26 Desember 2011

Mengapa Saya Menjadi Seorang Anti Positivist?



Pendekatan Anti positivisme. Menurut saya, asumsi utama dari pendekatan ini adalah tidak adanya sebuah kebenaran absolut. Kebenaran adalah relatif tergantung dari interpretasi masing-masing individu. Pendekatan ini tidak mempercayai adanya obyektivitas yang benar-benar bisa obyektif terlepas dari nilai-nilai dan subyektivitas seseorang. Realitas sosial yang ada merupakan hasil dari rekayasa manusia. Segala sesuatunya bisa dikonstruksi dan dimanipulasi oleh manusia. Satu hal yang bisa kita pegang adalah bahwa realitas itu bukan sekedar mirip sebuah “potret”, melainkan juga “film”, dinamis, bergerak, mengalir atau singkatnya selalu dalam “proses menjadi”.
Positivisme selalu mengandaikan bahwa prosedur-prosedur metodologi ilmu alam langsung bisa diterapkan dalam ilmu sosial. Realitas dan hasil penelitianmerupakan hal dengan distansi penuh antara obyek dan subyeknya, netral, hukum-hukum alam, hal yang bebas kepentingan, universal dan sebagainya. Pendekatan ini seakan menegasikan peran interpretasi dari ilmuwan atau subyek penelitian. Hasil penelitian selalu diandaikan tidak mengandung interpretasi subyektif dari penelitinya. Obyek dalam penelitian sosial juga bukan hal yang pasti seperti zat-zat kimia, mesin ataupun sel. Pengandaian positivisme ini merupakan pengandaian yang sangat normatif sehingga sangat sulit dipenuhi di tataran praksis. Positivisme seakan telah membangun sebuah dinding tebal antara pengetahuan dan kehidupan praksis manusia.
Dalam realitas, tidak ada satupun tatanan baik itu tatanan sosial, politik maupun budaya yang bisa terbebas dari nilai. Karena itu hal yang paling penting dalam pendekatan ini adalah adanya penghargaan terhadap nilai. Nilai, dalam hal ini yang berkaitan dengan kemanusiaan, ketuhanan, ataupun nilai-nilai sosial lainnya merupakan salah satu bentuk kontrol terhadap ilmu pengetahuan sehingga dengan merujuk pada nilai tersebut, ilmu pengetahuan bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Hasil penelitian yang didasarkan pada persepektif ini bisa memberi gambaran secara lebih detail terhadap obyek penelitian. Hal ini dikarenakan oleh tidak adanya jarak antara subyek dan obyek penelitian. Subyek bisa mengenal obyeknya secara lebih dekat sehingga tidak hanya mengetahui apa yang tampak dipermukaan saja melainkan bisa memahami obyek sampai pada apa yang terdapat dibalik realitas. Antara subyek dan obyek yang tidak terpisah dihubungkan melalui komunikasi interpersonal, sehingga realitas bisa dimaknai tidak hanya sebagai obyek tetapi juga bagian dari subyek itu sendiri. Dalam pendetakan ini, subyektivitas lebih dimaknai sebagai sharing pemaknaan antar individu.
Pendekatan ini tidak berpretensi untuk melakukan generalisasi terhadap obyek penelitian. Masing-masing realitas dipandang secara spesifik dengan memandang konteks, historisitas atau keadaan-keadaan khusus lain yang mempengaruhi obyek. Misalnya saja teori modernisasi dari negara-negara Eropa barat. Teori ini tidak bisa secara langsung diterapkan di negara-negara berkembang tanpa memperhatikan kondisi sosio kultural negara yang bersangkutan. Masyarakat di negara-negara berkembang belum tentu siap dengan modernisasi dengan kondisi dan cara berpikir yang masih tradisional. Ketika generalisasi teori modernisasi dipaksa untuk diterapkan maka akan banyak timbul dislokasi sosial dan permasalahan-permasalahan yang justru bisa menimbulkan instabilitas.
Ilmu politik sebagai salah satu cabang ilmu sosial nampaknya tidak akan dapat menjadi sesuatu yang benar-benar obyektif karena berhubungan dengan manusia. Sebagai sebuah pendekatan, anti positivisme tetap memberi posisi penting terhadap fakta-fakta sosial sebagai elemen penting dalam sebuah tulisan ilmiah. Namun penerjemahan fakta-fakta tersebut merupakan salah satu permasalahan subyektifitas yang tidak bisa dihindari. Pendekatan anti positivisme tidak semata-mata menegasikan obyektivitas sebagai syarat utama sebuah pengetahuan ilmiah. Justru obyektivitas dalam pendekatan ini tidak hanya didapat dari satu sisi dalam sebuah realitas sosial tetapi juga berusaha untuk melihat sisi yang lain.
Contoh yang mudah dipahami adalah bagaimana anti postivisme memaknai kesejahteraan. Dalam tradisi positivis, kesejahteraan semata-mata hanya diukur dengan indikator ekonomi seperti melihat berapa penghasilannya, berapa orang tersebut bisa menabung tiap bulan, berapa tingkat konsumsinya dan sebagainya. Perspektif anti positivisme berusaha menggali lebih dalam realitas tersebut. Kesejahteraan tidak hanya dilihat dari indikator ekonomi tapi juga dari subyektifitas obyek. Bisa saja orang yang secara ekonomi tidak bisa dikatakan sejahtera namun secara personal ia justru bisa dikatakan sejahtara. Seperti adanya rasa aman dan nyaman dalam keluarga. Meskipun secara ekonomi mereka dikatakan miskin, namun mereka bisa menyebut diri mereka kaya ketika dihubungkan dengan tingkat kebahagian batin atau keharmonisan dalam keluarga.
Pendekatan anti positivisme telah banyak memberi kritik terhadap perspektif positivisme. Pendekatan ini banyak menutupi kelemahan positivisme meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa pendekatan ini juga mempunyai banyak kelemahan seperti klaim bahwa anti positivisme bisa melahirkan karya yang tidak ilmiah. Meskipun demikian, metodologi dalam berilmu adalah sebuah pilar penting yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan. Sedangkan metodologi apa yang akan digunakan adalah sebuah pilihan. Anti positivisme merupakan pendekatan yang menurut saya lebih bisa menjelaskan realitas dalam rangka mencapai kebenaran. Ilmu politik sebagai salah satu cabang ilmu sosial merupakan realitas yang dinamis dan selau bergerak. Sehingga pendekatan anti positivisme lebih cocok menjadi semacam kendaraan untuk memahami realitas sosial dalam mencapai kebenaran. Dari beberapa hal yang saya paparkan di atas, maka saya bisa mengatakan bahwa saya adalah seorang anti positivist.

Referensi:
Dr. Purwo Santoso, MA. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskusi Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problema Modernitas. Yogyakarta: Kanisius. 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar