08 Desember 2011

Negara yang Cuma Mampu Memecah Cermin?


Selain itu mari kita bicarakan barang sekejap berapa hal tentang keindonesiaan menjelang reshuffle yang amat digandrungi oleh SBY ini, di antaranya besar utang Indonesia yang akan diwariskan oleh rezim kepada rakyatnya. Juga tentang pertanian. Dengan membincangkan sekilas kedua hal itu niscaya akan terjawab sendiri bahwa reshuffle kabinet hanyalah tingkah memecah cermin karena muak melihat muka buruk.

Di tengah menghangatnya perbincangan tentang rencana reshuffle KIB II yang tak ubahnya seperti memecah cermin karena buruk muka itu, diagnosis Indonesia amat diperlukan tak sekadar mencari sesuatu cara “buang badan” belaka. Lihatlah data tentang utang dan keterpurukan pertanian yang adalah hal yang bukan pertanyaan tepat ditujukan cuma kepada seorang menteri atau partai yang mengirimkannya ke kedudukan itu.

Masalah Indonesia tak bisa difahami cuma dengan menjelaskan mengapa Artalita berhasil dengan leluasa membangun “istana” di Lembaga Pemasyarakatan, atau mengapa vonnis terhadap mantan Ketua KPK Antasari Azhar dikecam publik karena tak memperhatikan secara jujur dan cermat semua bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Juga tak bisa difahami jika sekedar mempertanyakan mengapa Muhammad Nazaruddin begitu berani dan berhasil mempermainkan serta mempermalukan Indonesia. Bahkan mungkin juga tak bisa difahami jika sekadar mengurai mengapa peragu SBY lebih suka membuat rapor para menteri ketimbang memberi jawaban tuntas untuk masalah Indonesia yang dipimpinnya dengan mandat penuh dan legitimasi yang kuat. Jangan lupa, kini ia memimpin untuk periode kedua.

Indonesia hingga kini masih belum berhasil sekadar memberi nama untuk semua pulau yang dimilikinya sebagai warisan nenek moyang. Jangan lagi bercerita tentang kemampuan Negara untuk mensejahterakan rakyatnya, atau memberi perlindungan terhadap TKI yang tak menemukan peluang mengais rezeki di sini. Itu suatu utang besar jika disadari. Selain itu mari kita bicarakan barang sekejap berapa hal tentang keindonesiaan menjelang reshuffle yang amat digandrungi oleh SBY ini, di antaranya besar utang Indonesia yang akan diwariskan oleh rezim kepada rakyatnya. Juga tentang pertanian. Dengan membincangkan sekilas kedua hal itu niscaya akan terjawab sendiri bahwa reshuffle kabinet hanyalah tingkah memecah cermin karena muak melihat muka buruk.

Utang Indonesia. Konon setelah pernah menurunkan agak signifikan, kini total utang pemerintah Indonesia tercatat terus membengkak. Hingga Januari 2011 utang itu mencapai Rp1.695 triliun. Ini berarti mengalami kenaikan Rp17,13 triliun jika dibandingkan dengan data yang tercatat hingga akhir 2010.

Menurut penjelasan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan utang itu terdiri atas pinjaman sebesar US$68,57 miliar dan suratberharga senilai US$ 118 miliar. Keseluruhannya dibedakan lagi menurut asal-muasal hubungan bersifat bilateral, multilateral dan komersial. Menurut catatan metrotvnews.com rasio utang itu berarti 26 % bila dibandingkan dengan pendapatan kotor negara sebesar Rp6,422 triliun.

Seorang guru besar dari IPB dengan penuh keheranan menulis baru-baru ini. Menurutnya, profil Indonesia sebagai negara terkaya di dunia yang menjadi bahan bacaan di mana-mana, karena keunikan yang dimilikinya, adalah sesuatu ironi karena kerajinan membuat beban utang ini. Ia menyebut Indonesia sebagai Negara terkaya yang juga negara berutang yang lengkap dengan kondisi buruk lainnya seperti kemiskinan, korupsi yang merajalela, kondisi moral bangsa yang kian menurun serta masalah-masalah lain yang sedang menyelimuti negara ini. Ia tentu tak sekadar berucap, karena Negara agraris ini pun terberitakan kemaren mengimpor ubi kayu dari Italia dan Chinadalam jumlah besar. Siapa yang tak menertawakan “kedunguan” ini, atau penjelasan apa yang masuk akal untuk masalah aneh ini?

Utang memang bukan sesuatu tabu dalam sejarah semua pemerintahan di dunia, bahkan ada mazhab pemikiran yang menuduh justru Negara yang tak mau berutang itulah Negara yang dungu. Tetapi orang harus secara kritis menilai mengapa harus berutang dan apalagi untuk berani memberi jaminan penuh bahwa utang itu tidak untuk dikorupsi memperkaya diri atau malah untuk menambah ketergantungan yang semakin tak berdaya di hadapan “Negara-negara pemangsa”. Akan sangat berbeda utang yang dibuat dengan dasar pertimbangan kenegarawanan dengan utang-utang yang akhirnya membabat habis kedaulatan. Presiden mana yang tak bertanggung jawab atas utang negaranya?

Pertanian Indonesia. Rakyat dimana-mana tak henti-hentinya melawan kezaliman Negara soal lahan pertanian. Masalahnya bukan bagaimana mencari cara agar negeri ini sebagai Negara agraris tetap diakui oleh rakyat dan dunia internasional karena kemampuannya untuk tampil dengan andalan kekuatan komparatif itu. Bukan itu yang menjadi manistrem politiknya kini, sayang sekali memang.

Konon ada yang menurut sejarahnya memang lahan-lahan milik masyarakat dirampas begitu saja sambil pendiskreditkan rakyat pemilik sebagai penyandang stigma politik seperti PKI, anti Orde Baru, Anti Pembangunan, teroris dan stigma-stigma mematikan lainnya. Di Sumatera Utara lahan-lahan yang diklaim sebagai milik PTPN diketahui sudah sejak beberapa tahun lalu habis masa Hak Guna Usaha (HGU)-nya. Diduga hanya karena kolaborasi yang amat cocok dengan kekosongan political will pemerintah, maka banyak dari lahan itu kini berpindah posisi penguasaan kepada pihak lain.

Siapakah mereka dan bagaimana mereka menjadi “raja baru” di lahan-lahan sengketa itu, hanya pemerintah yang paling tahu. Tetapi yang jelas, hanya pemerintahan yang dungulah yang tak tersinggung dengan cara itu, sebagaimana secara tidak langsung diteriakkan dengan keras oleh ribuan pendemo di Gedung DPRD Sumut pekan lalu. Presiden mana yang tak bertanggung jawab atas keadilan dan jaminan atas mata pencaharian pokok rakyatnya?

Reshuffle. Ingatlah SBY mensakralkan kediamannya Cikeas saat melakukan semacam uji kelayakan dan kepatutan kepada para calon menteri KIB II yang satu-satu berdatangan dengan penuh harapan. Tugas itu tugas kenegaraan, bukan tugas domestik yang tak semestinya diselenggarakan di mana suka. Pendiri sebuah partai yang sama dengan tanggal kelahirannya ini juga mengajukan pakta integritas yang saat itu amat menjanjikan harapan bagi publik. Tentulah isinya soal kesetiaan dan keberanian bekerja tanpa korupsi.

Jika aroma korupsional kemudian tak dapat dihindari dari fenomena puncak gunung es yang terlihat di seputar Andi Mallaranggeng dan Muhaimin Iskandar, maka yakinlah bahwa kerusakan yang terjadi bersifat korupsional. Mulai saja telaahan dari mengapa Sri Mulyani pergi dan apa yang pernah dimarahkan oleh JK tentang perampokan uang Negara di seputar Century Gate itu. Jadi Muhammad Nazaruddin dan kisah pelecehan jaringannya terhadap Negara hanyalah pelengkap untuk cerita panjang tentang ketidak-setiaan pada janji membersihkan Indonesia.

Reshuffle menurut seorang aktivis separtai dengan SBY yang tinggal di Medan didasarkan pada beberapa hal. Selain dugaan cacat korupsional, ia menyebutkan soal kesehatan. Kini kenanglah seseorang yang didiskwlifikasi untuk jabatan Menteri Kesehatan dan akhirnya jatuh ke pundak seseorang yang sejak beberapa waktu lalu diberitakan menderita sakit kanker. Alasan semakin terasa dibuat-buat. Masih menurut penuturan rekan separtai SBY yang tinggal di Medan itu, selain ada meneteri yang akan diganti karena digugat cerai oleh isterinya (siapa yang suka digugat cerai? Orang ini sudah jatuh ditimpa tangga pula. Mestinya Indonesia takziah kepada orang yang malang ini), Kementamben juga akan mendapat menteri baru karena pejabatnya sakit. Dalam keraguan yang dalam tentang alasan itu, mungkin lebih baik mempertanyakan sampai dimana telah dilakukan perteguhan eksistensi dan visi serta misi kementerian ini sebagai instrument untuk Negara dan bangsa dilihat dari pengelola sumberdaya alam kaya raya yang karena potensi luar biasa itu kerap terkenal menuai protes sekaitan dengan tuduhan terjadinya aneka kejahatan kemanusiaan, kejahatan lingkungan dan kejahatan keuangan Negara di sekitarnya? Kementerian ini harus segera “naik kelas”, dan tampaknya itu tak cuma butuh reshuffle.

Penutup. Untuk lebih meyakinkan bahwa masalah Indonesia tak terkait dengan reshuffle, bandingkanlah Amerika yang besar dan paling kuat itu yang cuma mempunyai belasan menteri. Indonesia memiliki dua kali lipat kementerian, masih ditambah lagi dengan Wakil Menteri. Menko ada tiga, yang bagi banyak pihak tampaknya lebih bersifat artifisial belaka kalau bukan sekadar modus powersharing. Bukankah powersharing itu memaksa hadirnya orang yang tak berkualitas? Lalu, Anda masih ingat berapa banyaklembaga yang dibentuk?

Mengapa reshuffle ini digembar-gemborkan? Tak lain karena SBY menganggap ada makna dan kekuatan di dalamya. Tetapi bayangkan jika di sebuah sekolah secara berkala ada pengumuman “reshuffle” jabatan-jabatan. Apa yang terjadi? Sebetulnya Kepala Sekolah cukup berpegang kepada prinsip manajemen dan aturan baku, sehingga tak perlu mengumumkan ke seluruh dunia saat akan mengganti seorang guru karena tak becus. Jangan lupa bahwa mungkin sebuah kementerian akan kehilangan sekitar 12 bulan masa efektif kerja karena setiap pejabat baru akan membutuhkan masa penyesuaian 6 bulan. Bagaimana kalau menteri baru itu menenderkan pula jabatan-jabatan di lingkungan kekuasaannya?

Mudah-mudahan semua rekaman ini akan memudahkan Indonesia menempuh jalan hidup setelah tahun 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar