09 November 2011

Tanpa Ada Buku Tak Akan Pernah Ada Peradaban


Judul Buku: Jejak Langkah
Jenis Buku : Roman Novel
Genre: Fiksi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Cetakan: 7, Januari 2009
Bahasa: Indonesia
Tebal Buku: 724 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 13 x 20 cm
Website resmi/email Penerbit: -
No ISBN : 979-97312-5-9
Harga buku : 95.000-

Sinopsis: 
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Tetralogi buru yang ketiga ini, Jejak Langkah bisa kita artikan sebagai pembelahaan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah fase pengorganisasian perlawanan. Minke memobilisari segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad lamanya umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja ‘Medan Priaji’. Dengan Koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.

Karakter Utama
MInke
Khou Oh See
Ang Mey 

Review: 
Pramoedya kali ini dalam buku lanjutannya berjudul Jejak Langkah, merupakan fase pengorganisasian perlawanan. Yaitu dengan cara Minke mendirikan organisasi yang waktu itu adalah terbitan surat kabar “Medan Prijaji”. Surat kabar itu didirikan bukan untuk hiburan rakyat saja melainkan alat perlawanannya sebagai pribumi terhadap kesewenang-wenangan Eropa. Kontan pro-kontra terjadi, banyak peningkatan untuk boikot yang diatasnamakan orang Eropa diwakili oleh Robert Suurhoof—tak lain adalah teman H.B.S nya dulu. Namun semua itu tak berdaya melawan rasa simpati rakyat pribumi terhadap apa yang diusahakan Minke. Idde –ide yang disetujui Pribumi adalah meningkatkan boikot terhadap produk Eropa, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Di jalanan kerusuhan kian marak terjadi, pemerintah Hindia Belanda merasa ikut perlu campur tangan, namun Robert Suurhoof menfirnah Minke bahwa peristiwa kerusuhan ini akibat hasutan Minke.
Karena menurutnya intelektual yang dibalas dengan kekerasan adalah kekerdilan. Yaitu bangsa yang kedirl dan bodoh yang melakukan pemberangusan intelektual. Sekali pun pendidikan dokter di Eropa yang dirasakan oleh Minke diberangus, kandas di tengah jalan, namun Minke menyadari bahwa ranahnya lewat langkah jurnalistik. Ia suka menulis sekaligus mewartakan kasus-kasu ketidakadilan, kesewenang-wenangan Eropa terhadap rakyat pribumi. Satu kasus contoh adalah pemaksaan kehendak, tuan tanah yang Eropa memaksa pemiliknya orang Pribumi untuk menjual dengan harga murah dan tak manusiawi. Hal itu membuat rakyat pribumi ketakutan karena tidak memiliki kesamaan di depan hokum, ia merasa sama saja, pasti oerang Eropa akan memenangkannya karena hokum waktu itu juga bisa dibeli. Kasus-kasus semacam itu marak terjadi waktu itu, dan Minke memperjuangkannya seperti pengacara yang tanpa dibayar sesen pun, semua itu demi keadilan atas nama pribumi.
Namun bukan Minke kalau hanya diam saja, ia digambarkan Pram seperti ‘representasi’ dari tokoh pendiri Pers Nasional RM Tirto Adhi Soerjo yang melawan ketidakadilan tanpa harus menggunakan kekerasan. Karena Intelektual harus dilawan dengan intelektual. Hal itu secara tak langsung mendudukkan peran wartawan, pers dalam mendirikan republik ini melalui Medan Prijaji, yang 1904 juga mendirikan Sjarikat Dagang Islam, cikal bakal organisasi modern pertama di Indonesia. Melalui Medan Prijaji, tokoh Minke terus mengritisi pemerintahan Hindia Belanda yang saat itu korup merajalela, rakyat tidak dipikirkan nasibnya. Akibatnya banyak gelandangan, lapar dan tak ada kerja. Minke berseru-seru terhadap pribumi: “didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.
Apa yang ditulis Pramoedya Ananta Toer menjadi relevan dan seperti ramalannya bahwa rakyat yang didik organisasi akan melawan segala bentuk ketidakadilan penguasa. Sebut saja pemerintahan Orde Baru yang suka sekali memberangus kemerdekaan berpikir secara tulisan, dan lisan, pikiran yang akhirnya tumbang di tangan mahasiswa dan rakyatnya sendiri pada 21 Mei 1998. Di era reformasi, di tengah kemelut guncangan politik di timur tengah, bagaimana Mesir atas nama Presiden Husni Mubarok harus mundur oleh rakyatnya sendiri, dan diikuti bangsa-bangsa lainnya. Hal itu tak mengherankan, rakyat selalu menang di akhir, dengan organisasi, kesepakatan bersmaa menumbuhkan rasa kebersamaan dan keadilan yang sama, segala bentuk ketidakadilan dan kesenang-wenangan penguasa akan tunduk di telapak kaki rakyatnya yang dilatih organisasi. Semua itu juga karena jasa media pers yang menginformasikan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.
Begitulah. Relevannya pemikiran Pramoedya, bisa menjadi ide pemantik bagi generasi penerusnya. Karya-karyanya yang terekam abadi, tak hanya sanggup menghibur namun juga detail memompa semangat pembacanya untuk berubah, berubah dari kemandekan, maju dan mengritis sesuatu yang tidak benar. Seperti Pram mengatakan,” Sudah lama aku dengar dan aku baca ada seuatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakann kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.
Buku ini syarat akan pencerahan kita agar keadilan di depan hukum itu memiliki hak yang sama, tak peduli itu anak pejabat, anak presiden, atau anak petani, anak buruh bangunan, hendaknya semua sama di depan hukum yang praktiknya tidak bisa diperjualbelikan. Karena selama ini teori undang-undangnya semua sama di depan hukum namun, praktiknya hukum masih diperjualbelikan. Buku ini juga bisa dibaca khalayak umum yang haus rasa keadilan dan sastra, tapi perlu didedikasikan kepada para penegak hukum negeri ini untuk sekali-kali membacanya.

Judul Buku: Rumah Kaca
Jenis Buku : Roman Novel
Genre: Fiksi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Cetakan: 8, Juni 2010
Bahasa: Indonesia
Tebal Buku: 646 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 13 x 20 cm
Website resmi/email Penerbit: -
No ISBN : 979-97312-6-7
Harga buku : 95.000-

Sinopsis: 
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu, Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan per-rumahkacaa-an. Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menamilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pasakolonial paling bergengsi.

Karakter Utama:
Minke
Tuan Pangemannan
Nyau Ontosoroh /Madame Sanikem Le Boucq
Maysaroh
Hendrick Friscbohten
Darsam
dll 

Review: 
“Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya.” Kata-kata Pramoedaya Ananta Toer lewat Minke itulah yang merupakan peristiwa singkat namun jika diuraikan menjadi setebal roman Rumah Kaca ini.

Rumah kaca berisi arsip dokumentasi Minke, bagaimana jatuh bangun menghidupkan Medan Prijaji, surat kabar yang membela kaum pribumi. Medan prijaji dibredel oleh kekuasaan Hindia pada waktu itu, ketakutan akan huru-hara di kalangan rakyat pribumi membuat geram dan kalangkabut pemerintah Hindia. Melalui cara licik, Gubernur Jenderal melakukan usaha kolonial memukul habis semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Dari cara-cara kekerasan melalui tangan bandit kecil—Rovert Suurhoof dan gerombolannya. Ia mengancam dan berlaku layaknya bandit, merusak barang-barang secara criminal, meneror, mengancam keselamatan Minke. Itulah yang dinamakan kekerdilan, yang melakukan usaha pelarangan intelektual dengan cara kekerasan. Hingga pada suatu hari, Minke di asingkan, karena usahanya di mata pemerintahan Hindia-Belanda sangat merugikan dari aspek ekonomi maupun hukum Hindia.
Namun Minke tak gentar, ia melawan hingga tak ada ketakutan kepada hIndia, lebih baik diasingkan namun merdeka daripada hidup nyaman tapi seperti budak.
Pram menggambarkan usaha Minke seperti ilmu ‘garam’, terasa meskipun tak terlihat, ia berbuat menurut hati burani membela keadilan, meskipun yang dibela tak memihaknya. Ia berjuang tanpa pamrih hanya untuk keadilan dan kemerdekaan hak pribumi yang diselewengkan. Sebaliknya pemerintahan Hindia seperti menerapkan ilmu ‘gincu’ yaitu terlihat jelas, namun tak ada rasanya, seperti memimpin pribumi dengan teori dan undang-undang namun praktiknya nol besar, bertolak belakang dari keadilan. Malah pejabat Hindia memperkaya diri. Tak heran pemerintahan Hindia tak bisa dipercaya oleh pribumi, karena tidak adil dan menganaktirikan pribumi dari ras eropa. Itulah sebabnya terjadi huru-hara di mana-mana. Hal itulah tampak jelas kekuasaan yang tidak didukung rakyat lama-laam akan tergulung ombak pemberontakan. Sebagai dalih kerusuhan, pemerintahan HIndia dengan licik mengambinghitamkan Minke sebagai dalang huru-hara maka dari itu, satu-satunya jalan adalah mengasingkan Minke—sungguh picik pemerintahan Hindia waktu itu.

Terlihat sekali, Pram mengritik habis-habisan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang tidak becus mengurusi pemerintahan karena terjebak oleh pejabat korup yang melarikan diri ke luar negeri dan berfoya-foya menggunakan uang rakyat. Cara mengritik Pram terhadap pemerintahan Hindia yang menyeluruh, seperti tukang cukur yang menggunduli rambut pelanggannya, tak bersisa, halus mulus, dan meninggalkan kesan mendalam.

Dalam Rumah Kaca, Pramoedya ingin menghadirkan cara penyajian penceritaan yang tidak seperti biasanya ditemukan di tiga buku sebelumnya, Bumi Manusia sampai Jejak Langkah. Roman Rumah Kaca memperlihatkan Tuan Pangemanann—pejabat Gubernur Jenderal Hindia sebagai komandan yang memimpin pemboikotan usaha jurnalistik Minke di Medan Prijaji melakukan tugasnya, dengan cara mengumpulkan arsip dokumentasi apa saja yang dilakukan Minke. Tuan Pangemanann didorong oleh tugasnya sebagai seorang Pangemanann pejabat gubernur Jenderal, yang menyelidiki kasus Minke, mencari kesalahan Minke.

Namun kenyataannya tak semudah membalikkan telapak tangan untuk menyeret Minke ke meja pengadilan, meskipun Minke sudah diasingkan. Malahan ada pengalaman batin memilukan terjadi pada diri Tuan Pangemanann. Setelah membaca lembar-demi lembar arsip itu, Tuan Pangemannan berubah dalam cara berpikirnya. Ia mulai ketakutan sendiri, jangan-jangan bangsanya sendiri telah melakukan semua kebiadaban ini. Ketakutan itu mengundah rasa ingin tahu dan hari demi hari ia gunakan menyelidiki kasus Minke, dan mempelajari arsip tersebut. Ternyata dalam arsip itu tidak ditemuakn satu hal pun bermuatan provokasi massa atau ide-ide kriminalitas lainnya yang dituduhkan bandit Robert Suurhoof. Kebalikannya, nurani Tuan Pangemannan tersentak, netralitasnya muncul, jika ia melihat dari sudut pandangnya sebagai Minke, ia akan memposisikan sama halnya Minke, ia akan berjuang membela rakyatnya sendiri apa pun itu resikonya.

Namun ketakuatn akan jabatannya membuatnya luruh, ia kurang berani membela Minke di depan pejabat Gubernur Jenderal Hindia lainnya. Perasaan bersalahnya yang membuat Minke diasingkan membuatnya bertindak sesuatu, yaitu menyerahkan arsip ini kepada guru agung Minke, yaitu Nyai Ontosoroh yang sudah beralih warga negara Perancis, menjadi madame Sanikem Le Boucq. Hal itu dilakukan sebagai bentuk “penebusan dosa” terhadap Minke yang rela berkorban demi bangsa dan tanah airnya sendiri malah diasingkan, dibuang begitu saja. Arsip itulah yang kemudian dicetak menjadi buku judulnya Rumah Kaca ini.

Pramoedya sungguh menarik meramu cerita dengan gaya penceritaan dari sudut pandang Tuan Pangemanann, semua diceritakan apa adanya menurut bukti yang ada di arsip tersebut. Detail dan rinci salah satu kekhasan penulis dalam menulis Rumah Kaca ini, intrik jahat kolonial hindia diberitakan dengan penuh ketegangan, alur cinta yang anggun, abadi meskipun dari bab Bumi Manusia hingga Rumah Kaca kita sebagai pembaca, dihadapkan oleh “kekalahan petualangan cinta” seorang priyayi setampan Minke yang berakhir tragis namun pengalaman manis meninggalkan kenangan ketulusan cinta kepada wanita-wanitanya. Perjuangan Minke dalam membela pribumi tercermin dalam Rumah Kaca. Dan hingga buku ini dicetak dan menjadi sumber bacaan yang mencerahkan bagi masyarakat pribumi.

Dan juga kepada bangsa Hindia yang menolak perjuangannya, bangsa Eropa yang menutup mata terhadap pribumi dan perjuangan Minke hingga ia diasingkan, tak ada yang menolongnya. Meski demikian, dari itu semua, terkandung hikmah yang mendalam. Benar kiranya apa yang diucapkan Pramoedya Ananta Toer kali ini,” Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles—Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa, dan Naikkan yang Terhina–.
Buku ini, sekali lagi cocok untuk dibaca bagi mereka yang mencari jati diri menurut kebenaran. Sastra, politik dan hukum ada di dalam buku ini. Tidak memandang mereka politikus, presiden maupun mahasiswa dan rakyat. Siapa pun yang bisa membaca, hendaklah membaca karya ini. Karena karya yang menghibur itu banyak—seperti kacang–. Namun karya yang mencerahkan rasa naisonalisme bisa dihitung dengan jari. Sekarang terserah pembaca, mau pilih membaca yang mana.



Judul Buku: Panggil Aku Kartini Saja
Jenis Buku : Biografi
Genre: Nonfiksi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Cetakan: 5, Februari 2010
Bahasa: Indonesia
Tebal Buku: 304 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 15 x 22,5 cm
Website resmi/email Penerbit: -
No ISBN : 979-97312-11-6
Harga buku : 50.000-

Sinopsis:
Biografi ini mengajak kita untuk mengingat sosok Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestik—rumah tangga. Seperti kisahnya yang menjadi seorang gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan, kemudian meninggal. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan arus kekuasaan besar penjajahan feodal dan Belanda dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun.
Kartini tidak punya massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan beliau tuliskan segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Hasilnya luar biasa, selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai negeri di mana asal dan akar segala kehancuran manusia Pribumi terjadi. Pramoedya Ananta Toer merekam itu semua dengan tajam dan penuh pesona yang kemudian membedakan dengan uraian dan tafsir mana pun atas sosok Kartini.

Review:
Dalam bukunya “Panggil Aku Kartini Saja”, Pram sengaja tidak menyuguhkan cerita yang digambarkan secara sastra seperti buku-bukunya roman “Tetralogi Buru”. Buku ini ditulis dalam bentuk biografi. Kali ini tokohnya adalah Kartini. Gadis Jepara. Beliau yang dikenal sebagai pendekar bangsa untuk kaumnya, memberi inspirasi terhadap perjuangan kaum wanita dan kepada bangsa pribumi yang kelak bernama Indonesia.
Pengetahuan kita sebelumnya mengenai Kartini, adalah gadis pingitan keluarga ningratnya yang lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan kemudian meninggal. Namun kali ini bukan itu yang akan menjadi bahasan dalam buku “Panggil Aku Kartini Saja”. Kata-kata judul itu asli dari tulisan tangan Kartini dalam menulis esainya yang diterbitkan di media massa pada waktu itu. Tulisan itu tak hanya mengaung di negeri pribumi ini namun juga menggemparkan negeri penjajah di sana. Pramoedya menggunakan kata “Panggil Aku Kartini Saja” lebih memfokuskan pada siapa sebernarnya dibalik sosok Kartini ini, apa yang ia perbuat untuk bangsa, misi apa yang dibawa Kartini bagi kaumnya. Hal itu terangkum jelas pada penelitian yang dilakukan Pramoedya dalam buku ini.
Pramoedya mengumpulkan data-data researchnya dari perpustakaan museum di Jakarta dan Arsip Nasional berikut putra dari R.A Kartini sendiri, Raden Mas Soesalit. Agaknya penelitian buku ini meninggalkan jejak kelam kerena seharusnya buku “Panggil Kartini Saja” terdiri dari empat jilid namun lagi-lagi ketakutan penguasa waktu itu, terpaksa aksi vandalisme terjadi lagi, yang selamat hanya dua jilid yang sekarang diberi judul “Panggil Aku Kartini Saja”.
Di dalam buku ini, murni adalah pemikiran Kartini sebagai pribumi terhadap kungkungan penjajahan Belanda, dan penindasan feodalistik yang dirasakannya—padahal Kartini adalah keturunan Priyayi ningrat. Di buku ini Pram, hanya sebagai “tangan panjang” Kartini yang melakukan dokumentasi sejarah apa yang terjadi pada kehidupan Kartini di tengah-tengah kemelut budaya feodal dan penjajahan Belanda kala itu.
Sederhana namun sangat jelas. Bahwa Kartini menolak tradisi feodalisme dalam bentuk apa pun—meski ia hidup di dalam keluarga feodal. Buku “Panggil Aku Kartini Saja” ini sarat akan nurani Kartini yang ingin dianggap sama, sederajat dengan kaum pribumi, alih-alih dia seorang keturunan ningrat namun Kartini enggan dipanggil dengan sebuatan Raden Ajeng, Raden Mas Ayu, atau panggilan ningrat lainnya, baginya dirinya adalah sama sederajat dengan kaumnya pribumi, jadi, nuraninya ingin dipanggil dengan sebutan Kartini saja, sama seperti perempuan pribumi lainnya, tanpa gelar, ataupun status sosial. Apalagi terhadap penjajahan Belanda yang sewenang-wenang terhadap kaum pribumi sepertinya. Beruntung Kartini bisa mengenyam sekolah karena beliau anak keturunan priyayi, yang pada waktu itu sekolah dibangun bukan untuk tujuan pendidikan pribumi namun untuk sekolah para eksklusif kaum penjajah dan kaum feodal yang “setali tiga uang” dalam berbagi kekuasaan, dan pendidikan. Sementara pribumi ditelantarkan dalam kebodohan. Namun semua itu berjalan tanpa disadarinya dan praktiknya disengaja penguasa waktu itu. Tak lain tak bukan semua ini memang terencana, agar bangsa pribumi terus dalam kebodohan dan dengan begitu mereka tidak akan bisa melawan penjajah.
Namun agaknya pengetahuan perihal “Kebodohan yang disengaja” tersebut sudah diketahui Kartini. Kartini yang sudah dini menguasai bahasa Belanda, menggunakan bahasanya itu untuk berkomunikasi dengan temannya orang Belanda juga, begitu juga kawan-kawannya Eropa, hingga mereka takjub masih ada orang pribumi yang pandai retorika dalam bahasa Belanda begitu juga menulis. Oleh sebab itu, Kartini bertekad “memintarkan” bangsa dan kaumnya dari penjajahan Belanda waktu itu.
Kartini yang tanpa massa, pasukan, ataupun uang berusaha menyadarkan pribumi dengan membaca dan menulis, beliau tulis apa saja permasalahan kaum pribumi lalu dikirim ke media massa waktu itu, dan tak hanya pribumi saja yang tahu, karyanya dimuat namun kaum penjajah pun mengetahui sepak terjang Kartini dalam tulisan dan komentar-komentarnya mengenai penjajahan. Hanya satu yang dicita-citakan Kartini, yaitu mengangkat derajat kaum pribumi yang sudah terlalu lama di injak-injak kaum penjajah, dan kaum feodal.
Meskipun Kartini hidup di tengah-tengah kaum Feodal yang mengungkungkan (baca: dipingit). Hal itu tak menjadi halangan untuk melanjutkan sekolah. Bacaan yang mempengaruhinya adalah Max Haveelar, Multatuli karena isinya tentang kaum pribumi yang ditindas oleh sistem tanam paksa waktu itu. Mulai dari situlah, Kartini membela rakyatnya dengan tulisan, buku-buku yang dikarangnya “Habis Gelap Terbitlah Terang” adalah buku yang diminati tak hanya kaum pribumi pada waktu itu, namun kaum Eropa juga disibukkan dengan membacanya, dan segala penjualannya digunakan membangun yayasan dan sekolah. Visi dan misi Kartini sudah jelas, yaitu kelak rakyatnya harus menjadi pemimpin bangsa ini, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan kemajuan pendidikan, salah satunya dengan mendirikan sekolah bagi kaum pribumi.
Pertama-tama, muridnya adalah kaum perempuan. Karena pada zaman itu kaum perempuan sangat didiskriminasikan oleh kaum feodal yang Patriarki. Hal itu karena pemikiran dangkal para Partriarki, bahwa Perempuan hanya “kanca wingking” alias teman di belakang berurusan dengan hal rumah tangga, meladeni suami, mengurus anak jadi menurut mereka—Patriarki, mengecam perempuan dan mempertanyakan eksistensi perempuan dalam pendidikan. Pemikiran picik seperti itulah yang membuat Kartini prihatin terhadap kaumnya. Dan berusaha membalikkan keadaan tersebut.
Perjuangan Kartini yang mengangkat derajat kaum pribumi mendapat sambutan luar biasa dari kalangan aktivis pergerakan pada waktu itu dan para pendidik kamu pribumi, mereka adalah kerabat dekat Kartini juga, yaitu Ayahnya, R. M Adipati Ario Sosroningrat, dan abangnya tercinta R.M Sosrokartono. Keduanya memberi semangat kepada Kartini untuk selalu belajar dan berguna bagi negerinya dan mendukung didirikannya sekolah rakyat pada waktu itu khusus untuk pribumi.
Hal yang paling inti dari perjuangannya yaitu membangkitkan emansipasi perempuan di kalangan pribumi, dengan begitu perempuan juga boleh berorganisasi, berpolitik sepertihalnya laki-laki. Ide tersebut didukung oleh kawan-kawannya Eropa, salah satunya Estelle Zeehandelaar, yang berjiwa merdeka di negeri Belanda.
Buku ini berisi latar belakang Kartini, bagaimana konflik dengan keluarga mampu dilaluinya dengan tabah meskipun ayahnya terlalu ketat mendidiknya, namun Kartini mencurahkan rasa sayangnya amat sangat terhadap ayah satu-satunya itu. meskipun Kartini dipingit, namun tak ada kemarahan di hatinya, justru dengan tekanan batin tersebut maka ia berusaha bangkit, menulis kegelisahannya, berjuang membela hak-haknya sebagai kaum perempuan pribumi yang disadari ataupun tanpa disadari, kaum perempuan pribumi masih terbelenggu oleh dogma feodalisme dan penjajahan Belanda. Dalam keterpurukan itu, Kartini berteriak melalui tulisan “diary”nya dan di suatu hari tanpa diduga gaungnya sampai ke negeri seberang, negeri penjajah dan hal itu memberi semangat terhadap dirinya dan kaum perempuan pribumi.
Buku ini juga mengandung ide-ide terobosan dari Kartini dalam perjuangannya membela kaum perempuan yang selama ini tak dipandang, dikaji lebih dalam. Rasa nasionalisme suci Kartini mampu mengantarnya ke panggung internasional, bahwa perempuan juga bisa berpikir layaknya laki-laki, dan hal itu membuka mata dunia internasional yang selama ini terkungkung dogma Patriarki. Otomatis ide-ide tersebut mampu menjadi inspirator bagi kaum pribumi. Salah satu idenya adalah, Kartini mempromosikan hasil kerajinan anak pribumi, ukiran Jepara yang khas. Tuliian Kartini tentang ukiran Jepara mampu menembus pangsa pasar Eropa, dan hasil kerajinan ukiran Jepara banyak diburu orang Eropa, yang berdampak positif bagi perekonomian pribumi waktu itu. Tak berhenti di situ, segala kasus apa pun yang menimpa kaum pribumi Kartini berusaha angkat melalui penulisan dan dikirimkan ke media, alhasil banyak karya Kartini dimuat dan dibaca. Dari situlah Kartini ingin membuka mata Internasional, bahwa anak-anak Pribumi mampu berbuat sesuatu, mampu menghasilkan sesuatu meski kehidupannya dalam penindasan. Dari tulisan Kartinilah, banyak negara-negara Eropa yang simpati dan mendukung antidiskriminasi dan mengecam penjajah Belanda.
Bahasa yang digunakan Pram menggunakan bahasa formal, jernih dalam menjadi “tangan panjang” pemikiran Kartini. Penelitian yang detail dan rinci ini mampu memberikan informasi yang akurat bagi pembaca bahwa sosok Kartini tidak hanya berkutat pada dunia “pingitan” namun sadarlah bahwa ada misi suci dari Kartini dalam melawan penjajah Belanda dan kaum feodal yang mengangkangi ratusan tahun kaum pribumi. Itu semua menurut Kartini hanya satu penyebabnya yaitu, kebodohan. Maka dari itu satu terobosan lagi yang dilakukannya adalah mendirikan sekolah agar anak didiknya sanggup membaca dan menulis sehingga tak ada yang bisa menipu mereka lagi. Lebih tepatnya menipu harga diri martabat mereka sebagai kaum pribumi.
Buku ini meskipun sayang tidak lengkap, hanya dua jilid namun semoga mampu menjadi pencerahan bagi pembaca yang menginginkan kemajuan di bidang apa saja. Sepertihalnya kemajuan di bidang perempuan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh perempuan di tanah air, sebut saja Fatmawati, Megawati, Ainun Habibie, yang ketiga menjadi motor penggerak pemikiran perempuan di bidang politik yang mampu menggerakkan arah bangsa melalui pemikiran-pemikiran mereka. Pesan penting Kartini kepada kaumnya,”Barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang, itulah semboyanku! Maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani memenangkan tiga perempat dunia!” ujar Kartini


Judul Buku: Gadis Pantai
Jenis Buku : Roman Novel
Genre: Fiksi
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantera
Cetakan: 6, Februari 2010
Bahasa: Indonesia
Tebal Buku: 272 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 13 x 20 cm
Website resmi/email Penerbit: -
No ISBN : 979-97312-8-5
Harga buku : 40.000,-
Sinopsis:
Gadis Pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampong nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Seorang gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat, seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Dia diambil menjadi gundik pembesar tersebutt dan menjadi Mas Nganten: perempuan yang melayani “kebutuhan “ seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajkat dengannya.
Mulanya, perkawinan itu member prestise baginya di kampong halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya, menajdi Bendoro Putri. Tapi itu tidak berlangusng lama. Ia terperosok kemabli ke tanah. Orang Jawa yang telah memilikinya, tega membuangnya setelah dia melahirkan seorang bayi permepuan.
Roman ini menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan tepat langsung di jantungnya yang paling dalam.

Karakter Utama:
Gadis Pantai
Bendoro
Mardinah 

Review:
Kata Pramoedya, Gadis Pantai adalah roman yang mengsiahkan tentang perikehidupan seorang gadis remaja yang besar di kampong nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Keelokannya mengundah rasa minat dari seorang Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda, biasa dipanggil Bendoro. Ia diambil istri oleh Bendoro dan dikenal dengan sebutan Bendoro Putri. Konflik masalah berawal dari situ.
Kehidupan Gadis Pantai berubah total, seperti ungkapan Jawa,” Kere munggah Bale”. Segala keperluan sudah ada, tinggal menjentikkan jari saja, asalkan ia patuh terhadap perintah Bendoro. Pertama-tama, Gadis Pantai menikmati hal itu, namun lama kelamaan rasa rindu orang rumah- Mak, Bapak- sungguh menggelora. Di rumah gedongan miliki Bendoro penuh kehati-hatian, salah sedikit saja kena hukuman. Seperti ungkapan Gadis pantai pada Bapaknya,” Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini..Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.
Bisa diambil kesimpulan bagaimana kondisi kehidupan Gadis Pantai yang mengalami dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan para Priyayi, memang harta, benda kekuasaan telah mereka miliki, namun kasih sayang, saling menghormati tanpa pandang status tak ada sama sekali pada mereka, priyayi itu.
Gadis Pantai diambil menjadi gundik pebesar tersebut dan menjadi Mas Nganten perempuan yang melayani “kebutuhan” seks pembesar Bendoro tersebut. Namun Gadis Pantai tak tahu menahu hal itu. Lebih mirisnya lagi ketika masa perkawinan Gadis Pantai dengan Bendoro mulai diguncangkan masa kelahiran anak pertamanya, tiba-tiba kehidupan Gadis Pantai berubah, ia disingkirkan begitu saja oleh Bendoronya hanya karena Gadis Pantai melahirkan bayi perempuan. Dalam Roman Gadis Pantai ini, diceritakan Bendoro yang menguasai ilmu agama, pandai mengaji, kaya raya dan cerdas. Namun setelah mengetahui anaknya berjenis kelamin perempuan, apa yang terjadi, ia malah meninggalkan gadis Pantai dan menikah dengan gadis yang sederajat dengan dirinya. yang lebih mengerikan lagi begitu dahsyatnya paham Feodalistik ini mengakar di benak orang-orang Jawa, hingga ketakutan oleh kepatuhan kepada Majikan, Bendoro Priyayi nya mengalahkan hak kewajiban anak kepada orang tuanya. Bagaimana perubahan sikap orang tua Gadis Pantai terhadap anaknya, jangankan menyebut namanya, menatap anaknya sendiri saja takut bukan main hanya karena Gadis Pantai sudah menjadi miliki Bendoro–kaum Feodal. Begitulah tradisi Feodal yang orang-orangnya menginginkan menjadi “Tuhan kecil” di daerahnya. hal pembodohan yang menarik untuk dipelajari, bagaimana kaum feodal telah menguasai orang-orang pribumi–notabene sesama rasnya sendiri. Oleh karena tak salah jika Pram, mengutuk tindakan Feodal ini dalam tubuh pribumi.

Pramoedya yang secara jelas dari roman-roman sebelumnya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan lainnya, menolak tradisi feodalistik yang masih dianut sebagian pembesar Jawa pada waktu itu, namun yang memiriskan lagi ke mana hati nurani dan moral para pembesar yang telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap hak seorang wanita yang telah dinikahinya. Pram tidak hanya mengritik tradisi feodalistik yang kejam, namun penindasan atas nama gender yang masih dilakukan para kaum Patriarki di Jawa pada waktu itu.
Roman Gadis Pantai ini menarik untuk dibaca, apalagi karena buku ini telah mengalami pembakaran oleh tangan penguasa waktu itu. Untung bab awal dari roman ini terselamatkan, dua bab setelahnya sudah hangus menajdi debu. Seharusnya roman ini terdiri dari trilogi namun hanya satu buku ini yang bisa dan dapat dinikmati oleh pembaca hingga sekarang. Namun karena keganasan vandalism Angkatan Darat yang berujung penguasa waktu itu, membakar habis dua bab setelah buku pertama Gadis Pantai ini. Namun agaknya penguasa tidak mampu menghalangi pemikiran Pramoedya Ananta Toer. Melalui pihak Universitas Nasional Canberra (ANU) melewati seorang mahasiswi Savitri P. Scherer yang mengambil tesis penelitian seputar proses pengarangan Pramoedya Ananta Toer mengirimkan naskah yang nyaris tak terawatt karena terombang-ambing dari satu tangan ke tangan langit hingga akhirnya kembali ke tangan pengarangnya sendiri.
Di sini membuktikan bahwa sekuat atau sekuasa apapun penguasa, tak bisa menghalangi proses kreatif atau kesenimanan seseorang, karena ide tak bisa dibajak, apalagi dibunuh. Ide akan selalu tetap hidup, selama akal ini masih ada. Begitu juga proses kreatif, semakin ditekan, dipinggirkan, disingkirkan, hal itu malah membuat seniman lebih dewasa dan serius dalam berproses kreatif, sehingga tak jarang dari mereka para pengarang, seniman yang besar karena kungkungan teralis besi, tekanan batin dari negaranya sendiri. Lihat saja nobelis sastra Gao Xingjian, Gunter Grass, Kenzaburo Oe yang buku-bukunya tadinya dilarang negaranya menjadi memiliki nilai setelah ide –ide dalam bukunya member pencerahan terhadap perubahan sosial di masyarakatnya, bahkan pemerintah setempat tak berkutik dibuatnya, karena karyalah yang berbicara, rakyat sebagai pembaca adalah hakimnya.
Hal itulah yang tercermin dari diri Pramoedya, yang berkali-kali masuk nominasi nobel sastra namun beliau sendiri tidak bangga atas hal itu, yang memilukan hati Pram, kenapa bangsa lain, jauh-jauh ingin memberi penghargaan sekaliber “nobel” namun bangsanya sendiri, bangsa yang menjadi inspirasi dalam karya-karyanya telah membuangnya, bahkan pemikian-pemikiran demi kemajuan bangsanya malah diberangus, dimasukkan ke kamp Buru selanjutnya buku-bukunya dibakar tanpa ampun.
Melalui Roman Gadis Pantai ini, Pram memilih bahasa, kosakata yang jernih (clarity) dan bersih (clear) membuat pembacanya dimudahkan dalam mencerna kalimat-kalimatnya, meskipun masih konvensional. Kritik-kritik terhadap kaum Feodalistik, dan kaum Patriarki digambarkan secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, di situ dijelaskan bahwa kaum priyayi yang memiliki keimanan atas nama agama masih terbungkus dalam kemunafikannya sendiri. Ironisnya kaum yang mengerti apa itu keimanan, apa itu agama malah menyebarkan bau kebencian di antara orang-orang hanya karena mereka tak sederajat. Sebaliknya rakyat yang sehari-hari hanya bergelut dengan amisnya ikan di laut, kurang mengenal apa itu agama, namun mereka berpikir, bertindak menggunakan hati nurani dalam menghadapi kehidupan di tengah penjajahan Belanda yang sadis dan penjajahan kaun Feodal yang sinis. Meskipun roman ini unfinished namun bukan berarti roman ini “miskin” esensi dan sastranya, melainkan dari awal cerita, Pram sudah mulai memasukkan unsure sastrawinya tak juga ketinggalan esensinya, bahwa Pram ingin menunjukkan “dosa besar” kaum feodalistik ini yang tidak hanya membiarkan “penjajahan” dari pihak asing saja namun juga turut serta mengecap bagaimana memiliki kekuasaan untuk menguasai sesama pribuminya sendiri dan menyengsarakannya. Sungguh mengerikan di balik ekslusivitas kehidupan, kehidupan glamor, hedonis kaum feodal sama artinya “memakan bangkai saudaranya sendiri”. Rasa menjijikkan itu digambarkan Pramoedya Ananta Toer dengan sempurna untuk membela bau harum bunga-bunga pribumi ini. dan buku ini adalah salah satu rekomendasi referensi buku pilihan yang sayang kalau tidak menjadi koleksi anda. Selamat membaca




Tidak ada komentar:

Posting Komentar