03 Maret 2012

Ajang Korupsi Para Pegawai Muda


KITA sudah maklum dengan tradisi-budaya korupsi yang kian mengakar pada bangsa ini. Bangsa besar dan beradab dengan keluhuran nilai-nilai moral yang tertanam dalam jati diri bangsa. Tapi harus terkaburkan oleh perilaku kotor penduduknya, yakni korupsi. Sebuah kejahatan kemanusiaan terbesar selain trafficking yang harus diberantas sampai ke akar-akarnya. Korupsi terasa sulit dikikis. Karena masih terkesan dipertahankan oleh “penguasa”. Semua pihak menyadari hal ini. Karena bukan hanya oknum pejabat pemerintah saja yang melakukan, kini, kalangan masyarakat menengah ke bawah pun mulai terendus “bau busuknya” oleh hukum. Dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil. Bersumber dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang tindak pidana korupsi oleh hampir 50 persen anggota PNS di daerah (setingkat pemda) dari golongan III A dengan nominal uang “haram” mencapai Rp 20 miliar. Miris campur geram kiranya kita membaca kenyataan ini karena korupsi sudah terlalu merakyat.

Semua pihak melakukan korupsi. Sudah menjadi tradisi yang membudaya. Disadari atau tidak, ini kenyataan yang ada di lingkungan kita. Hampir tidak ada lembaga – baik formal maupun non formal – yang bebas dari jeratan hukum karena kasus korupsi anggotanya. Sudah lama korupsi dipertontonkan oleh para pemimpin di daerah dan di pusat. Kejadian paling memilukan adalah skandal korupsi oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang seharusnya mereka bisa memudahkan masyarakat dalam menyejahterakan kehidupannya dengan memberikan pekerjaan layak. Terindikasinya kalangan PNS muda melakukan korupsi adalah dengan ditemukannya rekening gendut di hampir 8.o6o-an nomer rekening (laporan juli 2011).

PPATK menyatakan 50 persen PNS muda yang kaya terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Indikator kaya ini dilihat dari gaya hidup mewah, kepemilikan barang mewah, dan jumlah rekening yang tidak wajar. Salah satu modus tindak korupsi ini adalah memindahkan dana APBN atau APBD ke rekening pribadinya, proyek fiktif, gratifikasi, dan suap. (Republika, 6 Desember 2011)

Dalam buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, terbitan KPK, disebutkan bahwa pemberian hadiah (gratifikasi) kepada penyelenggara negara dan berhubungan dengan jabatannya, jika tidak dilaporkan ke KPK menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Sederhananya adalah memberi uang pelicin. Kiranya praktek inilah yang tanpa kita sadari sudah bertengger di setiap even penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Alhasil, kinerja mereka akan jauh dari konteks profesionalitas. Paradigma “balik modal” menjadi acuan dalam lahan garapan yang harus dikerjakan. Ini kenyataan/problema di Negara kita yang lebih pantas diperhatikan oleh pemerintah ketimbang menyoal pemberian materi kepada pejabat DPR.

Sejatinya selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tentunya bagi mereka yang mau mengkaji dan mempelajarinya secara serius. Orang yang menjadikan suatu peristiwa sebagai wahana pembelajaran, pada dasarnya ia tengah berupaya untuk mengarahkan kesadaran kritisnya sebagai manusia yang mengemban misi kekhalifahan di muka bumi, dan mensyukuri atas karunia nikmat yang telah diberikan Tuhan Sang Maha Pemberi.

Tak pelak, kasus korupsi di Indonesia pun sejatinya bisa kita pelajari akan makna dan pesan yang terkandung di dalamnya. Contoh sederhana, dalam konteks historis bisa kita saksikan ketika runtuhnya VOC (berdiri pada Maret 1602) karena skandal korupsi para pegawainya. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korupsi dan langsung dipulangkan ke Belanda. Kongsi dagang Belanda ini dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan utang sebanyak ±136,7 juta gulden.

Perilaku koruptif masyarakat yang kian mengarat, rupanya tidak akan selesai diperbincakan untuk dicari jalan keluar yang efektif. Pelbagai pihak ngadu argumentasi untuk mengeluarkan satu strategi rjitu memberantas korupsi. Namun terkadang skandal baru yang lebih besar malah menyulutkan optimisme semua pihak dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Keseriusan niat — pemerintah — dan kegigihan dalam pelaksanaan di lapangan sedikit banyaknya akan mampu mengcounter dan menopang hukum dalam memburu para koruptor.

Kembali pada permasahan di atas, sejatinya PPATK dan KPK harus segera bertindak ‘gila’ (terutama KPK) untuk menyempitkan ruang gerak mereka (baca: PNS muda) yang disyinyalir terjerat kasus korupsi dengan diketemukannya rekening gendut di masing-masing lembaga. Kerja keras KPK mengusut skandal hitam para PNS muda ini penting mendapat dukungan dari semua pihak. Tak terkecuali kita masyarakat yang tentunya merasa paling dirugikan oleh tragedi kemanusiaan ini.

Di lain pihak, guru sebagai salah satu pejabat fungsional dari PNS, sering terlihat diterlantarkan oleh pemerintah. Realitas menunjukan kesejahteraan guru jauh dari kehidupan layak. Meskipun dalam UU tentang Guru dan Dosen yang ditetapkan pada tanggal 6 Desember 2005 silam, pemerintah telah sedikit mengangkat nilai kesejahteraan guru dengan dideklarasikannya guru sebagai profesi. Namun, hal ini tak cukup berarti bagi kaum pendidik di era yang serba kompetitif namun cenderung fiktif ini. Dalam kegamangan sosial politik, kita tentu harus segera bersikap dan bertindak secara proporsional.

Berbenah diri untuk berkata tidak dalam praktek suap-menyuap ketika mengikuti tes atau seleksi apa pun itu, dan meningkatkan informasi yang benar-benar shahih tentang suatu hal pekerjaan, serta senantiasa mendekatkan diri kepadaNya, akan meminimalisir praktek kerja kita di masa depan dari hingar bingar kebobrokan perilaku koruptif. Semoga.[]

Sumber: http://opinidian.wordpress.com/2011/12/10/korupsi-rekening-gendut-pns-muda/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar