20 Agustus 2011

Paradoks Blog



Syahdan pada sebuah malam sehabis buka puasa, saya cari angin dengan jalan-jalan di sekeliling rumah. Saya heran, kenapa hawa jadi begitu lembap dan panas di bulan puasa, ya? Efek pemanasan global? Musim hujan mau datang? Saya tak tahu.
Tengah asyik-asyiknya berjalan kaki sambil menghirup udara malam itu, saya melihat dua tetangga sedang duduk berdua di pos ronda. Kebetulan saya sudah lama tak melihat mereka.
Sekadar berbasa-basi, saya pun menyapa mereka. “Selamat malam, Pak. Tumben, nih, jam segini sudah di pos.”
Mereka terkekeh dan menjawab, “Wah, terbalik, Mas. Tumben sampean ada di rumah. Biasanya tak pernah kelihatan. Nggak kerja, nih? Libur?”
Aduh, saya seperti mendapat uppercut di ulu hati. Saya cuma bisa nyengir mendapat sindiran mereka. Maklum saja, saya memang jarang di rumah, apalagi menyapa tetangga. Pekerjaan sebagai jurnalis membuat saya terpaksa berangkat pagi, dan pulang hampir dini hari. Kesempatan bertemu dengan tetangga di kiri dan kanan rumah pun tergolong langka.
Cara saya bersosialisasi dan berkomunikasi jadi terasa aneh di mata tetangga. Saat pagi hari, ketika berangkat ke kantor, saya cuma melambaikan tangan dan melempar senyum kepada beberapa tetangga yang kebetulan di depan rumah.
Malamnya, saya melakukan hal yang sama kepada para tetangga yang sedang berjaga di pos ronda. Di hari Minggu, atau hari libur lain, tetangga-tetangga saya kabur entah ke mana bersama keluarga masing-masing, saya malah di rumah.
Akibatnya, saya kehilangan berita-berita seputar kompleks perumahan saya. Saya jadi orang yang paling terakhir tahu bahwa di depan kompleks kami bakal dibangun sebuah pasar modern jaringan internasional. Tetangga depan rumah sayalah yang memberi tahu bahwa ketua RT kami sudah ganti orang.
Saya juga jarang menghadiri undangan pernikahan anak-anak tetangga. Untunglah, mereka memaklumi pekerjaan saya dan tak melayangkan surat persona non grata diri saya kepada Pak Lurah.
Ke manakah gerangan perginya keterampilan sosialisasi komunikasi yang pernah saya pelajari bertahun-tahun?
“Sampean kebanyakan main nge-blog, sih, Mas,” kata seorang teman.
Kebanyakan nge-blog? Gubrak. Kepala saya seperti membentur tembok. Mungkin saja. Saya memang pecandu blog, juga aktivitas sosial digital lain di Internet, seperti surat-menyurat elektronik, menelusuri ranah web, dan ngobrol lewat Yahoo! Messenger. Setiap hari, selain melakukan pekerjaan kantor, saya menghabiskan lebih banyak waktu demi nongkrong di jejaring raksasa itu.
Untuk urusan blog saja, banyak yang mesti saya lakukan, misalnya membuat posting baru, menyunting komentar, melongok blog orang lain (blogwalking), dan menulis surat elektronik.
Gara-gara lebih sering berselancar di jagat maya itulah saya jadi sedikit terasing dengan lingkungan terdekat.
Saya, seperti juga kebanyakan dari Anda semua, sepertinya terbenam habis oleh keajaiban teknologi yang satu ini. Kita bertemu dan mengenal orang lain lewat jaringan Internet, berinteraksi dengan manusia-manusia lain lewat media ini juga. Sebagian orang merasa nyaman-nyaman saja dengan kondisi ini. Sebagian lagi merasa kenapa makin lama makin jadi tak punya teman di dunia nyata?
Inikah yang disebut paradoks hidup di era blog?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar