08 Februari 2012

Boros atau Korupsi?


Seruan Presiden untuk hidup sederhana dan hemat ternyata cuma angin lalu. Bukan sekedar anggaran perjalanan dinas yang berbiaya tinggi, namun ternyata urusan protokoler saja memerlukan biaya yang luar biasa tinggi. Sorotan rakyat terhadap persoalan anggaran ini memang sudah sangat transparan seiring dengan meningkatnya problem-problem kemiskinan di tengah masyarakat. Tidak realistisnya anggaran kerumahtanggaan presiden ini dapat dibaca dari besarnya anggaran pidato presiden yang untuk tahun 2011 mencapai Rp 1,9 miliar. Belum lagi soal furnitur yang sebesar Rp 42 miliar. Sangat wajar bila banyak pihak menilai hal ini sebagai pemborosan.
Pihak Mensesneg, Sudi Silalahi, membantah tudingan boros ini dengan mengatakan bahwa anggaran tersebut belum direalisasikan. Toh presiden tidak mengambil anggaran itu. Ia berkilah bahwa walau jumlah anggaran milyaran tapi yang dipakai baru ratusan juta. Pernyataan ini menambah kebingungan publik. Kalau kenyataannya tidak dipakai, mengapa dianggarkan? Itu sama saja dengan anggaran fiktif atau upaya penggelembungan anggaran. Dan ujung-ujungnya sama saja dengan korupsi, ketika di akhir tahun anggaran dilaporkan habis. Karena secara umum setiap anggaran yang diajukan harus realistis, sehingga logikanya akan terpakai habis. Di Indonesia sudah umum terjadi korupsi dengan modus mark up anggaran. Tidak sedikit pejabat yang masuk bui gara-gara mark up anggaran. Masalahnya adalah pejabat yang masuk bui itu bisa jadi bukan dari partai yang berkuasa, sehingga dengan mudahnya dituntut ke penjara.
Lebih sangat tidak logis lagi ketika kemudian anggaran pidato presiden saja mencapai Rp 1,9 miliar. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi dalam hal ini memang mengatakan bahwa dana ini terdiri dari gabungan tiga komponen, yakni anggaran penyusunan naskah pidato, anggaran percetakan naskah pidato dan anggaran pendidikan dan pelatihan pidato. Bila demikian, untuk apa sesneg digaji, kalau masih ada anggaran lain? Bila terkait dengan biaya percetakan atau penyusunan apa saja yang harus dibahas, masih bisa dijangkau akal. Namun menyangkut anggaran pendidikan dan pelatihan, untuk apa? Memang siapa yangmusti pidato, kok perlu dilatih? Apakah mereka dilatih agar bisa memilih kata dan kalimat agar tercapai target pencitraan yang terbaik bagi sosok seorang presiden? Atau dilatih agar tidak bicara apa adanya yang akan membongkar kelemahan pemerintahan yang ada. Memang akhirnya banyak sekali wacana berkembang di masyarakat. Intinya pemerintah sekarang sangat boros dan berpeluang besar korupsi.
Pemimpin dalam Islam, adalah mereka yang paling mampu bicara kepada rakyat untuk urusan rakyat. Bagaimanapun, seorang pemimpin adalah pengurus rakyat. Rasulullah Saw bersabda: al-Imaamu raa’in wa huwa mas’uulun an raiyyatihi: [Seorang pemimpin adalah bagaikan penggembala, ia akan ditanya tentang urusan kepemimpinannya] (HR. Bukhari-Muslim). Sehingga seharusnya pemimpin adalah orang yang paling mudah untuk berbicara di depan rakyatnya. Dia tahu apa yang harus dibicarakan dan apa yang tidak harus dibicarakan. Tidak untuk menyenangkan rakyat, tetapi untuk mengarahkan rakyat untuk menjalankan urusannya sesuai syariat Islam.
Namun kini pemimpin bicara hanya untuk membuat rakyat terpesona dan lupa dengan urusannya. Rakyat pun tertipu bahwa slogan hidup sederhana kenyataannya adalah menghambur-hamburkan uang rakyat. Tidak sekedar boros namun juga mencari kesempatan korupsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar