24 November 2011

Histeria Sang Pemburu Berita


Sungguh tiada terbayangkan, didepan kedua mataku tertulis takdir kematian seorang anak manusia dengan begitu mengenaskan, tubuhnya terpental tepat dibawah sebuah truk gandeng penuh muatan pasir, ajalpun menyapa di tengah histeria para saksi mata yang hanya kuasa melafalzkan …”Inna Lillah…”

jalananpun seketika memerah dan histeria terasa menggema dibawah rerintikan hujan diantara penuh sesak orang- orang yang memadati lokasi kejadian. Mulutku jadi bergetaran tanpa sesuatupun yang mampu kuucapkan.

Di sepanjang jalan ke rumah tiada henti bayangan kejadian itu membekas datang dan pergi. Teringat aku pada kejadian dua tahun silam, kecelakaan yang nyaris sama pernah kualami yakni jatuh terpental dari motor dengan tubuh bergulingan menyapa kerasnya aspal . Cidera ringan yang kuderita saat itu ternyata samasekali belumlah sebanding dengan nilai sebuah kehidupan yang setidaknya masih bisa kurasakan hingga saat ini.

Kejadian kecelakaan maut batal lagi kuliput meski aku turut menjadi saksi mata kejadian tragis itu, bahkan kamera saku yang kubawa tak berfungsi apa –apa, hanya tanganku yang gemetaran yang masih sanggup memencet keypad dan meneruskan sebuah pesan singkat kepada seorang kawanku yang kebetulan sama – sama pemburu berita. Lagi – lagi aku batal meliput, terngiang serentetan kata-kata motivasi bang redaktur menyuntikkansemangat agar senantiasa tegar menjalani profesiku sebagai kuli tinta.

“Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan”, “Bila kamu belum menemukan pekerjaan yang sesuaidengan bakatmu, bakatilah apapun pekerjaanmu saat ini hingga kau akan tampil secemerlang orang yang berbakat”.

Bang redaktur memang tak pernah kehabisan stok kata-kata penuh hikmah, dimejanya selalu tersedia buku tebal motivasi buah penanya sendiri. Bagiku dia sosok redaktur yang sangat brilliant yang memandang hidup ini dengan kacamata serba indah.

Tapi Mau bagaimana lagi, untuk saat ini jangankan meliput, melihat darahyang tertumpah saja aku tak kuasa.

Di tengah sergapan terik mentari, aku mengusap peluh dan berharap akan ada bahan berita yang kali ini bisa menggenapi tugas peliputanku.

Masih membekas jelas dalam ingatanku sewaktu dulu aku dan teman – teman kecilku beradu layang – layang di tengah pematang sawah yang usai di panen, saat itu bentuk layang – layang kami bermacam – macam ada yang berupa orang – orangan, berwujud sebuah pesawat sederhana dan ada juga yang menyerupai ikan besar yang berekor panjang.

Seorang pria berkamera mendekati kami, jepret sana dan jepret sini dan beberapa hari kemudian salah seorang temanku berlarian kegirangan dengan menenteng sebuah koran terbitan lokal yang memuat foto layang – layang kami. Betapa bangganya kami saat itu karena adu layang – layang kecil – kecilan dalam media itu ditampilkan dengan tajuk festival layang – layang terbang. Kami sama sekali belum bisa memahami jika telah menjadi obyek peliputan seorang kuli tinta yang cerdik dalam memanfaatkan setiap moment sebagai peluang berita.

Sebuah pesan masuk kuterima, seorang informan memberikanku sebuah alamat dan aku harus segera meluncur ke tempat itu. Seperempat jam mengukur jalanan akhirnya aku sampai di lokasi yang dimaksud. Bau tak sedap memenuhi tempat itu, maklum sebuah Tempat Pembuangan Akhir, Puluhan orang di tempat itu berbaur diantara para pemulung yang tengah memanjat bergunung – gunung sampah. Aku bertanya kepada salah seorang diantara mereka. “seorang bayi ditemukan di antara tumpukan kardus di tempat ini”, papar salah seorang diantara mereka dengan singkatnya.

kulihat seorang perempuan berpakaian lusuh menggendong bayi, kucoba mengambil gambarnya namun dengan bayi yang masih merah dalam gendongannya tiba – tiba ia mendekatiku dan berteriak histeris. “jauhkan wartawan itu dari tempat ini”, seraya tangannya menunjuk kearahku. Dengan berusaha bersikap tenang aku menjelaskan bahwa ini adalah panggilan profesi dan kupinta ia bersikap sewajarnya saja, wanita itu terus berteriak sambil mengatakan “aku hanya seorang pemulung, tak punya uang untuk diberikan kepada seorang wartawan”. Kerumunan orang di tempat itu berusaha menenangkan wanita itu namun akhirnya aku memilih pergi tanpa sebuah berita. Harapanku membuat liputan khusus pupus sudah, Batinku seketika merasa terpukul “sudah begitu rendahkah seorang kuli tinta hingga banyak yang menafsirkan profesi kami identik dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan yang ujung – ujungnya amplop dan sogokan”. Padahal aku ingin membuat berita yang obyektif dan merangsang masyarakat agar peduli dengan masalah – masalah sosial khususnya yang menyangkut dekadensi moral generasi muda yang sangat mungkin melatarbelakangi semua itu.

Lagi – lagi aku pulang tanpa hasil …entah apa yang akan kukatakan kepada redakturku nanti, aku keras berpikir namun sama sekali tak ada ide.

Tiba – tiba terbersit ide untuk menuliskan kejadian itu apa adanya berikut gambar yang sempat terekam oleh kameraku. Judulnyapun tak kubuat – buat “Seorang pemulung menemukan bayi merah diantara tumpukan kardus”.Kutuliskan didalamnya bahwa salah seorang pemulung dengan begitu mulia bersedia merawat bayi malang itu, andai tak ada lagi bayi yang dibuang dan di sia-siakan tentunya pemulung hanya akan memunguti sampah dan bukannya memunguti nyawa seorang anak manusia yang tak berdosa.

Betapa senangnya redakturku dengan hasil liputanku kali ini. “ini baru berita”, pujinya seraya menyodorkan sebuah nota. Di meja bendahara nota itu kemudian berubah menjadi sebuah amplop yang kuterima dengan perasaan lega. Seberapa besar isi amplop tak lagi penting bagiku, rasa syukurku setelah pemuatan tulisanku itu tak bisa tergantikan oleh apapun juga.

Di depan meja kerjaku, kubolak – balik amplop itu tanpa kubuka isinya, berkali – kali aku menimbang nimbang amplop itu, terbayang hutang – hutangku di warung sebelah, sebenarnya tak banyak namun berapapun jumlahnya hutang tetap saja hutang yang mesti dilunasi biar tidak menjadi beban di kemudian hari, terngiang – ngiang jelas di telingaku histeria wanita pemulung itu, seakan – akan jari jemari wanita itu masih saja menunjuk kearahku. Kukeluarkan motorku dan tujuanku hanya satu yakni ke Tempat pembuangan akhir sampah dan berharap menemukan wanita itu di sana.

Bau tak sedap sampah mulai menghinggapi hidungku, tak terasa akupun telah sampai. Kuhamburkan pandanganku di pegunungan sampah yang makin lama makin meninggi namun tak kulihat wanita itu disana, namun ada salah seorang pemulung yang tiba – tiba menunjuk ke sebuah arah, seketika pandanganku menubruk sebuah tumpukan kardus. Akupun berjalan mendekat dan kulihat wanita pemulung itu tengah menyusui bayi merah itu layaknya anak kandungnya. Wanita itu terperanjat melihat kehadiranku lagi di tempat itu namun dia berusaha tenang mengingat bayinya yang tertidur lelap. Kuraih ampop dari balik saku jaketku dan meninggalkannya di dekat bayi merah itu. Wanita itu hanya memandangiku tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya dan akupun segera berlalu dari tempat itu.

Memang naluri tiada pilih kasih, pemulung atau apapaun profesinya seorang ibu tetaplah seorang ibu, ditengah tumpukan sampah yang tak sedap dan tak layak huni, wanita pemulung itu berusaha memberikan tempat yang nyaman bagi anak ‘barunya’ meski hanya sebatas dari potongan – potongan kardus.

Naluri memang tetaplah naluri, di tengah histeria yang kurasakan naluriku sebagai kuli tinta makin menebal.

Menurut si mbak warung sebelah rumahku, bang redaktur beberapa kali datang mencariku, dan bang redaktur juga telah melunasi hutangku di warung. Saat akhirnya aku bertemu lagi dengan bang redaktur dia hanya tersenyum sambil berkata “Kuharap kreatifitas ini tak berhenti sampai disini”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar