08 Januari 2012

Tulisan Dahlan Iskan Lulusan S1 Saja Cukup Tak Perlu MM


Salah satu acara saya di Jogja pekan lalu adalah menghadiri konferensi mengenai keterkaitan pendidikan magister manajemen (MM) dengan dunia bisnis. Singkatnya apa yang sebenarnya diperlukan oleh dunia bisnis dari pendidikan manajemen yang ada di Indonesia ini.
Acara yang diselenggarakan di MM UGM Jogja itu dihadiri oleh para pimpinan program MM dari berbagai universitas di seluruh Indonesia. Juga oleh para praktisi bisnis dari perbankan, asuransi, industri oksigen dan juga media seperti saya.

Saya menyampaikan terus terang bahwa saya belum pernah melihat kurikulum di program MM. Saya juga tidak tahu komposisi antara pelajaran teoritis, studi kasus dan magangnya. Bahkan saya belum pernah melihat bagaimana bentuk ijazah MM itu. Kalau saja saya pernah melihatnya, maka saya akan langsung tahu bagaimana membuat hubungan yang akan terjadi.

Saya tahu dan menjalani, mengapa dunia usaha memerlukan seorang lulusan S-1 dan tidak cukup kalau hanya SMA. Seorang lulusan S-1 diasumsikan bahwa dia sudah memperoleh pendidikan bagaimana berpikir logis, analitis dan sistematis. Maka yang kita perlukan paling pokok dari seorang lulusan S-1 adalah tiga hal itu. Bahkan dia pintar dalam disiplin ilmu tertentu adalah juga penting, tapi belum yang terutama. Sebab untuk penguasaan materi bidang tertentu, seorang bisnisman akan lebih mengandalkan dari praktik yang dia lakukan ketika mulai masuk bekerja.

Kalau seorang lulusan S-1 berpikirnya sangat logis, analitis dan sistematis, maka dia akan dengan sangat cepat menguasai materi-materi baru yang ada di perusahaan dengan amat cepat dan baik. Bahwa dia memiliki penguasaan materi di bidang itu, memang bisa menambah kecepatan tersebut.

Tapi mengapa perusahaan juga memerlukan lulusan S-1 dengan IP yang tinggi? Saya kemukakan, bahwa IP tinggi diperlukan sebagai penetapam asumsi bahwa lulusan tersebut punya otak yang kapasitasnya cukup besar. Gunanya, untuk menyerap hal-hal baru yang dia temukan ketika mulai bekerja dengan daya serap yang besar. Kalau IP-nya tinggi, kita bisa mengasumsikan bahwa otaknya cukup besar. Buktinya mampu menyerap pelajaran dengan sangat baik. Berarti dia juga akan mampu menyerap hal-hal baru yang dia temukan saat bekerja secara baik pula.

Maka dari seorang lulusan S-1 kita sudah akan mengandalkan sistem berpikir dan kecepatan daya serapnya. Soal penguasaan atas pekerjaannya biarlah didapat secara cepat dari masa awal kerjanya. Semakin lama bekerja akan semakin punya penguasaan pekerjaan yang sangat baik. Termasuk penguasaan bidang manajemen yang dia pelajari dari praktik manajemen di perusahaan tempatnya bekerja.

Pelajaran manajemen itu dia peroleh secara langsung dan praktik dari pimpinan perusahaan, para seniornya dan juga dari hubungannya dengan relasi perusahaan tempatnya bekerja. Di samping dari keinginannya sendiri untuk tahu lebih dalam mengenai bidang manajemen. Kapasitas berpikir, kecepatan menyerap penguasaan pekerjaan dan kemudian karakter yang baik, itulah yang kemudian disebut perjalanan karir.


Dari seorang lulusan S-1 kita masih bisa mengandalkan satu hal lagi: umurnya yang masih muda. Katakanlah umurnya baru 23 tahun. Dengan umur segitu dan dengan kapasitas berpikir yang besar, logis dan analitis maka dalam 3 atau 4 tahun si lulusan S-1 tadi sudah akan sangat menguasai pekerjaan dengan segala persoalannya.

Kalau belum juga berarti ada tiga kemungkinan: kapasitas berpikirnya ternyata tidak sebesar yang digambarkan oleh IP-nya, atau dia seorang pemalas, atau lingkungan tempatnya bekerja tidak memiliki sistem dan praktik manajemen yang memadai. Tapi kalau tiga-tiganya ada dan lulusan S-1 yang sudah berpengalaman 4 tahun tadi karirnya belum baik juga, barangkali persoalannya tinggal satu: karakternya kurang baik. Bisa jadi dia seorang yang potensial konflik, bisa jadi seorang yang tidak bisa bekerja dalam tim dan barangkali seorang yang tidak jujur.

Kalau begitu, apa yang diharapkan dari seorang lulusan MM? Sudah pasti bukan kapasitas berpikirnya, bukan penguasaan atas penguasaan pekerjaannya. Dan sudah pasti bukan pula umurnya, karena sudah pasti minimal 2 tahun lebih tua dari seorang lulusan S-1.
Salah satu yang mungkin diperlukan adalah: keahlian ilmu manajemennya. Ilmunya bukan kemampuan manajerialnya.

Tapi karena praktik manajerial itu bercabang-cabang, maka sebenarnya kita perlu referensi dari lembaga yang menjelenggarakan program MM. Si lulusan MM itu unggul di cabang manajemen yang mana? Manajemen personalia? Manajemen pemasaran? Manajemen keuangan?
Maka dalam forum di UGM itu saya bertanya: tergambarkah di dalam ijazah MM itu di bidang manajemen yang mana nilainya lebih tinggi? Agar dunia usaha bisa langsung memplot bidang tugasnya? Kalau tidak, maka pelaku usaha akan tetap memperlakukan lulusan MM sebagaimana memperlakukan lulusan S-1.

Artinya harus dites dulu, lalu dicoba dulu beberapa waktu ditempatkan di beberapa bagian sebelum akhirnya ditemukan di mana tempat yang terbaik untuk dirinya. Kalau perusahaan masih harus memperlakukan lulusan MM seperti itu, maka pada dasarnya kecocokan dunia program MM dan dunia usaha masih belum ideal.

Kalau gambaran lulusan itu lebih konkrit, maka lulusan MM akan bisa langsung masuk ke level dua di perusahaan, dengan asumsi perusahaan memang memerlukannya karena tidak semua tenaga lulusan S-1 yang disiapkannya bisa mencapai level itu.


Karena diharapkan masuknya langsung di level dua, maka keinginan perusahaan terhadap lulusan MM adalah kemampuannya untuk melakukan perubahan. Yakni perubahan dalam sistem dan praktek manajemen di lingkungannya. Tanpa kemampuan melakukan perubahan itu maka sebenarnya urgensi program MM juga tidak tinggi. Itulah sebabnya di forum itu saya mengemukakan sebenarnya banyaknya pejabat yang mengambil program MM hanya akan menjatuhkan reputasi program MM. Sebab, setelah menyandang gelar MM mereka toh tidak mampu melakukan perubahan apa-apa. Antara lain karena lingkungan kerjanya yang memang tidak memungkinkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar