04 Mei 2013

Wallpaper Kurikulum 2013







Ciri Guru Profesional menurut Undang - Undang





“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Penyandangan dan penampilan “professional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedang secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi. Sebagai contoh misalnya sebutan “guru professional” adalah guru yang telah mendapat pengakuan secara formal berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik dalam kaitan dengan jabatan ataupun latar belakang pendidikan formalnya. Pengakuan ini dinyatakan dalam bentuk surat keputusan, ijazah, akta, sertifikat, dsb baik yang menyangkut kualifikasi maupun kompetensi. Sebutan “guru professional” juga dapat mengacu kepada pengakuan terhadap kompetensi penampilan unjuk kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, sebutan “profesional’’ didasarkan pada pengakuan formal terhadap kualifikasi dan kompetensi penampilan unjuk kerja suatu jabatan atau pekerjaan tertentu. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa: “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”.

“Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Seorang guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi akan tercermin dalam sikap mental serta komitmenya terhadap perwujudan dan peningkatan kualitas professional melalui berbagai cara dan strategi. Ia akan selalu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman sehingga keberadaannya senantiasa memberikan makna proesional.

“Profesionalitas” adalah sutu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini guru diharapkan memiliki profesionalitas keguruan yang memadai sehingga mampu melaksanakantugasnya secara efektif.

“Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. 
Dengan profesionalisasi, para guru secara bertahap diharapkan akan mencapai suatu derajat kriteria profesional sesuai dengan standar yang telah ditetapkan menurut Undang-undang nomer 14 tahun 2005 yaitu berpendidikan akademik S-1 atau D-IV dan telah lulus Sertifikasi Pendidikan. Pada dasarnya profesionalisasi merupakan sutu proses berkesinambungan melalui berbagai program pendidikan dalam jabatan (in-service).

“Guru” adalah suatu sebutan bagi jabatan, posisi, dan profesi bagi seseorang yang mengabdikan dirinya dalam bidang pendidikan melalui interaksi edukatif secara terpola, formal, dan sistematis. 

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen (pasal 1) dinyatakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengrahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah”

Guru professional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode. Keahlian yang dimiliki oleh guru profesional adalah keahlian yang diperoleh melalui suatu proses pendidikan dan pelatihan yang diprogramkan secara khusus untuk itu. Keahlian tersebut mendapat pengakuan formal yang dinyatakan dalam bentuk sertifikasi, akreditasi, dan lisensi dari pihak yang berwenang (dalam hal ini pemerintah dan organisasi profesi). 

Dengan keahliannya itu seorang guru mampu menunjukkan otonominya, baik secara pribadi maupun sebagai pemangku profesinya.

Di samping dengan keahliannya, sosok professional guru ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, Negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.

Ciri profesi yang selanjutnya adalah kesejawatan, yaitu rasa kebersamaan di antara sesama guru. Kesejawatan ini diwujudkan dalam persatuan para guru melalui organisasi profesi dan perjuangan, yaitu PGRI. Melalui PGRI para guru mewujudkan rasa kebersamaannya dan memperjuangkan martabat diri dan profesinya di atas, pada dasarnya telah tersirat dalam kode Etik Guru Indonesia sebagai pegangan professional guru.

Sementara itu, para guru diharapkan akan memiliki jiwa profesionalisme, yaitu sikap mental yang senantiasa mendorong dirinya untuk mewujudkan dirinya sebagai petugas professional. Pada dasarnya profesionalisme itu, merupakan motivasi intrinsic pada diri guru sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya ke arah perwujudan profesional. Kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi sebagai berikut :
  1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang ideal
  2. Meningkatkan dan memelihara citra profesi
  3. Senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya
  4. mengejar kualitas dan cita cita dalam profesi
Dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional sebagai berikut :
  • Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism
  • Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya
  • Memiliki kompetensis yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya
  • Mematuhi kode etik profesi
  • Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas
  • Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya
  • Memiliki kesempatan untuk mengembnagkan profesinya secara berkelanjutan
  • Memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas profesionalnya
  • Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum
Undang-undang ini memberikan landasan kepastian hokum yang untuk perbaikan guru di masa depan khususnya yang berkenaan dengan profesi, kesejahteraan, jaminan social, hak dan kewajiban, serta perlindungan. 

Beberapa substansi RUU Guru yang bernilai “pembaharuan” untuk mendukung profesionalitas dan kesejahteraan guru antara lain yang berkenaan :

(1). Kualifikasi dan kompetensi guru : yang mensyaratkan kualifikasi akademik guru minimal lulusan S-1 atau Diploma IV, dengan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi pedagogic, kepribadian, professional, dan social.

(2). Hak guru : yang berupa penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait tugasnya sebagai guru. (Pasal 15 Ayat )

(3). Kewajiban guru ; untuk mengisi keadaan darurat adanya wajib kerja sebagai guru bagi PNS yang memenuhi persyaratan.

(4). Pengembangan profesi guru; melalui pendidikan guru yang lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian dan profesi dalam satu lembaga yang terpadu.

(5). Perlindungan; guru mendapat perlindungamn hukum dalam berbagai tindakan yang merugikan profesi, kesejahteraan, dan keselamatan kerja.

(6). Organisasi profesi; sebagai wadah independen untuk meningkatkan kompetisi karir, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteran dan atau pengabdian, menetapkan kode etik guru, memperjuangkan aspirasi dan hak-hak guru.
 
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam menjalankan tugas guru memiliki cara penyampaian dan kepribadian yang berbeda. Apabila guru telah menemukan prinsip dan tabiatnya, profil yang dimiliki tidak bisa disamakan dengan profil guru yang lain. Dalam mengajar guru yang profesional mampu menyampaikan ilmu pengetahuan, keterampilan dan menggunakan cara tertentu sebagai pengetahuan tersebut yang dapat dimiliki orang lain.

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) pasal 10 ayat 1 ciri-ciri guru profesional sebagai berikut:

1.      Mempunyai kompetensi pedagogik
Yaitu meyangkut kemampuan mengelola pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran yang dimaksudkan tidak terlepas dari tugas pokok yang harus dikerjakan guru. Tugas-tugas tersebut menyangkut: Merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai hasil pembelajaran. Selain tugas pokok dalam pengelolaan pembelajaran, guru juga melakukan bimbingan dan latihan dalam kegiatan ekstrakulikuler, serta melaksanakan tugas tambahan yang diamanahkan oleh lembaga pendidikan.

2.      Mempunyai kompetensi kepribadian
Yaitu menyangkut kepribadian yang mantap, berahlak mulia, arif, berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik. 

3.      Mempunyai kompetensi profesi
Yaitu menyangkut penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Sebagai tenaga pendidik dalam bidang tertentu sudah merupakan kewajiban untuk menguasai materi yang menyangkut bidang tugas yang diampu. Apabila seorang guru tidak menguasai materi secara luas dan mendalam, bagaimana mungkin mampu memahami persoalan pembelajaran yang dihadapi di sekolah. Oleh karena itu, untuk menjadi profesional dalam bidang tugas yang diampu harus mempelajari perkembangan pengetahuan yang berkaitan dengan hal tersebut. 

4.      Mempunyai kompetensi sosial
Yaitu menyangkut kemampuan guru berkomunikasi dan berinteraksi dengan peserta didik, sesama guru, wali murid dan masyarakat. Kemampuan berkomunikasi dengan baik merupakan salah satu penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupan. Komunikasi dan interaksi yang diharapkan muncul antara guru dengan siswa berkaitan dengan interaksi yang akrab dan bersahabat. Dengan demikian diharapkan peserta didik memiliki keterbukaan dengan gurunya.


BAB II
PEMBAHASAN
CIRI-CIRI GURU PROFESIONAL

A.    FISIK DAN MENTAL PENDIDIK

Guru adalah profesi yang paling sehat di antara semua profesi yang ada, termasuk pengacara, dokter, pengusaha, dan lainnya. Kesehatan mental guru paling tinggi di antara semua profesi.
Peneliti dari South Florida mengatakan hal itu dikarenakan profesi guru lebih dari sekedar pekerjaan, tapi merupakan sebuah panggilan. Para guru mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang menyenangkan karena langsung berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.

The Gallup-Healthways Well-Being Index melakukan survei skala besar untuk mengetahui hubungan antara profesi dan tingkat kesehatan. Dengan menggunakan definisi sehat dari badan kesehatan dunia (WHO) yaitu keadaan fisik, mental, dan sosial yang sehat dan sejahtera, peneliti menemukan bahwa guru adalah profesi yang paling sehat.
“Kami juga melalui saat-saat yang sulit di bidang pendidikan. Tapi seorang guru yang baik selalu punya alasan untuk terus menjalankan profesinya tanpa bisa dimengerti oleh orang lain,” kata Ned Oistacher, seorang guru dari Pompano Beach High School business seperti dikutip Sunsentinel.

Dari hasil survei tersebut diketahui bahwa guru adalah profesi yang memiliki tingkat kesehatan mental dan kelakuan yang paling tinggi, yaitu dengan skor 71,7 persen. Rahasia yang membuat guru tetap sehat adalah lingkungannya yang selalu berhubungan dengan orang-orang muda.

Selain harus memiliki standar atau kompetensi profesional, seorang guru atau calon guru juga perlu memiliki standar mental, spiritual, intekektual, fisik dan psikis, sebagai berikut. [1]
  1. Standar mental; guru harus memiliki mental yang sehat, mencintai, mengabdi, dan memiliki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya.
  2. Standar moral; guru harus memiliki budi pekerti luhur dan sikap moral yang tinggi.
  3. Standar sosial; guru harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat lingkungannya.
  4. Standar spiritual; guru harus beriman dan bertakwa kepada Allah swt. yang diwujudkan dalam ibadah dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Standar intelektual; guru harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik dan profesional.
  6. Standar fisik; guru harus sehat jasmani, berbadan sehat, dan tidak memiliki penyakit menular yang membahayakan diri, peserta didik, dan lingkungannya.
  7. Standar psikis; guru harus sehat rohani, artinya tidak mengalami gangguan jiwa ataupun kelainan yang dapat mengganggu pelaksanaan tugas profesinya.

B.     KEILMUAN DAN PENGALAMAN

Sebagai guru yang professional, guru perlu mempunyai ciri-ciri professional seperti berkemahiran. Antara kemahiran yang mesti dikuasi oleh guru adalah kemahiran berfikir; kemahiran interpersonal, kemahiran komunikasi, kemahiran memimpin, serta kemahiran berilmu.

Kemahiran Berfikir
Pemikiran melibatkan pengelolaan operasi-operasi mental tertentu yang berlaku dalam sistem kognitif seseorang yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah. Pemikiran dilihat sebagai aktiviti psikologikal yang membolehkan manusia melihat proses yang dialami dari berbagai perspektif bagi menyelesaikan masalah dalam situasi yang sukar, (Dewey (1933) Edward de Bono (1976)). Dari pandangan Islam, berfikir ialah fungsi akal yang memerhatikan tenaga supaya otak manusia dapat bekerja dan beroperasi.

Ada dua kemahiran berfikir yang harus dimiliki seorang pendidik, yaitu:

Kemahiran Berfikir Secara Kritis
Dewey (1933), menyifatkan pemikiran kritis sebagai pemikiran reflektif yaitu memikir dengan mendalam dan memberi pertimbangan yang serius tentang sesuatu. Pemikiran kritis melibatkan tiga jenis aktiviti mental yaitu analisis, sintesis, dan penilaian; (Taksonomi Bloom, 1956). Ennis mentakrifkan pemikiran kritis sebagai ‘pemikiran reflektif’ yang bertumpu kepada memutuskan sama ada sesuatu kritis menggalakkan individu menganalisis penyataan-penyataan dengan berhati-hati, mencari bukti yang sah sebelum membuat kesimpulan.

Kemahiran Berfikir Secara Kreatif
Pemikiran kreatif ditakrifkan sebagai kebolehan menggabungkan idea-idea bagi memenuhi sesuatu keperluan, (Halpern,1984). Sebagai agen penggerak tamadun bangsa, guru perlu sentiasa mencari ruang untuk merekayasa amalan mereka dalam menjamin kualiti pendidikan.
Kreativiti wujud hasil daripada peleburan masa, penyediaan atau ketekunan memerlukan kosentrasi dan keazaman yang kuat. Selain usaha dan masa, individu kreatif berani mengambil resiko mencapai matlamat mereka dan menolak alternatif-alternatif yang ternyata karena mereka ingin mencari yang lain dan luar biasa. Pemikiran kreatif melibatkan kebolahan fleksibiliti (kelenturan) dan keaslian.

Kemahiran Interpersonal
Oleh karena guru merupakan teras penting dalam aspek pembangunan pendidikan negara, guru seharusnya mempunyai berbagai ciri dan kemahiran-kemahiran profesional. Antaranya ialah kemahiran interpersonal. Kemahiran Interpersonal merupakan kemahiran antara insan.
Abdullah Hassan & Ainon, memfokuskan kemahiran interpersonal guru kepada kemahiran berkomunikasi, kemahiran mendengar, kemahiran bertanya, kemahiran berucap, maklum balas, unsur bahasa, mengubah sikap dan tingkahlaku, penampilan dan komunikasi bukan lisan.[2] Hubungan interpersonal adalah aspek penting yang perlu diketahui oleh guru. Persoalannya sejauh manakah guru menguasainya adalah sesuatu yang subjektif walaupun terdapat kaedah-kaedah serta panduan-panduan tertentu yang boleh dipelajari oleh guru untuk menguasai kemahiran ini.

Menurut Sarina dan Yusmini 2007, kepentingan kemahiran interpersonal ialah ianya dapat melahirkan persefahaman yang baik antara guru dan pelajar serta wujud rasa percaya mempercayai di kalangan mereka serta dapat memberi kesan positif kepada proses pengajaran dan pembelajaran.

Kemahiran Komunikasi
Seorang guru yang profesional seharusnya memiliki atau mempunyai kemahiran komunikasi yang baik. Komunikasi ialah satu asas perhubungan yang bertujuan menyampaikan khabar, berita , mesej, pendapat atau maklumat kepada pendengar.

Interaksi dan komunikasi yang hanya menggunakan akal atau hanya menggunakan perasaan akan menjadi tidak berkesan. Guru atau siapa yang berkomunikasi dengan berkesan akan menggunakan ke semua indera manusia dengan bijaksana. Konsep ini adalah selaras dengan falsafah eksistensialisme yang mengutamakan pengalaman yang diperoleh daripada indera seperti penglihatan, rasa, dan sebagainya. Oleh karena itu selaras dengan tujuan faham mazhab eksistensialisme adalah membolehkan setiap individu yakni guru dan pelajar memperkembangkan sepenuhnya potensi yang dimiliki demi mencapai objektif pengajaran dan pembelajaran.

Kemahiran Memimpin

Di dalam organisasi sebuah kelas di sekolah posisi guru berada di atas sekali. Guru memainkan peranan sebagai guru kelas untuk membimbing para pelajar ke arah kecemerlangan dari segi akademik, sahsiah, dan jasmani. Oleh karena itu kemahiran dari segi memimpin perlu ada dalam diri seorang guru. Menurut Kamus Dewan Edisi Empat definisi memimpin ialah melatih, mendidik atau mengasuh supaya boleh berfikir sendiri. Kepimpinan boleh dimaksudkan sebagai seni atau proses mempengaruhi kegiatan manusia yang berkaitan dengan tugas mereka, supaya mereka terlibat dan berusaha ke arah keberkesanan dan pencapaian matlamat organisasi (Rahmad 2005).

Kemahiran Berilmu
Kehidupan seorang guru adalah sinonim dengan ilmu. Lazimnya masyarakat mengaitkan guru dengan tanggungjawab memberi ilmu tetapi hakikatnya guru bukan sahaja bertanggungjawab mencurahkan ilmu kepada para pelajarnya malah meningkatkan ilmu merupakan salah satu kemahiran yang perlu ada di dalam diri setiap guru sebelum ilmu yang ada itu dicurahkan kepada para pelajarnya.

Ilmu dan pengetahuan guru sebagai seorang yang berautoriti tidak boleh dipersoalkan. Oleh yang demikian, guru mesti menguasai ilmu dengan baik (Abu Bakar & Ikhsan, 2008). Sikap proaktif, berdaya saing dan bersemangat kental dalam melengkapkan diri dengan pelbagai disiplin ilmu dan berketerampilan perlu menjadi amalan dan budaya hidup seorang pendidik (Wan Marzuki, 2008). Guru sebagai penyebar sumber ilmu perlu memahami konsep ilmu yang sentiasa berkembang dan pencarian ilmu baru di kalangan guru mesti diteruskan tanpa henti (Lokman, 2004).

Menurut Uzer Usman, Kompetensi profesional  yang harus dipenuhi atau dimiliki seorang guru atau calon guru adalah,[3]
  1. Menguasai landasan pendidikan, yakni mengenal tujuan pendidikan nasional untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, mengenal fungsi sekolah dalam masyarkat, mengenal prinsip-prinsip psikologi pendidikan yang dapat dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar,
  2. Menguasai bahan pengajaran, yakni menguasai bahan pengajaran kurikulum pendidikan dasar dan menengah, menguasai bahan pengayaan,
  3. Menyusun program pengajaran, yakni menetapkan tujuan pembelajaran, memilih dan mengembangkan bahan pembelajaran, memilih dan mengembangkan strategi belajar mengajar,memilih dan mengembangkan media pengajaran yang sesuai, memilih dan memanfaatkan sumber belajar,
  4. Melaksanakan program pengajaran, yakni menciptakan iklim belajar yang tepat, mengatur ruangan belajar, mengelola interaksi belajar mengajar,
  5. Menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan, yakni menilai prestasi murid untuk kepentingan pengajaran, menilai proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.

C.    KEMAMPUAN DAN KETERAMPILAN SERTA SERTIFIKAT

1.      Kemampuan
Untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut memiliki minimal lima hal sebagai berikut. [4]
  1. Mempunyai komitmen pada peserta didik dan proses belajarnya.
  2. Menguasai secara mendalam bahan atau mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada peserta didik.
  3. Bertanggung jawab memantau hasil belajar peserta didik melalui berbagai cara evaluasi.
  4. Mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan cara belajar dari pengalamannya.
  5. Seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
2.      Keterampilan
Thursthoen dalam Walgito (1990: 108) menjelaskan bahwa, sikap adalah gambaran kepribadian seseorang yang terlahir melalui gerakan fisik dan tanggapan pikiran terhadap suatu keadaan atau suatu objek. Berkowitz, dalam Azwar (2000:5) menerangkan sikap seseorang pada suatu objek adalah perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi. 

Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakan atau menjauhi/menghindari sesuatu.
Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa sikap adalah kecenderungan, pandangan, pendapat atau pendirian seseorang untuk menilai suatu objek atau persoalan dan bertindak sesuai dengan penilaiannya dengan menyadari perasaan positif dan negatif dalam menghadapi suatu objek.

Struktur sikap siswa terhadap konselor terdiri dari tiga komponen yang terdiri atas
a. Komponen kognitif
Komponen ini berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, dan keyakinan tentang objek. Hal tersebut berkaitan dengan bagaimana orang mempersepsi objek sikap.

b. Komponen afektif
Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap sikap. Perasaan tersebut dapat berupa rasa senang atau tidak senang terhadap objek, rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.. komponen ini menunjukkan ke arah sikap yaitu positif dan negatif. Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap (Azwar, 2000:26), secara umum komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Namun pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap.

c. Komponen kognitif
Komponen ini merupakan kecenderungan seseorang untuk bereaksi, bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Komponen-komponen tersebut di atas merupakan komponen yang membentuk struktur sikap. Ketiga komponen tersebut saling berhubungan dan tergantung satu sama lain. Saling ketergantungan tersebut apabila seseorang menghadapi suatu objek tertentu, maka melalui komponen kognitifnya akan terjadi persepsi pemahaman terhadap objek sikap.

Katz (dalam Walgito, 1990:110) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai empat fungsi, yaitu:

1) Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian, atau fungsi manfaat.
Fungsi ini berkaitan dengan sarana tujuan. Di sini sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Orang memandang sampai sejauh mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana dalam mencapai tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut. Demikian sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap tersebut. Fungsi ini juga disebut fungsi manfaat, yang artinya sampai sejauh mana manfaat objek sikap dalam mencapai tujuan. Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi penyesuaian, artinya sikap yang diambil seseorang akan dapat menyesuaikan diri secara baik terhadap sekitarnya.

2) Fungsi pertahanan ego
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap diambil seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam dalam keadaan dirinya atau egonya, maka dalam keadaan terdesak sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego.

3) Fungsi ekspresi nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya. Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dan dapat menunjukkan keadaan dirinya. Dengan mengambil nilai sikap tertentu, akan dapat menggambarkan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan.

4) Fungsi pengetahuan
Fungsi ini mempunyai arti bahwa setiap individu mempunyai dorongan untuk ingin tahu. Dengan pengalamannya yang tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu, akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa sehingga menjadi konsisten. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap suatu objek, menunjukkan tentang pengetahuan orang tersebut objek sikap yang bersangkutan.

3.      Sertifikat
Untuk mendapatkan pengakuan atas keprofesionalannya, maka seorang tenaga pengajar dapat mengikuti sertifikasi. Sertifikasi dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. Sertifikasi di sini dapat diartikan sebagai usaha pemberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi. Sertifikasi adalah uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik. Sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.

Sertifikasi guru merupakan pemenuhan kebutuhan untuk meningkatkan kompetensi profesional. Oleh karena itu, proses sertifikasi dipandang sebagai bagian yang esensial dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Representasi pemenuhan standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam sertifikasi adalah sertifikat kompetensi pendidik.

Wibowo (Mulyasa, 2008:35), mengungkapkan bahwa sertifikasi bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut.
  1. Melindungi profesi pendidik dan tenaga pendidikan.
  2. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik yang tidak kompeten, sehingga merusak citra pendidik dan tenaga pendidikan.
  3. Membantu dan melindungi lembaga penyelenggara pendidikan, dengan menyediakan rambu-rambu dan instrumen untuk melakukan seleksi terhadap pelamar yang kompeten.
  4. Membangun citra masyarakat terhadap profesi pendidik dan tenaga kependidikan.
  5. Memberikan solusi dalam rangka meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan.
Kerangka pelaksanaan sistem sertifikasi kompetensi guru, baik untuk lulusan strata satu (S1) kependidikan maupun lulusan S1 nonkependidikan dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, lulusan program Sarjana kependidikan sudah mengalami pembentukan kompetensi belajar (PKM). Oleh karena itu, mereka hanya memerlukan uji kompetensi yang dilaksanakan oleh perpendidikan tinggi yang memiliki PPTK (Program Pengadaan Tenaga Kependidikan) terakreditasi dan ditunjuk oleh Ditjen Dikti, Depdiknas.
Kedua, lulusan Sarjana nonkependidikan harus terlebih dahulu mengikuti proses pembentukan kompetensi mengajar pada perguruan tinggi yang memiliki PPTK secara terstruktur. Setelah dinyatakan lulus dalam pembentukan kompetensi mengajar, baru lulusan sarjana nonkependidikan boleh mengikuti uji sertifikasi. Sedangkan lulusan program Sarjana kependidikan tentu sudah mengalami proses pembentukan kompetensi mengajar, tetapi tetap diwajibkan mengikuti uji kompetensi untuk mempeoleh serifikat kompetensi.
Ketiga, penyelenggaraan program PKM dipersyaratkan adanya status lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Sedangkan untuk pelaksanaan uji kompetensi sebagai bentuk audit atau evaluasi kompetensi mengajar guru harus dilaksanakan oleh LPTK terakreditasi yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Dirjen Dikti, Depdiknas .
Keempat, peserta uji kompetensi yang telah dinyatakan lulus, baik yang berasal dari lulusan Sarjana pendidikan maupun nonkependidikan diberikan sertifikat kompetensi sebagai bukti yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk melakukan praktik dalam bidang profesi guru pada jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Kelima, peseta uji kompetensi yang berasal dari guru yang sudah melaksanakan tugas dalam interval waktu tertentu (10-15 tahun) sebagai bentuk kegiatan penyegaran dan pemutakhiran kembali sesuai dengan tuntutan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persyaratan dunia kerja. Di samping itu, kompetensi juga diperlukan bagi yang tidak melakukan tugas profesinya sebagai guru dalam jangka waktu tertentu.

Proses sertifikasi guru menuju profesionalisasi pelaksanaan tugas dan fungsinya harus dibarengi dengan kenaikan kesejahteraan guru, sistem rekruitmen guru, pembinaan, dan peningkatan karir guru. Kesejahteraan guru dapt diukur dari gaji dan insentif yang diperolehnya. Gaji guru di Indonesia ini masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain di dunia. Rendahnya tunjangan kesejahteraan guru bisa mempengaruhi kinerja guru, semangat pengabdian, dan juga upaya mengembangkan profesionalismenya.

Sertifikasi guru merupakan amanat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.[5] Pasal 61 menyatakan bahwa sertifikat dapat berbentuk ijazah dan setifikat kompetensi, tetapi bukan sertifikat yang diperoleh melalui pertemuan ilmiah seperti seminar, diskusi panel, lokakarya, dan simposium. Namun, sertifikat kompetensi diperoleh dari penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi. Ketentuan ini bersifat umum, baik untuk tenaga kependidikan maupun nonkependidikan yang ingin memasuki profesi guru.

Menumbuhkembangkan kesadaran guru terhadap kode etik sebagai guru profesional, serta mencintai tugasnya, dan bertanggung jawab untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
Pengembangan karir guru terkait dengan profesionalisme dan daya tarik jabatan guru memerlukan kebijakan sebagai berikut:[6]
  1. Menumbuhkembangkan kesadaran guru terhadap kode etik sebagai guru profesional, serta mencintai tugasnya, dan bertanggung jawab untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya.
  2. Menyederhanakan prosedur dan penilaian kenaikan jabatan fungsional guru, dan sedapat mungkin masyarakat dapat dimintai pendapatnya, agar hasilnya lebih objektif.
  3. Beban yang tidak terkait dengan fungsi dan tugas guru sebaiknya dihilangkan, karena akan mengganggu perhatian guru terhadap tugasnya.
  4. Pengangkatan kepala sekolah perlu dilakukan melalui seleksi yang ketat dan adil, mempertimbangkan latar belakang mental dan prestasi kerja, serta melibatkan orang tua murid dan masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah atau madrasah.
  5. Pengawasan kepada semua jenjang pendidikan harus dilaksanakan secara teratur, terkendali, dan terus menerus dengan menggunakan paradigma penilaian yang akademik.
Proses sertifikasi selain dilakukan oleh LPTK dengan memberikan sertifikat kompetensi, juga dilakukan dengan cara pendidikan dan latihan yang dilakukan oleh lembaga uji kompetensi. Tujuan dari pendidikan dan latihan tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan administrasi siswa dan pengelolaan kegiatan belajar di kelas. Akhir dari kegiatan pendidikan dan latihan tersebut tentunya dilihat dari nilai akhir yang diperoleh setelah dilakukan penilaian oleh asesor. Uji sertifikasi dengan uji kompetensi dan diklat, keduanya sama-sama bertujuan untuk membentuk seorang guru atau calon guru yang profesional, yang mengabdikan diri sepenu hati demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.


BAB III
P E N U T U P

A.    KESIMPULAN
Dari uraian di atas dpat diambil kesimpulan bahwa guru professional harus memiliki kesehatan jasmani dan rohani, mempunyai kemampuan pisik dan intelektual yang kuat, berwawasan luas, memiliki teknik mengajar yang berpengalaman, dan diakui sebagai pendidik yang telah disertifikasi.

B.     KRITIK DAN SARAN
Dari panjang lebar penjelasan pada pembahasan sebelumnya, tentu tidak lepas dari kekurangan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang mendukung makalah ini.

1] Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Halaman 28
[2] Abdullah Hassan & Ainon Mohamad. 2002. Kemahiran Interpersonal Guru dalam Perkembangan Psikologi Kanak-Kanak., Kemahiran Interpersonal Guru. Bentong, Pahang: PTS Professional Publishing Sdn. Bhd
[3] Usman, Moh. Uzer. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya halaman 17
[4] Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya halaman 11
[5] Mulyasa. Op. cit. hal 39
[6] Mulyasa. Op. Cit. hal 39

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah Hassan & Ainon Mohamad. 2002. Kemahiran Interpersonal Guru dalam Perkembangan Psikologi Kanak-Kanak., Kemahiran Interpersonal Guru. Bentong, Pahang: PTS Professional Publishing Sdn. Bhd
Mulyasa, E. 2008. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Usman, Moh. Uzer. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM DI INDONESIA


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah.

Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, maka hal itu tidak terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak zaman kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah, yang tentu saja juga ada kurikulum. Setiap generasi memiliki sejarah kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa berubah sesuai dengan zamannya. Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan unsur-unsur politis yang mengiringinya. Dalam pengertian bahwa kurikulum di Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika itu. Ketika masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan melanggengkan imprialisme. Begitupula dengan beberapa masa setelahnya.

Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, ( bahkan rencananya akan kembali terjadi perubahan kurikulum di 2013 ini ). Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.

Atas dasar inilah penulis akan membuat makalah sederhana yang mengupas tentang perkembangan sejarah kurikulum di Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga orde reformasi saat ini.

1.2.Rumusan Masalah

Bagaimanakah perkembangan kurikulum prakemerdekaan?

Bagaimana perkembangan kurikulum orde lama?

Bagaimana perkembangan kurikulum orde baru?

Bagaimana perkembangan kurikulum orde reformasi?

1.3.Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum prakemerdekaan
2. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde lama
3. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde baru
4. Untuk mengetahui perkembangan kurikulum orde reformasi


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Kurikulum Pendidikan Pra Kemerdekaan
Pendidikan pada prakemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya bangsa ini dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena, pada saat penjajahan semua bentuk pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pada mulanya, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memperhatikan pendidikan namun murni hanya mencari rempah-rempah. Meski demikian, bangsa Eropa ini juga memiliki misi penyebaran agama. Karena itu pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam upaya penyebaran agama Kristen di Nusantara. Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi mereka tapi juga penduduk pribumi yang beragama Kristen.

Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan yang dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha, khususnya tanam paksa, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan. Namun kelas ini masih hanya diperuntukkan untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyai. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula. Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan kolonial. Pendidikan model bentukan Belanda pada masa ini terdapat dua macam. Pertama, Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama pendidikan 3 tahun. Sementara kurikulum yang diajarkan meliputi berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama pendidikan ini awalnya 4 tahun, kemudian 5 tahun dan terakhir 7 tahun. Kurikulum yang diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat/ menggambar dan ilmu mengukur tanah. Sementara bahasa pengantarnya menggunakan Bahasa Melayu dan Bahasa Belanda.

Diberlakukannya politik etis pada awal-awal abad ke-20 berpengaruh pula terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, di Jawa khususnya, Sekolah Kelas Dua yang mulanya hanya 3 tahun berubah menjadi 5 tahun. Kemudian pada tahun 1914 didirikan sekolah sambungan yang lamanya 2 tahun.

Pada prinsipnya Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk menjadi 3 golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Klasifikasi ini berpengaruh pula terhadap sistem pendidikan ketika itu, yaitu:

1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa, Tionghoa, dan Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya dengan bangsa Eropa.

2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.

3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra golongan atas.

Ini merupakan gambaran pendidikan rendah di Indonesia masa Belanda yang berlangsung sampai dengan tahun 1942.

Sementara untuk kelas menengah didirikan Gymnasium yang terbatas siswanya hanya orang-orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat tinggi. Sedang mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Belanda, bahasa Inggris, Ilmu Hitung, Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah dan tatabuku. Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian diperuntukkan golongan ningrat bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School) untuk orang Belanda dari golongan tinggi. Dari model pendidikan ini kemudian menjelma menjadi MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan 1 tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami pelajaran. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.

Sementara untuk tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene Midelbare School). Sekolah ini didirikan pada 1919, sebagai lanjutan dari sekolah lanjutan pertama atau MULO. Lama pendidikan ini berlangsung selama 3 tahun yang terbagi pada bagian A dan bagian B. Bagian A spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa, Melayu, Sejarah Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Sedang kesusatraan klasik barat lebih kepada bahasa latin. Sedang bagian B spesifikasi pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang meliputi ilmu pasti dan ilmu alam.

Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, maka pendidikan yang berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan berciri khas Jepang dan sesuai dengan tujuan mereka. Pada pendidikan tingkat rendahan Jepang menggantinya dengan sebutan Kokumin Gako dengan lama pendidikan 6 tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih menitik beratkan pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan kerikil dan pasir untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk membuat minyak sebagai kepentingan perang. Namun masa ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Dengan demikian penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi yang dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda, namun hanya saja yang awalnya semua hal yang berbau Belanda tergantikan dengan model-model Jepang.

2.2. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama

Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan, bahwa kurikulum pendidikan nasional telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kurikulum disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa. Tentu saja ada beberapa hal yang memang tujuannya disesuaikan dengan tuntutan kondisi zaman.

Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:

1) Kurikulum 1947

Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan”artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.

Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara. Kemungkinan model ini masih terkontamninasi dengan model pendidikan yang diterapkan oleh Jepang sebelumnya.

2) Kurikulum 1952-1964

Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.

Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau sistem lima aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan intelegensia, perkembangan emosional/artistik, perkembangan keprigelan dan perkembangan jasmaniah. Sistem panca wardana ini dapat diuraikan menjadi beberapa mata pelajaran.

1. Perkembangan moral; pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan agama/budi pekerti.
2. Perkembangan intelegensia; bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan alamiah.
3. Perkembangan emosional/artistik; seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, seni drama.
4. Perkembangan keprigelan; pertanian/peternakan, industry kecil/pekerjaan tangan, koperasi/tabungan dan keprigelan-keprigelan lain.
5. Perkembangan jasmaniah; pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.

Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat pula dikategorikan sebagai Correlated Curriculum.

2. 3. Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru

1) Kurikulum 1968

Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru. Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati.

Dasar pendidikan masa ini adalah Falsafah Negara Pancasila sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXVI/MPRS/1966. Sedang Tujuan pendidikan nasional adalah membentuk manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan ketentuan seperti yang dikehendaki oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).

Sementara isi pendidikan nasionalnya adalah; memperingati mental budi pekerti dan memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, membina dan mempertimbangkan fisik yang kuat dan sehat ( Tap. MPRS No. XXVII/MPRS/1966).

Kurikulum pada tingkatan SD 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar. Pertama, kelompok pembinaan Pancasila; pendidikan agama, pendidikan kwarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga. Kedua, Kelompok pembinaan pengetahuan dasar; berhitung, ilmu pengetahuan alam, pendidikan kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga (termasuk ilmu kesehatan). Ketiga, Kelompok kecakapan khusus; kejuruan agragia (pertanian, peternakan, perikanan), kejuruan teknik (pekerjaan tangan/perbekalan), kejuruan ketatalaksanaan/jasa (koperasi, tabungan).

Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.

2) Kurikulum 1975

Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.

Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah diatur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.

Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu; pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.

Sementara tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan pendidikan umum, tujuan institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.

3) Kurikulum 1984

Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu. Sementara dasar dan tujuan pendidikan sama dengan kurikulum 1975

4) Kurikulum 1994

Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan dasar, isi kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran: pendidikan pancasila, pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, membaca dan menulis, matematika, pengantar sains dan teknologi, ilmu bumi, sejarah nasional dan sejarah umum, kerajinan tangan dan kesenian, pendidikan jasmani dan kesehatan, menggambar, bahasa Inggris.(PP. No. 28 tahun 1990. Pasal 14:2). Sementara materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.

Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar Sains dan Tekhnologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik meskipun tidak mengabaikan aspek yang lain. Hal ini dimungkinkan sebagai upaya mempersiapkan anak didik memasuki era industrialisasi abad ke-21 dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Sementara berkaitan dengan isi kurikulum tingkat pendidikan menengah, maka setidaknya wajib memuat tiga aspek kajian dan pelajaran yaitu; Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan. Disamping itu, kurikulum sekolah menengah dapat menjabarkan dan menambahkan mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas sekolah menengah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara nasional (Pasal 15:5)

Atas dasar inilah berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.

Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:

Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.

Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi pelajaran/isi).

Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.

Pengajaran dari hal yang konkrit ke hal yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.

Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai berikut:

Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata pelajaran.

Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

2.4. Pendidikan pada Masa Reformasi

Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.

Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi” atau yang kerap disebut kurikulum KBK.

Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989, dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai: “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”.

1) Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)

Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Peran guru diposisikan kembali sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.

Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan.

KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002). Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.

Diantara karakteristik utama KBK, yaitu:

1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi.
2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal, sedang, dan tinggi).
3. Berpusat pada siswa.
4. Orientasi pada proses dan hasil.
5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual.
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar.
8. Belajar sepanjang hayat;
9. Belajar mengetahui (learning how to know),
10. Belajar melakukan (learning how to do),
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be),
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together).

Meski demikian, kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang diterapkan secara terbatas di beberapa sekolah/madrasah. Ketentuan ini belum mendapatkan payung hukum dari peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap sekolah/madrasah yang menerapkan kurikulum KBK tersebut. Setidaknya ini tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 20/2005 tentang ujian nasional tahun ajaran 2005/2006 yang menyatakan bahwa bahan ujian nasional disusun berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan kurikulum 2004.

2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah/madrasah). Sedangkan pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan kurikulum. Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.

Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan daripada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar.

3) Kurikulum 2013


Dalam pemaparannya di Griya Agung Gubernuran Sumatera Selatan (kemdikbud.go.id) , Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Ir. Muhammad Nuh, DEA menegaskan bahwa kurikukulum terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah menuntut kemapuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memeiliki tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritias. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative member kesempatan siswa untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Seperti yang dirilis kemdikbud dalam kemdikbud.go.id ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.

  • Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-rata 44,46
  • Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan kepada siswa.
  • Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman sejawat lainnya.
  • Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan ditiru siswa.

Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. 

Kesiapan guru ini akan berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu ;ebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima materi pembelajaran.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam cengkeraman kolonial, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah demi kepentingan penjajah itu sendiri, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Masa kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar dalam kebudayaan Indonesia, disadari ataupun tidak, turut pula memberikan pengaruh terhadap pola pendidikan Indonesia ketika merdeka meskipun dalam hal ini nuansanya lebih keindonesiaannya.

Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam bidikan politisi. Ketika orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana ideologisasi atau proses internalisasi sosial komunis. Begitu pula ketika orde baru memimpin, maka pelanggengan kekuasaan juga dikoarkan dalam dunia pendidikan dengan pendidikan Pancasilanya, dan menghilangkan hal-hal yang berbau orde lama.

Meski demikian, sejarah kurikulum pendidikan nasional senantiasa mencari formula sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika posisi sentralisasi pendidikan dianggap sudah usang dan kurang relevan dengan otonomi daerah, maka pendidikan juga turut mengalami desentralisasi dengan memberikan daerah otonomi sendiri. Bahkan terakhir, pemerintah pusat memberikan kebijakan kepada masing-masing satuan pendidik untuk menentukan silabus yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.

3.2. Saran

Penulis sangat menyadari jika dalam makalah sederhana ini masih banyak kekurangan. Karena itu, penulis membuka diri untuk menerima kritik yang membangun guna tersempurnanya makalah ini.




DAFTAR PUSTAKA

http://malikabdulkarim.blogspot.com/2011/05/sejarah-perkembangan-kurikulum.html

http://filsufgaul.wordpress.com/2009/08/30/sejarah-pendidikan-indonesia/http://ebookbrowse.com/sejarah-pendidikan-dari-zaman-kolonial-belanda-sampai-kurikulum-ktsp-pdf-d339796568

Idi, Abdullah. Pengembangan Kurikulum; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz Media. 2011

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.1997.