26 Desember 2011

Kultur Masyarakat Lunak, Suap Semakin Merajalela


Artikel ini membahas tentang bagaimana masyarakat yang masih menganggap suap sebagai hal yang wajar, lumrah, dan tidak menyalahi aturan. Suap terjadi hampir di semua aspek kehidupan dan dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Banyak yang belum memahami bahwa suap, baik yang memberi maupun yang menerima, termasuk tindak korupsi.

Penulis ingin menjelaskan bahwa fenomena suap bisa terjadi melalui jalur yang sederhana dan sepele hingga urusan kenegaraan yang rumit. Suap terjadi mulai dari pengurusan KTP hingga pembuatan undang-undang (UU) di lembaga legislatif. Dari sini, penulis ingin mengajukan preposisi bahwa suap merupakan bentuk penyimpangan yang sudah menjadi tradisi. Hal ini bisa diartikan bahwa masyarakat secara tidak sadar telah melakukan suap sebagai salah satu varian korupsi.

Penulis mengungkapkan sebuah keteraturan bahwa tradisi suap yang dilakukan masyarakat merupakan salah satu bentuk sistem penyimpangan yang terjadi lebih karena kultur masyarakat. Masyarakat memiliki kultur yang lunak. Kerangka kultural yang penuh pertimbangan ini membuat masyarakat selalu berusaha untuk menyiasati segala aturan yang ada. Masyarakat yang tidak rigid, juga membuat hukum yang yang dibuatnya pun tidak tegas. Aturan hukum terkadang tegas, tetapi di bagian lain justru sangat lunak. Ketidakpastian hukum ini membuat aturan itu sendiri sangat mudah untuk disiasati.

Kultur masyarakat Indonesia juga terkait erat dengan tingginya tingkat kekerabatan masyarakat atas dasar berbagai ikatan primordial. Hal ini juga membuat penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan tegas. Baik suap maupun penegakan hukum, masih didasari atas alasan emosional dan kultural, bukan atas dasar legal rasional. Kondisi ini juga diperparah dengan tidak adanya keteladanan yang baik dari para pemimpin dan pemerintah. Pemerintah yang membuat aturan, namun pemerintah yang menyiasati dan melanggarnya.

Penulis juga menawarkan solusi bahwa pemberantasan korupsi dan suap tidak cukup dilakuakan melalui prosedur struktural seperti adnya undang-undang yang tegas dan pemberantasan korupsi di lembaga peradilan. Langkah yang juga harus dilakuakan adalah pencegahan tindak pidana korupsi melalui jalur kultural.

Analisis
Permasalahan dalam artikel ini merupakan bentuk sistem penyimpangan yang terjadi karena adanya permasalahan dalam tiga elemen sistem. Baik aktor, struktur maupun fungsi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, penyimpangan dari elemen-elemen sistem justru membentuk suatu keteraturan sehingga bisa dikatakan membentuk sistem baru. Suap yang lebih terjadi karena kultur masyarakat menjadi semacam suklus penyimpangan yang tiada henti apabila tidak dilakukan mekanisme pencegahan melalu jalur struktural dan kultural.

Masyarakat sendiri telah melakukan konstruksi sistem yang menganggap bahwa suap bukanlah bentuk penyimpangan atau yang termasuk dalam tindak pidana korupsi. Kesalahan yang terjadi sejak lama dan dibiarkan secara terus-menerus membuat suap menjadi tindakan yang seolah-olah dibenarkan. Penulis sendiri memposisikan dirinya sebagai aktor yang netral dan berusaha untuk mengungkapkan keteraturan yang ditemukannya yaitu tradisi suap dalam masyarakat.
Hubungan aktor dengan actor

Suap terjadi melalui proses kesepakan antara aktor yang memberi dan menerima suap. Masing-masing aktor mamiliki kepentingan yang memungkinkan adanya proses tawar-menawar. Setelah kesepakatan antar aktor diperoleh maka bisa dikatakan bahwa aktor-aktor tersebut telah masuk dalam sistem, menghilangkan identitas mereka dan siapapun aktor itu tetap bisa dikatakan sebagai pelaku suap. Contoh paling mudah adalah pembuatan KTP. Di satu pihak, aktor yang memberi suap yaitu masyarakat, menginginkan pelayanan yang mudah, cepat dan tidak berbelit-belit. Sedangkan pihak yang menerima suap, yaitu petugas birokrasi pemerintahan ingin mendapatkan keuntungan yang lebih berupa uang. Hal ini justru biasa dilakukan dan semacam telah menjadi mekanisme penyimpangan yang tidak disadari masing-masing aktor. Suap kemudian terjadi dari hasil kesepakatan antara aktor-aktor yang sama-sama ingin diuntungkan. Ketika ada aktor yang membutuhkan maka aktor yang lain siap menawarkan jasa.

Hubungan antara aktor dengan struktur
Dalam sistem ini, terlihat adanya dua struktur yang berlaku yaitu struktur birokrasi dan struktur hukum. Struktur birokrasi Indonesia justru menyediakan ruang bagi para aktor untuk melakukan suap. Proses yang berbelit-belit dengan biaya yang mahal menjadi salah satu faktornya. Seperti yang diungkapkan dalam artikel ini, aktor mulai menciptakan kreativitasnya untuk menyiasati struktur birokrasi yang menyulitkan tadi. Sementara struktur aturan dan sanksi yang sudah ada di Indonesia tidak mampu menjerat pelaku suap yang biasanya dilakukan dalam ranah yang informal. Misalnya, kreativitas pegawai rendahan yang memberi hadiah kepada atasan agar bisa naik jabatan. Hal ini merupakan salah satu bentuk tradisi yang sebenarnya bisa dikategorikan sebagai suap.

Masalah utama mekanisme penyimpangan sistemik dalam kasus suap ini terletak pada struktur atas yang menentukan struktur-struktur di bawahnya. Suap diatur dalam Pasal 417-418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang dirujuk dari hukum pidana masa penjajahan. Namun, undang-undang ini tidak dapat menjamin aktor-aktor bisa bekerja dalam struktur yang telah ditentukan. Suap dan korupsi masih terjadi bahkan di lembaga peradilan dan lembaga politik sekalipun. Sehingga ketika aktor-aktor yang bekerja dalam lembaga di atas melakukan suap, hal ini akan menentukan aktor-aktor lain di bawahnya untuk melakukan hal yang sama. Oleh kerena itu, dalam artikel ini penulis menawarkan solusi untuk memberantas suap dari struktur atasnya, yaitu di lembaga peradilan dan lembaga politik.

Di sisi lain, penulis juga melihat adanya kemungkinan pemberantasan suap ini bisa dilakukan dari struktur bawahnya, yaitu perilaku aktor masyarakat tadi. Keterkaitan antara kultur dan perilaku masyarakat sangat mempengaruhi proses pemberantasan korupsi dan suap di level bawah sehingga perlu adanya perubahan struktur kulturmasyarakat. Meskipun dalam hal ini hasilnya baru dapat diperoleh dalam jangka waktu yang lama. Struktur kultural masyarakat ini bisa juga diartikan sebagai lingkungan yang mempengaruhi bekerjanya sistem.

Hubungan antara struktur dan fungsi
Dalam kasus ini, pemerintah berusaha keras untuk memberantas korupsi dan suap melalui mekanisme struktural. Usaha ini diperkuat dengan mekanisme hukum dan dibentuknya lembaga seperti KPK. Namun, pemerintah seakan lupa dengan fungsi dari aktor-aktor yang selalu mencari celah agar bisa menguntungkan dirinya. Dalam suatu sistem, setiap aktor pasti menjalankan fungsinya masing-masing dimana fungsi tersebut bisa jadi berjalan searah dengan struktur maupun berlawanan dengan struktur.
Kasus penyimpangan seperti suap mengindikasikan adanya penyimpangan fungsi masing-masing aktor yang bisa mengganggu kestabilan struktur. Hukum menjadi tidak berarti apa-apa ketika setiap aktor dalam hal ini mampu menjalankan fungsi ganda yang berlawanan.

Struktur yang telah ditata rapi tidak dapat menjamin pelaksanaan fungsi masing-masing aktor. Masyarakat seharusnya menjadi elemen pendukung sistem transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan, tetapi dalam kasus ini masyarakat justru menjalankan fungsi sebagai pelaku suap itu sendiri. Demikian juga dengan para birokrat yang seharusnya bekerja sebagai pembantu masyarakat namun justru mengambil keuntungan dari fungsinya tersebut. Fungsionalisasi birokrasi di Indonesia juga tidak dapat bekerja secara optimal. Hal ini justru menjadi media bagi adanya penyimpangan-penyimpangan tersebut.

Kasus suap yang telah menjadi kultur masyarakat merupakan penyimpangan yang tersistem. Ketidakberesan dalam setiap elemennya justru menimbulkan subsistem baru yang bekerja secara teratur dengan dukungan lingkunga kultural masyarakat yang bekerja di luar sistem. Setiap elemen dalam suatu sistem memperlihatkan adanya keterkaitan sehingga ketika terdapat salah satu elemen yang tidak berfungsi maka akan mengakibatkan terganggunya sistem dan bekerjanya elemen-elemen yang lain. Namun dalam kasus ini, terlihat bahwa semua elemen mangalami masalah namun mekanisme dan proses tetap bisa berjalan. Penyimpangan dalam hal ini menjadi tersistem dan sulit untuk dipecahkan siklusnya. Penyimpangan dalam kasus suap menjadi sistem baru yang tidak sehat dimana masing-masing aktor menjalankan fungsi yang tidak semestinya sehingga fungsi-fungsi tersebut mempengaruhi struktur dan perilaku aktor, demikian juga sebaliknya. Batas antar aktor, struktur dan fungsi yang dijalankan semakin kabur dan tidak jelas sehingga kasus suap menjadi subsistem tersendiri yang bekerja di luar suprasistem yang ada.

Sumber : Kompas, Rabu, 5 Desember 2007 halaman 5. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar