03 Maret 2012

SUMPAH JANJI PEGAWAI NEGERI SIPIL


Demi allah, 
Saya bersumpah/ berjanji 
Bahwa saya, untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil, 
Akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah; 

Bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, tanggung jawab; 

Bahwa saya, 
Akan senantiasa menjunjung tinggi kegormatan Negara, pemerintah, dan Martabat Pegawai Negeri, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara, serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan 

Bahwa saya, 
Akan memegang teguh rahasia sesuatu yang menurut sifatnya 
atau menurut perintah harus saya rahasiakan; 

Bahwa saya 
Akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara 

(Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah/Janji Pegewai Negeri Sipil)


Bolehkah Melanggar Janji/Sumpah?
Ada seorang teman satu kampus ngirim SMS pada saya, dia bertanya seperti ini:
“Wir, janji itu adalah hutang. Hutang itu hrus dbayar smpe mati kan bay. Kalau kta prnh jnj sma org dulu, trus keadaannya berubah, kalau janji itu dilaksanakan, dampaknya bakal kurang bagus. Itu gimana wir”

Seperti itulah bunyi SMS nya. Lalu saya jawab pada waktu itu juga sesuai keterbatasan pengetahuan saya, bahwa janji yang menimbulkan mudharat atau bertentangan dengan syari’at Islam boleh dilanggar. Saya berdalil dengan Kitabullah:

Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. An-Nuur 24:22]

Pada footnote Al-Qur’an terjemahan Depag yang diterbitkan tahun 1995 dijelaskan:
“Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bahwa dia tidak akan memberikan apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh memaafkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mereka mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka itu.”

Wallahu a’lam. Tapi kemudian saya mendapatkan penjelasan yang lebih banyak lagi mengenai hal ini. Semoga Allah mengampuni saya dan menganugerahi saya ilmu yang bermanfaat lagi.

Seperti yang pernah ditanyakan kepada Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- dengan model pertanyaan yang hampir sama, bisa dilihat artikelnya di http://almanhaj.or.id/content/1681/slash/0

Kesimpulannya bahwa oang yang melanggar sumpah wajib membayar denda. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala:

“Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang disengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu”. [Al-Ma'idah : 89]

Begitu juga jika bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, lalu melihat bahwa ternyata lebih baik membatalkan sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpah tersebut kemudian membayar denda sumpah tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Jika engkau bersumpah, kemudian engkau melihat sesuatu yang lebih baik dari sumpah tersebut, maka batalkanlah sumpahmu (dengan membayar denda) dan kerjakanlah sesuatu yang lebih baik dari sumpahmu itu”. [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Namun, ada dua keadaan dimana sang pelanggar sumpah atau janji tidak wajib membayar kaffarah (denda):

Pertama, dia melanggar karena lupa, tidak sengaja, atau terpaksa dan tidak mampu lagi untuk menolaknya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya Allah menghapuskan (kesalahan) dari umatku, (yang dilakukan) karena tidak sengaja, lupa, atau terpaksa.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani)

Kedua, ketika bersumpah dia mengucapkan, “insyaa Allah” sebagaimana dinyatakan dalam hadis,

“Siapa yang bersumpah dan dia mengucapkan: InsyaaAllah, maka dia tidak dianggap melanggar.” (H.R. Ahmad, Turmudzi, Ibn Hibban dan disahihkan Syu’aib al-Arnauth)

Jika tidak dinilai melanggar, berarti tidak ada dosa dan tidak wajib membayar kaffarah. Sebagaimana keterangan dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Jami Turmudzi (5: 109)
http://konsultasisyariah.com/sumpah-atas-nama-allah

Dari penjelasan di atas yang saya dapat dari beberapa sumber, maka saya ingin menasehati pada kawan-kawan semua: Janganlah bermain-main dengan janji dan sumpah. Dan ucapkanlah INSYA ALLAH (Jika Allah menghendaki).

Allah berfirman:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu ’sesungguhnya aku akan mengerjakan esok,’ kecuali (dengan mengucapkan) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah ‘mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS Al-Kahfi: 23-24).

Ajang Korupsi Para Pegawai Muda


KITA sudah maklum dengan tradisi-budaya korupsi yang kian mengakar pada bangsa ini. Bangsa besar dan beradab dengan keluhuran nilai-nilai moral yang tertanam dalam jati diri bangsa. Tapi harus terkaburkan oleh perilaku kotor penduduknya, yakni korupsi. Sebuah kejahatan kemanusiaan terbesar selain trafficking yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Korupsi terasa sulit dikikis. Karena masih terkesan dipertahankan oleh “penguasa”. Semua pihak menyadari hal ini. Karena bukan hanya oknum pejabat pemerintah saja yang melakukan, kini, kalangan masyarakat menengah ke bawah pun mulai terendus “bau busuknya” oleh hukum. Dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil. Bersumber dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang tindak pidana korupsi oleh hampir 50 persen anggota PNS di daerah (setingkat pemda) dari golongan III A dengan nominal uang “haram” mencapai Rp 20 miliar. Miris campur geram kiranya kita membaca kenyataan ini karena korupsi sudah terlalu merakyat.

Semua pihak melakukan korupsi. Sudah menjadi tradisi yang membudaya. Disadari atau tidak, ini kenyataan yang ada di lingkungan kita. Hampir tidak ada lembaga – baik formal maupun non formal – yang bebas dari jeratan hukum karena kasus korupsi anggotanya. Sudah lama korupsi dipertontonkan oleh para pemimpin di daerah dan di pusat. Kejadian paling memilukan adalah skandal korupsi oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang seharusnya mereka bisa memudahkan masyarakat dalam menyejahterakan kehidupannya dengan memberikan pekerjaan layak. Terindikasinya kalangan PNS muda melakukan korupsi adalah dengan ditemukannya rekening gendut di hampir 8.o6o-an nomer rekening (laporan juli 2011).

PPATK menyatakan 50 persen PNS muda yang kaya terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Indikator kaya ini dilihat dari gaya hidup mewah, kepemilikan barang mewah, dan jumlah rekening yang tidak wajar. Salah satu modus tindak korupsi ini adalah memindahkan dana APBN atau APBD ke rekening pribadinya, proyek fiktif, gratifikasi, dan suap. (Republika, 6 Desember 2011)

Dalam buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, terbitan KPK, disebutkan bahwa pemberian hadiah (gratifikasi) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Sederhananya adalah memberi uang pelicin. Kiranya praktek inilah yang tanpa kita sadari sudah bertengger di setiap even penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Alhasil, kinerja mereka akan jauh dari konteks profesionalitas. Paradigma “balik modal” menjadi acuan dalam lahan garapan yang harus dikerjakan. Ini kenyataan/problema di Negara kita yang lebih pantas diperhatikan oleh pemerintah ketimbang menyoal pemberian materi kepada pejabat DPR.

Sejatinya selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tentunya bagi mereka yang mau mengkaji dan mempelajarinya secara serius. Orang yang menjadikan suatu peristiwa sebagai wahana pembelajaran, pada dasarnya ia tengah berupaya untuk mengarahkan kesadaran kritisnya sebagai manusia yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi, dan mensyukuri atas karunia nikmat yang telah diberikan Tuhan Sang Maha Pemberi.

Tak pelak, kasus korupsi di Indonesia pun sejatinya bisa kita pelajari akan makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Contoh sederhana, dalam konteks historis bisa kita saksikan ketika runtuhnya VOC (berdiri pada Maret 1602) karena skandal korupsi para pegawainya. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korupsi dan langsung dipulangkan ke Belanda. Kongsi dagang Belanda ini dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan utang sebanyak ±136,7 juta gulden.

Perilaku koruptif masyarakat yang kian mengarat, rupanya tidak akan selesai diperbincakan untuk dicari jalan keluar yang efektif. Pelbagai pihak ngadu argumentasi untuk mengeluarkan satu strategi rjitu memberantas korupsi. Namun terkadang skandal baru yang lebih besar malah menyulutkan optimisme semua pihak dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Keseriusan niat — pemerintah — dan kegigihan dalam pelaksanaan di lapangan sedikit banyaknya akan mampu mengcounter dan menopang hukum dalam memburu para koruptor.

Kembali pada permasahan di atas, sejatinya PPATK dan KPK harus segera bertindak ‘gila’ (terutama KPK) untuk menyempitkan ruang gerak mereka (baca: PNS muda) yang disyinyalir terjerat kasus korupsi dengan diketemukannya rekening gendut di masing-masing lembaga. Kerja keras KPK mengusut skandal hitam para PNS muda ini penting mendapat dukungan dari semua pihak. Tak terkecuali kita masyarakat yang tentunya merasa paling dirugikan oleh tragedi kemanusiaan ini.

Di lain pihak, guru sebagai salah satu pejabat fungsional dari PNS, sering terlihat diterlantarkan oleh pemerintah. Realitas menunjukan kesejahteraan guru jauh dari kehidupan layak. Meskipun dalam UU tentang Guru dan Dosen yang ditetapkan pada tanggal 6 Desember 2005 silam, pemerintah telah sedikit mengangkat nilai kesejahteraan guru dengan dideklarasikannya guru sebagai profesi. Namun, hal ini tak cukup berarti bagi kaum pendidik di era yang serba kompetitif namun cenderung fiktif ini. Dalam kegamangan sosial politik, kita tentu harus segera bersikap dan bertindak secara proporsional.

Berbenah diri untuk berkata tidak dalam praktek suap-menyuap ketika mengikuti tes atau seleksi apa pun itu, dan meningkatkan informasi yang benar-benar shahih tentang suatu hal pekerjaan, serta senantiasa mendekatkan diri kepadaNya, akan meminimalisir praktek kerja kita di masa depan dari hingar bingar kebobrokan perilaku koruptif. Semoga.[]

Sumber: http://opinidian.wordpress.com/2011/12/10/korupsi-rekening-gendut-pns-muda/

02 Maret 2012

Siapa sebenrnya jhon kei?


Jhon Refra Kei atau yang biasa disebut Jhon Kei, tokoh pemuda asal Maluku yang lekat dengan dunia kekerasan di Ibukota. Namanya semakin berkibar ketika tokoh pemuda asal Maluku Utara pula, Basri Sangaji meninggal dalam suatu pembunuhan sadis di hotel Kebayoran Inn di Jakarta Selatan pada 12 Oktober 2004 lalu.

Padahal dua nama tokoh pemuda itu seperti saling bersaing demi mendapatkan nama lebih besar. Dengan kematian Basri, nama Jhon Key seperti tanpa saingan. Ia bersama kelompoknya seperti momok menakutkan bagi warga di Jakarta.

Untuk diketahui, Jhon Kei merupakan pimpinan dari sebuah himpunan para pemuda Ambon asal Pulau Kei di Maluku Tenggara. Mereka berhimpun pasca-kerusuhan di Tual, Pulau Kei pada Mei 2000 lalu. Nama resmi himpunan pemuda itu Angkatan Muda Kei (AMKEI) dengan Jhon Kei sebagai pimpinan. Ia bahkan mengklaim kalau anggota AMKEI mencapai 12 ribu orang.

Lewat organisasi itu, Jhon mulai mengelola bisnisnya sebagai debt collector alias penagih utang. Usaha jasa penagihan utang semakin laris ketika kelompok penagih utang yang lain, yang ditenggarai pimpinannya adalah Basri Sangaji tewas terbunuh. Para ‘klien’ kelompok Basri Sangaji mengalihkan ordernya ke kelompok Jhon Kei. Aroma menyengat yang timbul di belakang pembunuhan itu adalah persaingan antara dua kelompok penagih utang.

Bahkan pertumpahan darah besar-besaran hampir terjadi tatkala ratusan orang bersenjata parang, panah, pedang, golok, celurit saling berhadapan di Jalan Ampera Jaksel persis di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada awal Maret 2005 lalu. Saat itu sidang pembacaan tuntutan terhadap terdakwa pembunuhan Basri Sangaji. Beruntung 8 SSK Brimob Polda Metro Jaya bersenjata lengkap dapat mencegah terjadinya bentrokan itu.

Sebenarnya pembunuhan terhadap Basri ini bukan tanpa pangkal, konon pembunuhan ini bermula dari bentrokan antara kelompok Basri dan kelompok Jhon Key di sebuah Diskotik Stadium di kawasan Taman Sari Jakarta Barat pada 2 Maret 2004 lalu. Saat itu kelompok Basri mendapat ‘order’ untuk menjaga diskotik itu. Namun mendadak diserbu puluhan anak buah Jhon Kei Dalam aksi penyerbuan itu, dua anak buah Basri yang menjadi petugas security di diskotik tersebut tewas dan belasan terluka.

Polisi bertindak cepat, beberapa pelaku pembunuhan ditangkap dan ditahan. Kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Namun pada 8 Juni di tahun yang sama saat sidang mendengarkan saksi-saksi yang dihadiri puluhan anggota kelompok Basri dan Jhon Kei meletus bentrokan. Seorang anggota Jhon Kei yang bernama Walterus Refra Kei alias Semmy Kei terbunuh di ruang pengadilan PN Jakbar. Korban yang terbunuh itu justru kakak kandung Jhon Key, hal ini menjadi salah satu faktor pembunuhan terhadap Basri, selain persaingan bisnis juga ditunggangi dendam pribadi.

Pada Juni 2007 aparat Polsek Tebet Jaksel juga pernah meminta keterangan Jhon Key menyusul bentrokan yang terjadi di depan kantor DPD PDI Perjuangan Jalan Tebet Raya No.46 Jaksel. Kabarnya bentrokan itu terkait penagihan utang yang dilakukan kelompok Jhon Key terhadap salah seorang kader PDI Perjuangan di kantor itu. Bukan itu saja, di tahun yang sama kelompok ini juga pernah mengamuk di depan Diskotik Hailai Jakut hingga memecahkan kaca-kaca di sana tanpa sebab yang jelas.

Sebuah sumber dari seseorang yang pernah berkecimpung di kalangan jasa penagihan utang menyebutkan, Jhon Kei dan kelompoknya meminta komisi 10 persen sampai 80 persen. Persentase dilihat dari besaran tagihan dan lama waktu penunggakan. “Tapi setiap kelompok biasanya mengambil komisi dari kedua hal itu,” ujar sumber tersebut.

Dijelaskannya, kalau kelompok John, Sangaji atau Hercules yang merupakan 3 Besar Debt Collector Ibukota biasanya baru melayani tagihan di atas Rp 500 juta. Menurutnya, jauh sebelum muncul dan merajalelanya ketiga kelompok itu, jasa penagihan utang terbesar dan paling disegani adalah kelompok pimpinan mantan gembong perampok Johny Sembiring, kelompoknya bubar saat Johny Sembiring dibunuh sekelompok orang di persimpangan Matraman Jakarta Timur tahun 1996 lalu.

Kalau kelompok tiga besar itu biasa main besar dengan tagihan di atas Rp 500 juta’an, di bawah itu biasanya dialihkan ke kelompok yang lebih kecil. Persentase komisinya pun dilihat dari lamanya waktu nunggak, semakin lama utang tak terbayar maka semakin besar pula komisinya,” ungkap sumber itu lagi.Dibeberkannya, kalau utang yang ditagih itu masih di bawah satu tahun maka komisinya paling banter 20 persen. Tapi kalau utang yang ditagih sudah mencapai 10 tahun tak terbayar maka komisinya dapat mencapai 80 persen.

Bahkan menurut sumber tersebut, kelompok penagih bisa menempatkan beberapa anggotanya secara menyamar hingga berhari-hari bahkan berminggu-minggu atau berbulan-bulan di dekat rumah orang yang ditagih. “Pokoknya perintahnya, dapatkan orang yang ditagih itu dengan cara apa pun,” ujarnya.

Saat itulah kekerasan kerap muncul ketika orang yang dicari-carinya apalagi dalam waktu yang lama didapatkannya namun orang itu tak bersedia membayar utangnya dengan berbagai dalih. “Dengan cara apa pun orang itu dipaksa membayar, kalau perlu culik anggota keluarganya dan menyita semua hartanya,” lontarnya.

Dilanjutkannya, ketika penagihan berhasil walaupun dengan cara diecer alias dicicil, maka saat itu juga komisi diperoleh kelompok penagih. “Misalnya total tagihan Rp 1 miliar dengan perjanjian komisi 50 persen, tapi dalam pertemuan pertama si tertagih baru dapat membayar Rp 100 juta, maka kelompok penagih langsung mengambil komisinya Rp 50 juta dan sisanya baru diserahkan kepada pemberi kuasa. Begitu seterusnya sampai lunas. Akhirnya walaupun si tertagih tak dapat melunasi maka kelompok penagih sudah memperoleh komisinya dari pembayaran-pembayaran sebelumnya,”

Dalam ‘dunia persilatan’ Ibukota, khususnya dalam bisnis debt collector ini, kekerasan kerap muncul diantara sesama kelompok penagih utang. Ia mencontohkan pernah terjadi bentrokan berdarah di kawasan Jalan Kemang IV Jaksel pada pertengahan Mei 2002 silam, dimana kelompok Basri Sangaji saat itu sedang menagih seorang pengusaha di rumahnya di kawasan Kemang itu, mendadak sang pengusaha itu menghubungi Hercules yang biasa ‘dipakainya’ untuk menagih utang pula.

“Hercules sempat ditembak beberapa kali, tapi dia hanya luka-luka saja dan bibirnya terluka karena terserempet peluru. Dia sempat menjalani perawatan cukup lama di sebuah rumah sakit di kawasan Kebon Jeruk Jakbar. Beberapa anak buah Hercules juga terluka, tapi dari kelompok Basri seorang anak buahnya terbunuh dan beberapa juga terluka,” tutupnya.

Selain jasa penagihan utang, kelompok Jhon Kei juga bergerak di bidang jasa pengawalan lahan dan tempat. Kelompok Jhon Kei semakin mendapatkan banyak ‘klien’ tatkala Basri Sangaji tewas terbunuh dan anggota keloompoknya tercerai berai. Padahal Basri Sangaji bersama kelompoknya memiliki nama besar pula dimana Basri CS pernah dipercaya terpidana kasus pembobol Bank BNI, Adrian Waworunto untuk menarik aset-asetnya. Tersiar kabar, Jamal Sangaji yang masih adik sepupu Basri yang jari-jari tangannya tertebas senjata tajam dalam peristiwa pembunuhan Basri menggantikan posisi Basri sebagai pimpinan dengan dibantu adiknya Ongen Sangaji.

Kelompok Jhon Kei pernah mendapat ‘order’ untuk menjaga lahan kosong di kawasan perumahan Permata Buana, Kembangan Jakarta Barat. Namun dalam menjalankan ‘tugas’ kelompok ini pernah mendapat serbuan dari kelompok Pendekar Banten yang merupakan bagian dari Persatuan Pendekar Persilatan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI).

Sekedar diketahui, markas dan wilayah kerja mereka sebetulnya di Serang dan areal Provinsi Banten. Kepergian ratusan pendekar Banten itu ke Jakarta untuk menyerbu kelompok Jhon Kei pada 29 Mei 2005 ternyata di luar pengetahuan induk organisasinya. Kelompok penyerbu itu pun belum mengenal seluk-beluk Ibukota.

Akibatnya, seorang anggota Pendekar Banten bernama Jauhari tewas terbunuh dalam bentrokan itu. Selain itu sembilan anggota Pendekar Banten terluka dan 13 mobil dirusak. 3 SSK Brimob PMJ dibantu aparat Polres Jakarta Barat berhasil mengusir kedua kelompok yang bertikai dari areal lahan seluas 5.500 meter persegi di Perum Permata Buana Blok L/4, Kembangan Utara Jakbar. Namun buntut dari kasus ini, Jhon Kei hanya dimintakan keterangannya saja.

Sebuah sumber dari kalangan ini mengatakan kelompok penjaga lahan seperti kelompok Jhon Kei biasanya menempatkan anggotanya di lahan yang dipersengketakan. Besarnya honor disesuaikan dengan luasnya lahan, siapa pemiliknya, dan siapa lawan yang akan dihadapinya

“Semakin kuat lawan itu, semakin besar pula biaya pengamanannya. Kisaran nominal upahnya, bisa mencapai milyaran rupiah. Perjanjian honor atau upah dibuat antara pemilik lahan atau pihak yang mengklaim lahan itu milikya dengan pihak pengaman. Perjanjian itu bisa termasuk ongkos operasi sehari-hari bisa juga diluarnya, misalnya untuk sebuah lahan sengketa diperlukan 50 orang penjaga maka untuk logistik diperlukan Rp 100 ribu per orang per hari, maka harus disediakan Rp 5 juta/hari atau langsung Rp 150 juta untuk sebulan.

Selain pengamanan lahan sengketa, ada pula pengamanan asset yang diincar pihak lain maupun menjaga lokasi hiburan malam dari ancaman pengunjung yang membikin onar maupun ancaman pemerasan dengan dalih ‘jasa pengamanan’ oleh kelompok lain, walau begitu tapi tetap saja mekanisme kerja dan pembayarannya sama dengan pengamanan lahan sengketa.