08 November 2011

Idealis Vs Opportunis


Selama dua tiga hari ini terngiang terus di benak saya tentang orang yang jujur tapi sial dan orang tidak-berprinsip tapi beruntung. Dengan cara yang hampir sama barangkali bisa juga saya parafrasekan menjadi kemungkinan adanya saling tolak belakang antara seorang idealis dan oportunis. Bagi saya seorang idealis sebenarnya adalah orang yang mencoba untuk jujur. Akan tetapi kalau ia terlalu bersemangat, sementara pada level praktis ia tidak mengusahakan segala sesuatunya sesegera mungkin, maka sebuah potensi bahaya akan menghadang. Inti yang mau saya katakan adalah, musuh idealisme itu bukan siapa-siapa, tapi Sang Idealis sendiri manakala ia malas.

Di lain pihak sebenarnya sering para oportunis itu menyadari posisi dan kelemahan mereka. Maka dari itu mereka mencoba menutupinya dengan apa saja yang bisa dilakukan; melakukan dengan rajin apa saja yang menunjang meski mungkin itu tidak berkaitan langsung dengan sebuah isu yang menseterukan mereka dengan para idealis. Mereka ini juga saya duga sering mengamati keadaan bahwa para idealis mudah untuk hanya terjebak pada semangat dalam kata-katanya sendiri; atau “lembing kata”, seperti yang pernah diistilahkan Chairil Anwar. Dan yang lebih penting lagi mereka ini juga boleh jadi punya wacana untuk bersaing, dan punya sedikit harapan untuk unggul dengan melihat celah pada kemalasan para idealis.

Dalam suatu konteks eksistensial-interpersonal, para oportunis (bahkan ultra oportunis!) seringkali akhirnya menang secara psikologis karena mereka covering the bases dengan segala remeh temeh yang meskipun tidak terlalu mendukung, tapi bisa sejenak mengubah persepsi banyak orang, terutama pada saat pertama dilihat; pada saat primacy effect timbul pada sejumlah orang yang menjadi komunikan. Tapi sampai kapan pun, oportunis adalah tetap oportunis. Buat saya, tinggal menunggu waktu hingga akhirnya dengan cara tertentu mereka akan tersandung.

Seorang idealis seharusnya adalah sekaligus seorang yang rajin; termasuk rajin untuk menjaga realisasi wacana idealismenya dengan melakukan apa saja yang bisa menunjang praksisnya. Kalau tidak, hal berikutnya yang akan disadari sang idealis adalah bahwa mereka (para oportunis) harus diprotes karena tidak mengedepankan hal-hal yang pokok. Hanya remeh temeh saja. Mereka itu mungkin sekedar bermain di kuantitas, mematuhi legalitas secara hitam di atas putih, menunjukkan kepatuhan minimal . yang semuanya sungguh tidak ada di kamus seorang idealis.

Memang, gabungan antara oportunisme dan kerajinan adalah sebuah kombinasi yang menyebalkan.

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan" (Soe Hok Gie)

1 komentar:

  1. Air mata Inu Kencana Syafei, mantan dosen IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), tumpah saat melepaskan seragam PNS yang dulu menjadi dikenakannya. Ia kini telah melepas atribut kebanggaannya itu dan mencalonkan diri sebagai caleg PKS.

    Dengan berlinang air mata, Inu mengungkapkan, ia teringat kezaliman yang terjadi saat membongkar kebobrokan di tempat ia mengajar dulu. Ia kemudian melepaskan kancing seragam PNS hijauyang dikenakannya dan hanya mengenakan kaus dalam putih.

    “Dengan bekerja selama 30 tahun, saya membongkar kasus pembunuhan anak manusia. Korupsi, nepotisme, seks,dan narkoba yang terjadi di STPDN, saya ungkapkan,” ujarnya Jumat (18/7), di kantor DPP PKS, Jakarta.

    “Demi Allah, dengan nama kitab suci, yang saya lakukan benar,” katanya sambil memegang erat bajunya kemudian mencium lambang PNS yang dijahit di lengan kanan baju. Inu kemudian mengenakan kemeja PKS berwarna hitam putih yang di bagian belakangnya bertuliskan ‘Bersih, Peduli, dan Profesional’ yang diserahkan seorang pegawai kantor DPP PKS.

    BalasHapus