07 Juli 2011

Perilaku dan Etika Pegawai Negeri : Fakta, Idealisme, dan Tantangan Masa Depan (1)

Pegawai Negeri telah menjadi bagian dari kerangka besar birokrasi pemerintah Orde Baru dan menopang kekuatan politik pemerintah baik dalam penerapan kebijakan nasional maupun mengarahkan pilihan politik praktis. Sebagai bagian dari arus besar politik Orde Baru, Pegawai Negeri sebagai komunitas terbesar lembaga-lembaga pemerintah menjadi gerbong besar partai pemerintah. Semangat ini dalam beberapa konteks masih timbul pasca runtuhnya Orde Baru, dengan pembagian kekuasaan ke daerah pegawai pemerintah masih lekat dengan kooptasi politik.

Sebaliknya, Orde Reformasi memberi nuansa kebebasan bagi setiap penduduk Indonesia, dan bagi warga yang berstatus Pegawai Negeri juga lebih berani melakukan gerakan-gerakan yang menurut aturan birokrasi bisa dianggap melanggar. Di berbagai daerah, sekelompok Pegawai Negeri Sipil dikerahkan untuk mendukung calon tertentu dalam Pilkada, atau kelompok lain terlibat dalam demonstrasi yang menentang kebijakan pemerintah. Ini adalah fenomena baru yang menjadi tantangan bagi birokrasi pemerintah untuk lebih kreatif dan bijaksana melakukan pembinaan atas pegawainya.

Kasus terbelahnya kepentingan politik daerah yang melibatkan Pegawai Negeri adalah pada Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Selatan. Pada Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan 5 November 2007, terjadi pertarungan antar kelompok dua calon gubernur, yaitu pasangan Amin-Mansyur melawan Syahrul Agus. Pegawai Negeri Sipil, baik Pemerintah Daerah di Ibu Kota Provinsi, Makassar, maupun di kabupaten atau kota lain juga terbelah secara nyata. Isu etnis sangat kental dimainkan oleh elit. Pegawai Negeri yang beretnis Bugis diarahkan untuk mendukung pasangan calon incumbent Amin Mansyur, karena Amin Mansyur adalah tokoh Bugis, sebaliknya pegawai beretnis Makassar diarahkan untuk memilih pasangan Syahrul-Agus. Syahrul Yasin Limpo, yang sebelumnya menjabat Wakil Gubernur periode Amin Syam Mansur adalah tokoh Makassar. Fenomena ini adalah gejala umum, meskipun faktanya banyak Pegawai Negeri yang beretnis Bugis memilih pasangan Syahrul-Agus karena keinginan kuat masyarakat untuk melakukan perubahan. Ketika hasil Pilkada tidak diakui pada tingkat provinsi, karena keberatan kelompok Amin-Syam atas keputusan KPUD Sulawesi Selatan karena diasumsikan terjadi penggelembungan di beberapa Kabupaten sehingga dibawa ke Mahkamah Agung.

Ketika MA memutuskan bahwa hasil Pilkada Sulsel tidak sah, maka terjadi gelombang arus demonstrasi besar, termasuk diantaranya adalah mayoritas Pegawai Negeri sipil di Pemda Kota Makassar yang ‘mogok kerja’ sebagai aspirasi dukungan atas pasangan Syahrul-Agus. Aspirasi masyarakat atas arah politik yang tidak terbendung dengan Undang-Undang menjadi tantangan baru pengaturan netralitas Pegawai Negeri terhadap politik. Bagaimana etika yang semestinya melandasi semangat kerja pagawai negeri untuk menopang pemerintah yang bersih dan professional tanpa melihat kepentingan etnis, politik dan kelompok.

Etika Pegawai Negeri telah lama diarahkan menjadi standar nasional bagaimana perilaku aparat negara sangat mempengaruhi kualitas kerja dan pelayanan. Dalam Pokok-pokok Pikiran RUU Etika Penyelenggaraan Negara (2005), atau dengan kata lain mengatur perilaku aparat negara, meliputi prinsip, kewajiban, hak, larangan, dan sanksi yang berarti mencakup tiga konsep dasar yang saling mempengaruhi, yaitu etika, moral dan hukum yang mempengaruhi sikap dan perilaku aparat negara. (www.reformasibirokrasi.habibicenter.or.id)
Pegawai Negeri Istilah Pegawai Negeri seringkali overlapping dengan PNS (Pegawai Negeri Sipil), padahal keduanya berbeda. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 bab I pasal 1 bahwa : Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Fokus media, 2007: 36).

Secara umum Pegawai Negeri terbagi menjadi tiga, yaitu
(1)   Pegawai Negeri Sipil (PNS),
(2)   Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan
(3)   Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).

Sedangkan Pegawai Negeri Sipil terdiri dari: Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. (Fokus media, 2007: 37).

Etika Pegawai Negeri yang akan dibahas dalam tulisan ini mencoba melihat fenomena Pegawai Negeri, khususnya Pegawai Negeri Sipil yang memiliki domain paling luas, dan paling banyak disorot oleh masyarakat pasca Orde Baru.

Kebebasan demokrasi yang tengah dinikmati oleh berbagai kalangan masyarakat juga berimbas terhadap perilaku Pegawai Negeri Sipil, bagaimana kelonggaran pengawasan dan nuansa demokratis melahirkan beberapa perilaku yang dianggap ’tidak etis’ bagi masyarakat, Bangsa dan Negara. Padahal sangat jelas aturan main yang digariskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999, yang mengakomodasi refleksi atas reformasi dan praktik demokrasi.

Dalam Bab II Pasal 3 disebutkan bahwa:
(1)   Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil, dan merata dalam penyeleng-garaan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.
(2)   Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(3)   Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/ atau pengurus partai politik.(Fokus media, 2007: 37-38).

Norma-norma yang perlu dijalankan oleh Pegawai Negeri setidaknya meliputi tiga aspek penting, sebagaimana ketika ayat dalam pasal 3 diatas, yang digaris bawahi yaitu ’memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional, jujur, adil dan merata … netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik, (dan) tidak menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. (Fokus media, 2007: 37 – 38)

Kondisi umum Pegawai Negeri sebagai bagian dari aparatur negara secara jelas menjadi perhatian pola pembangunan jangka panjang Republik Indonesia selama 20 tahun antara 2005 hingga 2025 bahwa:

Pelaksanaan program pembangunan aparatur negara masih menghadapi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Permasalahan tersebut, antara lain masih terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dan belum terwujudnya harapan masyarakat atas pelayanan yang cepat, murah, manusiawi, dan berkualitas.

Kelembagaan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, masih belum terlihat efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan sistem manajemen pemerintahan juga belum efisien dalam menghasilkan dan menggunakan sumbersumber daya. (Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2007). Kontradiksi antara harapan yang menjadi imbas atas peraturan terhadap perilaku Pegawai Negeri pasca jatuhnya pemerintah Orde Baru 1998 hingga terbentuknya pemerintah paling stabil sebagai hasil dari Pemilu 2004 tidak menunjukkan perubahan signifikan dalam pelayanan Pegawai Negeri terhadap masyarakat, netralitas mereka terhadap dinamika politik dan tradisi komunal yang masih kental mempengaruhi sikap adil figur pegawai pemerintah.

Perilaku Pegawai Negeri Perilaku Pegawai Negeri mendapat tantangan lebih serius, terutama sejak runtuhnya Orde Baru, ketika kebebasan dan demokrasi mendapat tempat lebih luas. PNS mendapat sorotan dan kritik lebih banyak, dan sebaliknya diantara mereka-sebagai dampak dari demokrasi melakukan aktifitas individu dan kelompok yang bisa dianggap melanggar kode etik PNS.

Yang paling jelas adalah sorotan atas perilaku korupsi dan etos kerja PNS. Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk semakin nampak beberapa individu PNS yang terlibat dalam tindakan korupsi. KPK menciptakan perubahan besar atas budaya dan perilaku PNS.

Aparat negara bertindak dan berperilaku lebih hati-hati dan berupaya untuk mengikuti petunjuk pelaksanaan program dan kegiatan, terutama yang berkaitan dengan keuangan. Sebaliknya, di antara mereka mencoba melakukan tradisi lama, yaitu korupsi dengan lebih berhati-hati, untuk menghindari pemeriksaan dan tuduhan korupsi dari lembaga negara, baik KPK maupun Inspektorat Jendral. Bagaimana dengan etos kerja PNS?

Tidak banyak perubahan. Bahkan dalam beberapa aspek, mereka lebih rendah dibandingkan pada masa Orde Baru akibat adanya upaya untuk menghindari kemungkinan terlibat korupsi. Banyak proyek pemerintah diberbagai departemen terbengkalai karena ketakutan berlebihan dari aparat negara untuk melaksanakan program kerja.

Disamping euphoria beberapa PNS untuk berpartisipasi secara langsung dalam partai politik, sebagai bagian dari keinginan untuk menikmati kebebasan demokrasi pasca Orde Baru.

Etika Pegawai Negeri Dan Fenomena Demokrasi Etika Pegawai Negeri sangat jelas diatur dalam perundang-undangan bagaimana mengatur Pegawai Negeri agar lebih optimal dalam mendukung kegiatan pemerintah untuk semaksimal mungkin bermanfaat bagi masyarakat. Apakah etika pegawai pemerintah akan mempengaruhi kinerja birokrasi dan pemerintah yang baik (good governance)?

Dalam sebuah modul diklat teknisi kepemerintahan yang baik untuk kalangan pejabat eselon 2 dinyatakan bahwa: Etika berkenaan dengan moralitas yang mengandung pertimbangan pertimbangan yang jauh lebih tinggi tentang kebenaran dan keharusan yang mempunyai sanksi-sanksi hukum… Etika tidak berhenti pada tataran konsep-konsep dasar moral tetapi juga berlanjut pada bagaimana kita mengimplementasikannya.
Implementasi dalam sistem politik atau organisasi publik selalu berhubungan dengan apa yang menurut mereka benar atau salah sehingga moral dalam mengekspresikan nilai-nilai tertentu yang mengekspresikan komitmen mereka … Etika adalah suatu usaha untuk menjadikan pengalaman moral individu dan masyarakat tertentu dengan cara tertentu untuk menentukan aturan-aturan yang mengatur perilaku manusia. (Modul Diklat, Tata Pemerintahan yang Baik, Depdagri dan LAN Tahun 2007:2008).

Dengan demikian etika Pegawai Negeri perlu mendapat tatanan baik melalui konvensi sosial maupun peraturan modern yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjamin berlangsungnya ’kode etik’ yang menopang penyelenggaraan birokrasi publik. (modul diklat tata kepemerintahan yang baik : Depdagri dan LAN, 2007: 28) Kode etik ini pula yang akan mengarahkan antara lain pelayanan masyarakat dengan lebih baik, sehingga bisa mengatasi kondisi yang menjadi perhatian Prof. Eko Prasojo bahwa birokrasi saat ini dibelit budaya kekuasaan, lebih mencerminkan sebagai alat kekuasaan daripada pelayanan (detiknews.com 5 Februari 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar