19 Desember 2011

Catatan akhir tahun 2011 : 19 Desember, 63 Tahun yang Lalu


Setelah PKI (Partai Komunis Indonesia) menikam dari belakang Republik Indonesia yang masih sangat muda usia pada 18 September 1948, tiga bulan kemudian pada 19 Desember pasukan kolonial Belanda menghujani Ibu Kota Negara Yogyakarta dengan bom secara beruntun, dimulai dari lapangan terbang Maguo (sekarang Adisutjipto). Suasana sangat kritikal dan berbahaya, tetapi para pemimpin tidak panik.

Presiden Soekarno sekeluarga, beberapa menteri Kabinet Hatta, dan Sutan Sjahrir kemudian terkepung di Istana Negara. Hatta sendiri sebagai perdana menteri merangkap menteri pertahanan sedang beristirahat di Kaliurang.

Tanpa Hatta, sidang kabinet untuk menentukan sikap menghadapi situasi yang lagi gawat tidak bisa dilangsungkan. Bung Karno meminta agar Hatta segera dijemput. Maka, dengan sigap Menteri Negara HB IX (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) disertai ajudan segera berangkat ke Kaliurang menjemput Hatta, sekalipun hanya sampai di bagian utara Kota Yogya (kini lokasi kampus UGM), sebab Hatta ternyata telah turun dari kaki Gunung Merapi.

Kemudian, para pemimpin ini langsung ke Istana Negara, tidak jauh dari Keraton Sultan. Sesampainya di istana, Hatta menulis surat kepada Jawaharlal Nehru, sahabat lamanya sewaktu masih di Eropa. Surat ini diantarkan oleh ajudan Arifin ke rumah Yunus, wakil India di Yogya. Kepada Nehru, Hatta menceritakan bahwa Belanda sudah mulai clash militer kedua. (Lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, Hlm 541).

Tentang betapa gawatnya situasi ketika itu, kesaksian Ali Sastroamidjojo berikut ini perlu dicatat dan dikenang: 'Kami berkumpul di kepresidenan menunggu dengan kecemasan di dalam hati, apalagi ketika Sri Sultan belum saja kembali dengan Bung Hatta. Dalam pada itu, pesawat-pesawat terbang Belanda sudah mulai beterbangan di atasnya.

Akhirnya, Sri Sultan tiba kembali dengan Bung Hatta. Mereka menerangkan agak terlambat datangnya karena mobil harus dijalankan dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Sebab, pesawat-pesawat terbang Belanda sudah berkeliaran di atas jalan Kaliurang ke Yogya.' (Lih. Ali Sastroamidjojo, Tonggak-Tonggak di Perjalananku. Jakarta: PT Kinta, 1974, Hlm 241-242).

Nyawa para pemimpin kita saat itu seolah-olah sudah berada di ujung tanduk dan nasib Indonesia merdeka sungguh dalam taruhan. Belanda yang tidak rela melepaskan Indonesia telah dan akan menempuh berbagai cara dan tipuan, untuk melumpuhkan Republik dalam usia yang baru setahun jagung ini.

Di tengah-tengah kecemasan yang sangat menghimpit, Anda lihat para pemimpin ketika itu sangat kompak. Presiden Soekarno tidak mau mengambil alih posisi Perdana Menteri Hatta dalam keadaan darurat sekalipun. Hatta harus dijemput untuk memimpin sidang kabinet. Dengan nyali seorang pemimpin sejati plus keberanian yang luar biasa, HB IX malah menawarkan diri untuk berjibaku ke Kaliurang dengan segala risiko yang mungkin saja berlaku.

Raja Yogya ini tidak banyak berteori, tetapi memberi contoh dan teladan melalui tindakan yang heroik. Amat disayangkan HB IX tidak pernah diberi peluang untuk menjadi orang pertama di Indonesia, sebagaimana juga Hatta tidak mendapatkan peluang serupa.

Sekiranya diberi kesempatan, siapa tahu Indonesia sekarang tidak lagi dirudung malang ibarat kampung tak bertuan karena pernah dipimpin oleh manusia berkarakter kuat, sigap ambil keputusan di saat-saat genting, dan jujur. Menonton keadaan yang tidak menentu seperti sekarang ini, tak usahlah anda menangis, karena jalan sejarah tidak pernah linear, banyak kelokan, dan korban.

Soekarno, Hatta, HB IX, dan sederetan pemimpin puncak yang lain telah berjuang keras untuk kemerdekaan Tanah Air yang kita warisi sampai hari ini. Tetapi, roh mereka akan meratap dengan suara parau jika warisan mereka berupa kemerdekaan bangsa kita sia-siakan, tidak dijaga dengan baik, demi syahwat kekuasaan dan pragmatisme politik yang tersesat jalan.

Kembali kepada drama 19 Desember 1948. Pagi itu di Istana Negara diadakan Sidang Kabinet untuk membuat keputusan-keputusan penting dalam suasana genting. Di antaranya, karena pasukan pengawal tidak cukup tersedia, Presiden dan Wakil Presiden tetap tinggal dalam kota, sementara Jenderal Sudirman dengan paru-paru satu memilih perang gerilya.

Dan, kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi, diperintahkan untuk membentuk Pemerintah Darurat yang dikenal dengan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dengan mengambil alih pemerintah pusat, yang ternyata berlangsung selama tujuh bulan berikutnya. Dan, pada hari itu juga Yogya jatuh, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan beberapa menteri menjadi tawanan Belanda untuk kemudian dibuang ke luar Jawa. Baru awal Juli 1949, mereka kembali ke Yogya dan Sjafruddin menyerahkan mandatnya kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar