07 Juli 2011

Perilaku dan Etika Pegawai Negeri : Fakta, Idealisme, dan Tantangan Masa Depan (2)

Tantangan atas etika birokrasi Pegawai Negeri juga mendapat tantangan serius pasca runtuhnya Orde Baru, ketika semangat demokrasi dan desentralisasi ikut mempengaruhi kinerja organ pemerintah. Sunarno, Kepala Lembaga Administrasi Negara, menyatakan bahwa semangat demokrasi di daerah secara kuat mengkooptasi eksistensi Pegawai Negeri. Fenomena ini nampak ketika menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), baik bupati, walikota atau gubernur pegawai pemerintah ’dipaksa’ memihak terhadap salah satu calon (antaranews.co.id 9 Oktober 2008).

Resiko yang terjadi adalah timbulnya friksi dalam lembaga pemerintahan, pelayanan masyarakat terbengkalai dan yang paling fatal, anggota Pegawai Negeri diberlakukan tidak adil, dicopot jabatannya ketika ’calon Kepala Daerah’ yang tidak didukung memenangkan pesta demokrasi.

Dalam konteks semangat demokrasi, dibutuhkan pula perubahan paradigma birokrasi. Pegawai Negeri tidak sekedar perangkat birokrasi, yang dalam pandangan Max Weber menjadi instrumen penting organisasi pemerintah modern. Sebagai bagian dari birokrasi ditengah nuansa demokrasi, seorang Pegawai Negeri perlu diberi kebebasan dalam aktivitas dan membuka langkah kreatif untuk kemajuan arah birokrasi.

Konsep ini akan menciptakan hubungan antar Pegawai Negeri sebagai organ bersama untuk kepentingan masyarakat, Bangsa dan Negara. Profesor Mustopadidjaja AR, Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Hassanuddin, menyatakan bahwa : Dalam upaya memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, reformasi birokrasi pemerintah perlu diarahkan antara lain pada
(a)    pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat,
(b)   perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan
(c)    pengembangan program untuk lebih meningkatkan kemampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna meningkatkan kesejahteraan mereka. (Mustopadidjaja, 2002:7).

Reformasi birokrasi akan sangat efektif untuk menopang derasnya arus perubahan ditingkat politik, ekonomi dan sosial-budaya. Adaptasi etika birokrasi publik atas reformasi akan mengarahkan semangat tanggungjawab sosial untuk menata ulang hubungan antar briokrasi dan bagaimana masyarakat mendukung sepenuhnya kinerja lembaga publik untuk kesejahteraan masyarakat secara optimal.

Model kembalinya ’Masyarakat Nagari’ dalam mengatur pelayanan publik ditingkat paling bawah dalam jejaring birokrasi di Sumatra Barat mendorong keterlibatan masyarakat luas sebagai bagian dari pemerintah nagari (setingkat desa) sehingga segala program pemerintah mendapat sambutan timbal balik dari masyarakat. Kemampuan dan kemauan masyarakat dalam interaksi aktif dengan birokrasi karena karakter positif masyarakat sebagai modal sosial yaitu keterbukaan dan interdependensi, nilai sosial yang menjadi bagian dari budaya (Arfani, 2008: 23).

Dalam menyelesaikan sengketa, masyarakat secara independen telah mampu mengatasi tanpa intervensi birokrasi hukum dan kepolisian. Mereka melibatkan organ kelembagaan ditingkat nagari. Pegawai pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator yang melayani dan mendukung proses penyelesaikan hukum di tingkat masyarakat. (Sholeh, 2007:166)

Semangat demokrasi dan peningkatan kesadaran (juga tuntutan) penerapan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) juga kini sangat berpengaruh terhadap kebijakan organisasi pemerintah. Ketika Pegawai Negeri dianggap melanggar oleh seorang pimpinan maka pelaksanaan hukuman (punishment) menjadi semakin hati-hati diterapkan akibat menguatnya gerakan masyarakat sipil yang menuntut semangat HAM dalam setiap kode etik kepegawaian pemerintah.

Kesadaran atas prinsip-prinsip HAM pasca Orde Baru membuat para pengambil kebijakan di lembaga pemerintah mencoba menghindari kemungkinan kesalahan keputusan yang bisa dituntut secara hukum. Hironimus Rowa melihat bahwa: Dalam sistem birokrasi pemerintahan Indonesia yang memadukan konsep birokrasi patrimonial dan birokrasi rasional, sangat rentan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang lebih disebabkan oleh keputusan pimpinan pejabat organisasi pemerintah yang cenderungdidasarkan pada pertimbangan personal yang bersifat subjektif dari pada pertimbangan rasional yang bersifat objektif melalui aturan kepegawaian yang berlaku. (Widyapraja No. 3 Vol. 32 Tahun 2006).

Sekedar sebagai sebuah perbandingan, Indonesia perlu melihat mekanisme dan etika kerja kepegawaian dan birokrasi di Kanada, salah satu negara yang sangat sukses dalam praktik pemerintahan yang baik (good governance). Lembaga pemerintah dan non pemerintah (NGO) saling mengisi dalam melaksanakan prinsip-prinsip HAM dalam dunia kerja (Devoted to the improvement of Policy Making Vol 28 no.2 May 1995). Lembaga pemerintah butuh adaptasi dan pembelajaran atas pentingnya nilai-nilai HAM dalam penerapan Kode Etik untuk menjaga kinerja Pegawai Negeri menjadi efektif, professional dan sukses.

Prinsip HAM menjadi semakin penting diperhatikan menjelang periode keterbukaan ekonomi dan politik Indonesia dan negera-negara lain di Asia Tenggara yang telah sepakat untuk memulai dunia baru Asean Community (Komunitas Asean) pada 2015, mengejar ketertinggalan wilayah ini dengan Uni Eropa dan komunitas wilayah lain di dunia yang sukses membangun ekonomi dan meningkatkankesejahteraan masyarakat.

Tantangan Global Dan Menguatnya Semangat Lokal Menjelang terbukanya sistem pasar kerja di Asia Tenggara, ketika para ahli dari negara-negara anggota masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia sangat mendesak untuk menyiapkan diri. Diantaranya adalah perubahan mental pegawai untuk bersikap professional. Pegawai Negeri perlu membangun diri untuk menyiapkan persaingan regional dan global. Pegawai Negeri melayani lebih baik dan melandasi arah kerja dengan hasil maksimal.

Tentang penetrasi asing yang bisa mengancam eksistensi Indonesia dalam konteks pelayanan pegawai pemerintah dan swasta, Masliana Bangun Sitepu, Guru Besar Ilmu Administrasi Universitas Indonesia menyatakan bahwa ancaman luar negeri dalam merebut warga Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia akan memaksa lembaga pemerintah dan dunia usaha untuk meningkatkan kualitas kerja, perilaku dan etika kepegawaian. Prof. Sitepu menyinggung beberapa nilai etis yang bisa dikembangkan adalah ‘memberikan pelayanan yang ramah, bersikap jujur, menepati janji dan bertanggungjawab’. Pegawai pemerintah, menurut Prof Sitepu, harus bekerja sebagai seorang wiraswasta (interpreneur) menjaga etika kerja dengan orientasi kepuasan konsumen.(Bisnis & Birokrasi, Vol XIII/No1/Januari 2005).

Munculnya semangat primordialisme dan kedaerahan dalam konteks otonomi daerah akan berdampak negative terhadap kinerja pegawai pemerintah dalam menjaga sikap independent dan netral. Maswadi Rauf melihat bahwa ‘sikap mental yang mandiri, penuh inisiatif, bersifat kreatif dan berkemampuan inovatif merupakan prasyarat bagi terselenggaranya otonomi daerah di Indonesia (Jurnal Ilmu Politik No.18 Agustus 2002).

Naiknya semangat nasionalisme etnis juga terjadi di berbagai wilayah dunia, antara lain di Amerika Serikat dan Eropa, sehingga apa yang terjadi di Indonesia menjadi bagian dari fenomena umum reaksi atas derasnya gelombang globalisasi (Foriegen Affair, Vol 87 No.2 Maret/April 2008).

Jika nasionalisme etnis menguat dan mempengaruhi kinerja pelayanan birokrasi publik, maka tujuan reformasi akan berbalik (set back) sebagaimana semangat birokrasi pada masa Orde Baru, bagaimana etnisitas ‘dimainkan’ untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah pusat di daerah. Tetapi perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai tradisional sebagai dampak dari meningkatnya nasionalisme lokal bisa diarahkan menjadi tradisi baik dengan menerapkan nilai lokal yang baik (local wisdom) yang sangat kaya diberbagai daerah di Indonesia.

Dasman Lanin menyuguhkan fenomena menarik dalam mendukung kinerja dan etika kepegawaian di Sumatra Barat dengan prinsip dan falsafah Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat Bersendi Syara, Syara Bersendi Kitabullah) yang sejak ditetapkan otonomi daerah 1999 mulai digalakkan sebagai prinsip prositif untuk mendukung etika kerja lembaga pemerintah di Sumatra Barat.(Bisnis & Birokrasi, Vol XIV/No.1/ Januari 2006).

Kesimpulan Pegawai Negeri mendapat tantangan serius pasca runtuhnya Orde Baru. Mereka dituntut oleh masyarakat untuk beradaptasi dalam situasi reformasi dan semangat demokrasi. Etika birokrasi yang selama ini terlihat rigid dan kaku, perlu dirombak dengan melihat dan mendengarkan aspirasi masyarakat bagaimana arah dan bentuk birokrasi publik.

Pegawai Negeri dituntut untuk melayani masyarakat secara paripurna dan menopang keberlangsungan pemerintah dalam menjalankan program dan secara maksimal menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Arus globalisasi dan (sebaliknya) semangat desentralisasi mewarnai arah birokrasi publik yang dituntut mampu menopang pemerintah pusat dan daerah dalam persaingan global.

Terbukanya Negara-Negara di Asia Tenggara pada kurun tahun 2015 dalam menerima berbagai arus perorangan dan kelompok jasa memaksa lembaga publik Indonesia untuk berbenah segera menyiapkan kemampuan (skill) dan sikap professional kalau tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat yang disuguhi banyak pilihan.

Dilain pihak, menguatnya primordialisme sebagai efek dari semangat desentralisasi dan reaksi atas derasnya tekanan globalisasi juga telah mempengaruhi kinerja pegawai pemerintah. Netralitas mereka teruji dan kebebasan hak mereka sebagai warga negara untuk berorganisasi dan berpolitik juga telah menciptakan ‘friksi’ dalam wadah birokrasi pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar