18 Juli 2011

Kurikulum di Indonesia



1.      Rencana Pelajaran 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana pelajaran, lebih popular dibandingkan dengan  curriculum (bahasa Inggris). Perubahan kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Rencana Pelajaran 1947 baru dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, ditambah garis-garis besar pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Hal yang diutamakan adalah pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian dan pendidikan jasmani.

2.      Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,” kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995. Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung Pinang, Riau. Di penghujung era Presiden Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

3.      Kurikulum  1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968 sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,” katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.

4.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatar belakangi adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD Depdiknas. Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru dibikin sibuk menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

5.      Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.  Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Tokoh penting dibalik lahirnya Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA bermunculan.

6.      Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan proses,” kata Mudjito menjelaskan. Sayang, perpaduan tujuan dan proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Walhasil, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi.

7.      Kurikulum 2004
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai, evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Meski baru diujicobakan, di sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum. (sumber: depdiknas.go.id)

8.      KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan. Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat. Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/ Kota.

TABEL PERBANDINGAN KURIKULUM 2004 DAN 2006

ASPEK
KURIKULUM 2004
KURIKULUM 2006
1. Landasan Hukum
1.      Tap MPR/GBHN Tahun 1999-2004
2.      UU No. 20/1999 – Pemerintah-an Daerah
3.      UU Sisdiknas No 2/1989 kemudian diganti dengan UU No. 20/2003
4.      PP No. 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan
1.      UU No. 20/2003 – Sisdiknas
2.      PP No. 19/2005 – SPN
3.      Permendiknas No. 22/2006 – Standar Isi
4.      Permendiknas No. 23/2006 – Standar Kompetensi Lulusan
2. Implementasi /
Pelaksanaan
Kurikulum
1.      Bukan dengan Keputusan/ Peraturan Mendiknas RI
2.      Keputusan Dirjen Dikdasmen No.399a/C.C2/Kep/DS/2004 Tahun 2004.
3.      Keputusan Direktur Dikme-num No. 766a/C4/MN/2003 Tahun 2003, dan No. 1247a/ C4/MN/2003 Tahun 2003.
1.      Peraturan Mendiknas RI No. 24/2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri No. 22 tentang SI dan No. 23 tentang SKL
3. Ideologi Pendidikan yang Dianut
1)      Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif
1)      Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif
4. Sifat (1)
1.      Cenderung Sentralisme Pendidikan : Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan
1.      Cenderung Desentralisme Pendidikan : Kerangka Dasar Kurikulum disusun oleh Tim Pusat; Daerah dan Sekolah dapat mengembangkan lebih lanjut.
5. Sifat (2)
1.      Kurikulum disusun rinci oleh Tim Pusat (Ditjen Dikmenum/ Dikmenjur dan Puskur)
1.      Kurikulum merupakan kerangka dasar oleh Tim BSNP
6. Pendekatan
1.      Berbasis Kompetensi
2.      Terdiri atas : SK, KD, MP dan Indikator Pencapaian
1.      Berbasis Kompetensi
2.      Hanya terdiri atas : SK dan KD. Komponen lain dikembangkan oleh guru
7. Struktur
1.      Berubahan relatif banyak dibandingkan kurikulum sebelumnya (1994 suplemen 1999)
2.      Ada perubahan nama mata pelajaran
3.      Ada penambahan mata pelajaran (TIK) atau penggabungan mata pelajaran (KN dan PS di SD)
1.      Penambahan mata pelajaran untuk Mulok dan Pengem-bangan diri untuk semua jenjang sekolah
2.      Ada pengurangan mata pelajaran (Misal TIK di SD)
3.      Ada perubahan nama mata pelajaran
4.      KN dan IPS di SD dipisah lagi
5.      Ada perubahan jumlah jam pelajaran setiap mata pelajaran
8. Beban Belajar
1.      Jumlah Jam/minggu :
SD/MI = 26-32/minggu
SMP/MTs = 32/minggu
SMA/SMK = 38-39/minggu
2.      Lama belajar per 1 JP:
SD = 35 menit
SMP = 40 menit
SMA/MA = 45 menit
1.      Jumlah Jam/minggu :
SD/MI 1-3 = 27/minggu
SD/MI 4-6 = 32/minggu
SMP/MTs = 32/minggu
SMA/MA= 38-39/minggu
2.      Lama belajar per 1 JP:
SD/MI = 35 menit
SMP/MTs = 40 menit
SMA/MA = 45 menit
9.Pengembangan
Kurikulum lebih lanjut
1.      Hanya sekolah yang mampu dan memenuhi syarat dapat mengembangkan KTSP.
2.      Guru membuat silabus atas dasar Kurikulum Nasional dan RP/Skenario Pembelajaran
1.      Semua sekolah /satuan pendidikan wajib membuat KTSP.
2.      Silabus merupakan bagian tidak terpisahkan dari KTSP
3.      Guru harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
10. Prinsip
Pengembangan
Kurikulum
1.      Keimanan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-nilai Budaya
2.      Penguatan Integritas Nasional
3.      Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinestetika
4.      Kesamaan Memperoleh Kesempatan
5.      Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Informasi
6.      Pengembangan Kecakapan Hidup
7.      Belajar Sepanjang Hayat
8.      Berpusat pada Anak
9.      Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan
1.      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
2.      Beragam dan terpadu
3.      Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
4.      Relevan dengan kebutuhan kehidupan
5.      Menyeluruh dan berkesinam-bungan
6.      Belajar sepanjang hayat
7.      Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
11. Prinsip
Pelaksanaan
Kurikulum
Tidak terdapat prinsip pelaksanaan kurikulum
1.      Didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
2.      Menegakkan lima pilar belajar:
1)      belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
2)      belajar untuk memahami dan menghayati,
3)      belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
4)      belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain,
5)      belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembela-jaran yang efektif, aktif, kreatif & menyenangkan.
3.      Memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan perbaik-an, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisinya dengan memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
4.      Dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling meneri-ma dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
5.      Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan meman-faatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
6.      Mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
7.      Diselenggarakan dalam kese-imbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.
12. Pedoman
Pelaksanaan
Kurikulum
1.      Bahasa Pengantar
2.      Intrakurikuler
3.      Ekstrakurikuler
4.      Remedial, pengayaan, akselerasi
5.      Bimbingan & Konseling
6.      Nilai-nilai Pancasila
7.      Budi Pekerti
8.      Tenaga Kependidikan
9.      Sumber dan Sarana Belajar
10.  Tahap Pelaksanaan
11.  Pengembangan Silabus
12.  Pengelolaan Kurikulum
Tidak terdapat pedoman pelaksanaan kurikulum seperti pada Kurikulum 2004.

Menurut Anan Z. A (2008:20)  Penyebab berubahnya kurikulum 2004 (KBK) ke Kurikulum KTSP adalah  Penyempurnaan KBK menjadi KTSP disebabkan KBK tidak menunjukkan hasil yang signifikan karena berbagai faktor: 
1)    konsep KBK belum dipahami secara benar oleh guru.
2)    draft kurikulum yang terus-menerus mengalami perubahan.
3)   belum adanya panduan strategi pembelajaran yang mumpuni (mayoritas masih berbasis materi), yang bisa dipakai pegangan guru ketika akan menja­lankan tugas instruksional bagi siswanya. Dengan demikian KTSP sebenarnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang telah dilaksanakan berdasarkan kurikulum 2004, hanya telah mengalami penyempurnaan dengan tujuan agar kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam KBK bias ditanggulangi, baik pada tataran perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

9.      Kurikulum Pendidikan Berkarakter Bangsa 2010
Pemerintah mencanangkan pendidikan karakter untuk memperbaiki kurikulum pendidikan Indonesia. Konsep kurikulum ini dianggap sebagai alternatif mengatasi buruknya kondisi pendidikan. Tapi sesungguhnya konsepsi ini bukan sesuatu yang baru. Bahkan bisa dikatakan pendidikan karakter sebenarnya produk lama. Mengapa? Karena selama ini dalam beberapa mata pelajaran seperti agama, Pancasila dan kewarnegaraan sudah terkandung pendidikan karakter.
Masalah yang timbul sebenarnya, lebih bekisar metode mengajar pendidikan. Selama ini pendekatan pendidikan masih berorientasi menghapal. Anak Indonesia belum mengakar penanaman kesadaran beragama. Tak heran pendidikan agama hanya sekedar seremonial, mengejar nilai dan menghapal. Kondisi serupa ditemukan pada pendidikan Pancasila dan kewarnegaraan.
Ratna Megawangi, aktivis pendidikan karakter mengkritik kelemahan itu. Beliau menegaskan, karena orientasinya untuk mendapatkan nilai bagus maka perubahan perilaku tidak berjalan. Ada kesenjangan antara pengetahuan moral dan perilaku.
Pemerintah perlu memperhatikan pendidikan karakter menghasilkan perubahan perilaku. Sehingga hasilnya tidak hanya menghasilkan anak cerdas, tapi lemah secara moral dan etika.  Seperti harapan Anhar Gonggong, hasil pendidikan karakter seharusnya tidak hanya manusia terdidik tetapi juga tercerahkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar