonomi terpusat pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, maka PNS pada daerah-daerah tersebut mengerti benar keinginan dan harapan masyarakat setempat. Ketiga, PNS harus mampu mengelola pemerintahan. Artinya pelayanan pada pemerintah merupakan fungsi utama PNS. Setiap kebijakan yang diambil pemerintah harus dapat dimengerti dan dipahami oleh setiap PNS sehingga dapat dilaksanakan dan disosialisasikan sesuai dengan tujuan kebijakan tersebut. Dalam hubungan ini maka manajemen dan administrasi PNS harus dilakukan secara terpusat, meskipun fungsi-fungsi pemerintahan lain telah diserahkan kepada pemerintah kota dan pemerintah kabupaten dalam rangka otonomi daerah yang diberlakukan saat ini.


Prasyarat Netralitas

Untuk mewujudkan ketiga peran tersebut diharapakan dalam manajemen sistem kepegawaian perlu selalu ada:

(a) Stabilitas, yang menjamin agar setiap PNS tidak perlu kuatir akan masa depannya serta ketenangan dalam mengejar karier.

(b) Balas jasa yang sesuai untuk menjamin kesejahteraan PNS beserta keluarganya. Sehingga keinginan untuk melakukan korupsi, baik korupsi jabatan maupun korupsi harta, menjadi berkurang, kalau tidak mungkin dihapuskan sama sekali dan

(c) Promosi dan mutasi yang sistematis dan transparan, sehingga setiap PNS dapat memperkirakan kariernya dimasa depan serta bisa mengukur kemampuan pribadi.



Ketiga prasyarat ini akan menumbuhkan keyakinan dalam diri setiap PNS, apabila mereka menerima sesuatu jabatan harus siap pula untuk melepas jabatan yang didudukinya itu pada suatu waktu tertentu. Bahkan kehilangan jabatan tersebut tidak perlu dikuatirkan. Apabila sistem penggajian sudah ditata rapih, setiap PNS tidak perlu mengejar jabatan hanya sekedar untuk mempertahankan kesejahteraan hidup bersama keluarganya. Selain itu, sistem kepegawaian yang memenuhi ketiga kreteria tersebut akan menjaga integritas dan kepribadian setiap PNS yang memang sangat diperlukan untuk mewujudkan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara seperti diamanatkan dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999.

Masalah Otonomi
Dalam perkembangan keadaan saat ini, diperkirakan akan timbul berbagai masalah yang menyangkut kepegawaian sebagai dampak berlakunya otonomi daerah. Dari berbagai permasalahan yang ada, akan menonjol berbagai persoalan utama yang meliputi:

(a) Dengan adanya desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada daerah, ada kemungkinan jumlah dan struktur PNS di daerah menjadi tidak terkendali. Apalagi bila dalam pengangkatan pegawai baru dan promosi serta mutasi tidak mengikuti prinsip “merit sistem” tetapi lebih pada “marriage sistem (sistem kekeluargaan)” yang dianut oleh pemerintah pusat selama ini. Karena sulit meninggalkan paradigma lama yang telah berakar selama 33 tahun itu, kewenangan yang besar kepada daerah tersebut dimungkinkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 yang memungkinkan Gubernur, Bupati dan Walikota mengangkat dan memberhentikan PNS di daerahnya mulai dari pangkat I/a sampai dengan golongan IV/e, Pembina Utama. Suatu kewenangan yang sebelum terbit Peraturan Pemerintah ini, hanya dimiliki oleh Presiden dan dilakukan secara terpusat.

(b) Kualitas PNS daerah akan sangat bervariasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Akibat dari kewenangan dalam butir (a) tersebut. Apalagi kalau mobilitas PNS antar daerah terhambat sebagai akibat dari “Daerah sentrisme”. Tanpa kualitas memadai serta mobilitas yang tidak dimungkinkan ini, maka pembinaan karier PNS yang selama ini telah terjaga dan terjamin baik, kemungkinan besar akan terkorbankan. Apalagi dengan pemerintahan koalisi yang multi partai, pemimpin pemerintahan di daerah tidak akan terlepas dari “sindrom” kepartaian.

(c) Dalam waktu lima tahun kedepan, manajemen kepegawaian di daerah masih perlu banyak pembenahan. Namun sebagai akibat dari butir (b) tersebut kapasitas kelembagaan daerah untuk menyelenggarakan manajemen kepegawaian ini masih menjadi pertanyaan besar. Karena manajemen kepegawaian yang baik harus dilaksanakan oleh suatu badan yang netral, tidak terimbas pengaruh politik dan tunduk pada salah satu kekuatan politik. Ditambah dengan daya serap daerah yang masih sangat terbatas, kerancuan dan kekacauan manajemen kepegawaian diperkirakan menimbulkan masalah sisi lain dari otonomi dan desentralisasi, apabila manajemen dan administrasi kepegawaian tidak dikembalikan terpusat. Paling tidak untuk lima tahun kedepan.

Langkah Kebijakan
Untuk mengurangi beban persoalan di bidang kepegawaian yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi secara nyata dan luas tersebut, beberapa langkah kebijakan masih mungkin diusulkan dalam waktu dekat.

Pertama, penetapan formasi PNS oleh pemerintah pusat berdasarkan standar analisis kebutuhan pegawai sesuai beban kerja dan lingkup kerja yang dilakukan. Penetapan formasi ini diikuti pula dengan penerapan standar dan prosedur pengangkatan dalam jabatan yang berlaku umum secara nasional. Upaya ini dimaksudkan untuk menghindarka kesenjangan dikalangan PNS di daerah baik dari segi jumlah, kualitas, kepangkatan maupun jabatan yang dipangkunya.

Kedua, sistem evaluasi kinerja PNS yang didasarkan atas standar prestasi kerja dan kompetensi jabatan. Upaya ini dimungkinkan bila terdapat sistem dan program seleksi Calon PNS (CPNS) yang seragam dan mengacu pada “merit sistem”. Untuk itu perlu digunakan alat bantu komputer (Computer Assisted Test) sehingga obyektifitas dalam penerimaan CPNS dapat dipertahankan. Terutama untuk seleksi CPNS yang berpendidikan Sarjana dan Pascasarjana serta profesional.

Ketiga, pengembangan secara bertahap kemampuan kelembagaan yang menangani kepegawaian di daerah dalam jangka waktu lima tahun dimulai saat awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi. Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000, lembaga ini dinamakan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang mempunyai hubungan fungsional dan profesional baik langsung dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang ada di pusat, maupun dengan kantor-kantor regional BKN yang tersebar pada delapan wilayah kerja dewasa ini.

Kebijakan pengembangan sumber daya aparatur negara sangat diperlukan bukan saja untuk menghadapi berbagai perubahan strategik ditingkat nasional dan internasional, tetapi terlebih lagi untuk mengisi pelaksanaan otonomi daerah. Pada dasarnya langkah kebijakan tersebut berintikan pada pembangunan SDM aparatur negara yang professional, netral dari pengaruh kekuatan politik, berwawasan global, bermoral tinggi, serta mempunyai kemampuan berperan sebagai perekat kesatuan dan persatuan bangasa serta Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penutup
Dalam masa mendatang manajemen kepegawaian akan dihadapkan pada berbagai tantangan yang tidak ringan. Pertama, sejauh mana sistem kepegawaian mampu bertahan dari tekanan politik. Dalam sistem multipartai yang meyebabkan pemimpin institusi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, berasal dari partai-partai politik, mampukah PNS bersikap netral? Artinya jenjang karier dari PNS telah tersusun rapih, sehingga tidak ada jabatan karier yang akan diisi oleh personil dari suatu partai atau golongan tertentu saja. Kedua, sejauh mana sistem kepegawaian mampu menterjemahkan setiap peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah tanpa meninggalkan azas netralitas dan peran sebagai perekat kesatuan dan persatuan. Dalam hal ini, profesionalitas dan integritas dalam diri setiap PNS dipertaruhkan. Untuk itu perlu dijaga tingkat kesejahteraan dan stabilitas dari PNS beserta keluarganya. Ketiga, sejauh mana “budaya kepegawaian” dapat ditumbuhkan. Artinya ada rasa kebanggaan menjadi PNS. Ini sangat berhubungan dengan tantangan pertama dan kedua. Sampai dimana netralitas dan profesionalitas PNS masih dapat diharapakan. Justru untuk mempertahankan kedua sifat tersebut, pengaturan kepegawaian yang terpusat masih diperlukan. Keempat, sejauh mana manajemen kepegawaian mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi. Dalam era “pemerintahan elektronik (E-Government)” setiap PNS dituntut untuk tidak “buta huruf” akan teknologi informasi (IT). Artinya pemakaian komputer serta media elektronik lain harus sudah dikuasai oleh setiap PNS.

Upaya untuk melaksanakan semua peraturan perundangan di bidang kepegawaian tidak selamanya berjalan baik. Salah satu penyebabnya adalah pemahaman yang sering berbeda atas suatu peraturan perundangan yang sama. Penjelasan yang selalu diberikan untuk setiap peraturan perundangan yang diterbitkan agaknya belum mencukupi untuk memahami secara benar makna dan intisari dari suatu peraturan perundangan tersebut. Apalagi sejak bergantinya pimpinan pemerintahan pada triwulan pertama tahun 1998, kebiasaan membuat naskah akademik yang komprehensif dan terarah sebelum suatu rancangan peraturan perundangan dibicarakan, mulai diabaikan. Keinginan untuk mengejar jumlah kuantitatif ternyata mampu mengalahkan kualitas isi peraturan perundangan itu sendiri. Konsistensi kurang dijaga, kecermatan diabaikan, semata-mata untuk mengejar target kuantitatif. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah bergegas diterbitkan, susul menyusul tanpa mengindahkan perbenturan dan bahkan adanya perbedaan substansial diantara berbagai peraturan perundangan tersebut. Keputusan Presiden segera dikeluarkan dan kalau perlu diganti seminggu kemudian. Tertib administrasi tidak lagi menjadi patokan. Kerancuan pelaksanaan peraturan perundangan dianggap sebagai “gonggongan anjing” belaka. Kenyataan tersebut yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan pada waktu terdekat.


*) Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah Guru Besar Tetap Bidang Sumber Daya Manusia, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; disamping jabatannya sebagai Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN)

Harmoni Hati dan Ilmu



“Orang yang benar butuh permulaan yang benar, permulaan yang benar butuh keikhlasan dan keikhlasan itu ada pada niatan yang suci, sementara kesucian niat ada pada hati yang bersih.” (kalam hikmah)

Ibarat orang yang berazam ingin ke Surabaya, tentu ia hanya akan sampai ke tujuan kalau sedari awal ia naik bus jurusan Surabaya. Apapun kalau yang ia pilih adalah bus jurusan Jakarta, tentu sampai kapan pun ia tak akan sampai ke tujuan. Pohon mangga hanya akan tumbuh dari biji mangga, dan biji salak pastilah akan menumbuhkan pohon yang sama. Tidak akan mungkin pohon mangga membuahkan pohon salak, begitu pula sebaliknya.

Demikianlah saudaraku, sebuah kebenaran dalam bentuk apapun, hanya akan tumbuh dari biji kebenaran. Bagaimana mungkin pohon kebenaran bisa tumbuh berkembang dari sebuah biji bernama kesalahan.

Terus bagaimana “pohon” kebenaran ini bisa tumbuh dengan baik pada diri seseorang? Kalam hikmah di atas mengatakan; “butuh keikhlasan!” Keikhlasan adalah saudara kembar kebenaran, keduanya lahir dari rahim yang sama, pada waktu yang bersamaan dimana ada kebenaran di situ ada keikhlasan, begitu pula sebaliknya. Antara keduanya tidak bisa dipisahkan oleh apapun dan siapa pun. Kebenaran tanpa keikhlasan adalah fatamorgana, dan keikhlasan tanpa kebenaran adalah utopia bahkan tipu daya.

Keikhlasan adalah teman perjalanan kebenaran. Selamanya kita tidak pernah menjumpai kebenaran berjalan sendirian tanpa ditemani sang “kekasih” tercinta bernama keikhlasan.

Seandainya kita membiarkan kebenaran yang ada pada diri kita tumbuh sendirian, maka pastilah ia akan menjadi kebenaran yang kering bahkan mati, yang tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun untuk kita bahkan keberadaannya akan menjadi beban berat, yang membuat perjalanan hidup ini semakin tertatih-tatih.

Tidak demikian halnya bila keikhlasan ikut menyertai, kebenaran akan memancarkan “keceriaan” hakiki, yang dirasakan tidak hanya oleh si empunya kebenaran, tapi juga oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. Kebenaran akan berubah menjadi embun penyejuk yang akan menetesbasahi setiap diri yang kerontang dalam keringnya jiwa.

Lantas, dari manakah kita akan memperoleh keikhlasan ini? Jawabnya adalah dari niat yang suci. Niat adalah kesengajaan melakukan amal, dan “suci” tiada lain adalah Allah, karena di alam semesta ini tidak ada yang “suci” dalam arti yang hakiki kecuali Dia Rabbul ‘Izati. Subhanallah. Maha Suci Engkau ya Allah.

Niat suci akan dimiliki manakala kita menyengaja melakukan amal semata-mata karena ingin memperoleh ridha Allah Yang Maha Suci, lepas sama sekali dari tujuan dan harapan sesaat, yaitu keisengan duniawi.

Terus, dimana kita bisa menemukan kesucian niat ini?

Kesucian niat bisa kita temukan di sela-sela sebongkah daging bernama hati, dengan catatan jenis hati tersebut adalah hati yang betul-betul bersih dari berbagai kotoran.

Dari yang bersih akan tumbuh niat-niat yang suci lagi bersih, yang mendorong kita beramal dengan ikhlas semata-mata karena Allah. Saat keikhlasan ini bertemu dengan kebenaran, maka akan lahirlah sosok manusia baru dalam diri kita, yakni manusia yang seluruh lintasan pikiran, perasaan, keinginan, kata dan perbuatannya menyatu dalam satu senyawa, senyawa kebenaran.

Kalam hikmah di atas memberikan kesimpulan kepada kita, bahwa cita-cita menjadi orang yang benar itu harus diawali dengan memiliki hati yang bersih.

Cukupkah dengan hati yang bersih?

Tentu belum, gambarannya seperti ketika kita haus, kemudian ada orang yang memberikan sebuah gelas yang sangat bersih kepada kita, akan tetapi di dalam gelas bersih tersebut tak terdapat air bersih setetes pun.

Apalah artinya gelas bersih tanpa isi bagi orang yang haus?! Tetap saja ia kehausan.

Berarti kita harus mengisi “air” ke dalam “gelas” hati kita? Ya, air kehidupan, yaitu ilmu pengetahuan.

Hati bersih tanpa ilmu adalah gelas bersih tanpa isi. Tapi ilmu yang berada di hati yang kotor adalah air yang kita tuangkan ke dalam gelas kotor. Keduanya tidak bisa memberikan manfaat sedikit pun di saat kita kehausan. Lantas, mana yang harus kita dahulukan? Membersihkan hati terlebih dahulu atau mengisinya? Ibarat gelas kotor yang ingin kita isi air, tentu kita harus membersihkannya terlebih dahulu baru setelah itu mengisinya dengan air.

Allah Ta’ala berfirman; “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka yang membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mesucikan (hati) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Al Jumu’ah: 2)

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/20709/harmoni-hati-dan-ilmu/#ixzz1w95dqpUU