22 Mei 2012

Peluit


Prrrriiiiiitttttttttt!!!!!

Begitulah kira-kira bunyinya, tanpa variasi bunyi, tanpa perpindahan nada. Menggunakan media sangat sederhana, berbahan dasar plastik, dan di dalamnya terdapat sebentuk bola yang bila ditiup akan bergetar. Menghentak pada dinding-dinding plastik, barulah kemudian terdengar bunyi istimewa ini. Istimewa karena perangkat sederhana ini, dipegang oleh beberapa orang yang bukan sembarangan. Polisi, wasit, tukang parkir, biasa menggunakan perkakas ini. Pemegang peluit haruslah tahu kapan saat yang tepat untuk membunyikannya, bahkan lebih jauh, juga memperhatikan tempat dimana peluit akan dibunyikan.

Eh bukankah peluit menjadi tidak sederhana lagi? Peluit menjadi penanda, kapan permainan sepak bola mulai dimainkan, dan diakhiri. Kapan terjadi gol, atau mungkin bahkan pemicu, seperti genderang bagi kesenangan bernama amuk suporter. Bunyinya berarti uang yang keluar, bila saat yang sama anda ditilang karena melanggar lampu merah. Peluit menjadi peringatan, bermacam arti dan makna yang melatar belakangi.

Harapan, keinginan, muara dari kesenangan atau sebuah hulu dari duka panjang. Bisa dan mungkin ditentukan oleh bunyi peluit. Saat detik-detik injury time, sebuah gol menjadi penentu kemenangan, namun mendadak musnah hanya karena bunyi istimewa ini.

Mercu suar di ujung selatan Pulau Jawa, di Pantai Pangandaran menjadi penanda. Menjadi peringatan bagi kapal-kapal yang berlayar di Samudera Hindia. Berarti penentu arah, berarti adanya sebuah pulau yang harus dihindari, atau sebuah tempat pemberhentian.

Tak jauh dari mercu suar ini, sampah pun menjadi peringatan. Keponggahan bernama kesewenangan pada ibu pertiwi, bukan lagi sekedar ranting, bungkus shampoo, deterjen atau sandal putus. Sampah yang dibawa oleh sungai, diterima dengan ikhlas oleh samudera. Sebelum kemudian, dihempaskan di bibir pantai oleh buaian ombak. Percintaan samudera dan pantai, telah menghasilkan anak-anak bernama sampah. Seandainya saja dibiarkan, mungkin akan menutup mercu suar. Menenggelamkannya dalam gunungan sampah, dalam timbunan plastik, sandal atau ranting juga kutang.

Sampah juga akan mungkin menggantikan pasir yang lazim menyelusup di sesela jejari kaki. Menimbulkan sensasi geli menyehatkan, atau tersasar di kelindan rambut gadis. Menjadi pembenaran untuk membersihkannya, atau sebenarnya itu adalah belaian?

Tangan-tangan kecil kami siang itu, tidak berarti apa-apa. Sejumput sampah yang kami ambil hari ini. Dibayar tunai, dengan beronggok yang akan datang kemudian. Tak dapat semua kami bersihkan, masih ada yang menelusup di balik tumbuhan pantai yang bikin gatal. Masih ada yang jumawa, karena panas menjadi penghalang. 

Ah tapi semoga dengan sedikit yang kami kumpulkan hari itu, menjadi peringatan. Semacam ajakan yang akan didengar oleh telinga-telinga di tempat lain. Ditindaklanjuti oleh tangan-tangan di tempat lain, untuk memungut, atau menahan diri tidak membuangnya di sembarang tempat.

Hingga kemudian, mercu suar masih berdiri tegak. Masih menjadi penanda dan peringatan. Membantu para pelaut yang tidak dapat melihat bintang karena awan menutupi. Membantu ibu tua penjaga warung, pun tukang parkir, tentu juga penjaga loket masuk yang hanya bisa korupsi sedikit. Membantu pasir di pantai tetap bertebaran, hingga pengunjung pun datang. Juga pasangan-pasangan yang berbelaian, mungkin untuk mencari pasir yang tersasar di kelindan rambut.

Peringatan juga penanda itu, memang bermacam ragam bentuknya. Seperti kecelakaan bukan karena srempetan atau senggolan. Entah bagaimana tiba-tiba ban meletus dan jatuh dengan sendirinya. Peringatan juga datang, dalam bentuk lelahnya jiwa yang kini hanya meninggalkan pusara, menjadi komoditi media, dan pengibaran setengah tiang bendera.

Semoga saja peringatan ini, adalah penanda seperti semburat senja. Sunset indah yang menandakan keseimbangan kosmos berubah. Saat terang meraja menjadi gelap yang membawa berita duka. Tapi, bukankah besok akan ada lagi fajar? Yakinlah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar