26 Desember 2011

Refleksi Akhir Tahun 2011 : Korupsi Kok Makin Menjadi-jadi


Bukan hanya tanaman, korupsi juga tumbuh subur di Indonesia. Keberadaan lembaga ‘super body’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun seperti tak mampu menyelesaikan persoalan akut ini. Kepolisian dan kejaksaan pun setali tiga uang. Meski ada kasus-kasus yang mencuat ke publik dan sempat ditangani secara hukum, itu hanyalah sebagian kecil dari mega korupsi yang telah terlanjur menggurita.

Dan pemberantasan korupsi tampak berjalan di tempat. Tidak ada efek yang signifhkan dari berbagai penanganan yang sudah dilakukan. Tak mengherankan jika nilai Indonesia dalam pemberantasan korupsi masih di bawah 5 dari rentang skor nol sampai 10 berdasarkan Corruption Perceptions Index (CPI) terhadap 183 negara yang diumumkan oleh Transparency International pada bulan Desember 2011. Indeks terakhir ini menunjukkan kenaikan 0,2 dibandingkan tahun lalu. Artinya tidak ada perubahan signifikan.

Menurut Transparency International Indonesia, skor Indonesia dalam CPI adalah 3,0, bersama 11 negara lainnya. Negara-negara tersebut adalah Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome & Principe, Suriname, dan Tanzania. Dua belas negara itu menempati posisi ke-100 dari 183 negara yang diukur indeksnya. Di kawasan ASEAN, skor Indonesia di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Tapi Indonesia unggul atas Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

Sepanjang 10 tahun menjadi obyek survei Transparancy International, pemberantasan korupsi tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Total peningkatan skor hanya 0,8. Saat ini misalnya, masyarakat hanya disuguhi kabar pemberantasan korupsi kelas teri. Sementara kasus korupsi kelas kakap seperti BlBI atau skandal Bank Century, jauh dari harapan. Banyak yang menguap.

Tak salah pula jika ada yang mengatakan bahwa korupsi seperti virus yang telah menjamah seluruh bagian negeri ini. Hasil survei KPK yang dipublikasikan akhir November 2011 mengungkapkan Kementerian Agama menduduki peringkat terbawah dalam indeks integritas dari 22 instansi pusat yang diteliti. Peringkat terburuk selanjutnya adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Nilai ketiga kementerian tersebut jauh di bawah standar integritas pusat yang mencapai 7,07. Angka indeks integritas pusat (IIP) Kementerian Agama hanya 5,37, Kemenakertrans 5,44, serta Kementerian Koperasi dan UKM 5,52. Rendahnya angka indeks integritas itu menunjukkan bahwa masih banyak praktik suap dan gratifikasi dalam pelayanan publik di lembaga pemerintah.

Temuan Transparancy International tersebut mengukuhkan apa yang sebenarnya terjadi di tengah masyarakat. Partai politik dan legislatif sebagai lembaga yang pernah dicap sebagai lembaga terkorup ternyata tak melakukan pembenahan. Malah mereka memanfaatkan kedudukannya untuk mengeruk uang negara.

Kasus paling menghebohkan tahun 2011 adalah korupsi Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan. Tak tanggung-tanggung, kasus ini melibatkan pejabat teras Partai Demokrat-partai pengusung dan ‘milik’ Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin terlibat di dalamnya. Ia sempat melarikan diri ke luar negeri selama tiga bulan sebelum akhirnya ditangkap di Kolombia.

Nazaruddin dalam pelariannya mengungkap bahwa apa yang dilakukannya sebenarnya adalah perintah dari Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Selain itu, dana hasil korupsi ini dibagi-bagi kepada anggota DPR. Ia menyebut keterlibatan anggota DPR Angelina Sondakh, I Wayan Koster, dan Mirwan Amir.

Tiga anggota DPR ini hingga akhir 2011 ini belum ditetapkan sebagai terdakwa. Yang diseret ke meja hijau baru M Nazaruddin, Sesmenpora Wafid Muharam, Manajer Marketing PT Duta Graha Indah (DGI), Muhammad El Idris, dan Manajer Marketing PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, yang disebut juga oleh Nazaruddin masih aman. Dalam sidang perdana Muhammad El Idris, terungkap Nazaruddin mendapat jatah uang sebesar Rp 4,34 miliar.

Namun dalam pelariannya Nazaruddin mengatakan bahwa uang hasil korupsi itu masuk ke Partai Demokrat, langsung ke tangan Anas. Jumlahnya jauh dari yang terungkap di pengadilan. Miliaran rupiah itu mengalir ke Partai Demokrat. Termasuk ke kongres partai itu di Bandung, Jawa Barat tahun 2010.

Ternyata, korupsi Nazaruddin memang jauh lebih besar lagi. Ketua KPK Busyro Muqaddas mengungkapkan ada 35 kasus yang menjerat Bendahara Umum Partai Demokrat yang sudah dipecat itu. Total nilai semua kasus itu adalah Rp 6,037 triliun. Namun, hingga akhir tahun 2011, tak ada lagi kabar tentang penanganan kasus perampokan uang rakyat itu.

Di tengah penanganan kasus Nazaruddin, tiba-tiba mencuat kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans). Tiga orang ditangkap KPK. Mereka adalah Dharnawati (pengusaha swasta), Danong Irbarelawan (Kabag Perencanaan dan Evaluasi di Kemenakertrans) dan I Nyoman Suwisma (Sesditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi/P2KT).

Dhanawati tertangkap tangan sedang menyerahkan uang suap senilai Rp 1,5 miliar yang terbungkus kardus durian sesaat sebelum Lebaran tiba. Di persidangan terungkap uang Rp 1,5 miliar itu merupakan bagian dari commitment fee senilai Rp 7,3 miliar yang harus disetor ke Menakertrans. Uang itu untuk memuluskan proyek percepatan pembangunan infrastruktur di daerah bidang transmigrasi di 19 kabupaten di seluruh Indonesia. Nilai dana pembangunan itu Rp 500 miliar.

Kasus ini pun menyeret Badan Anggaran DPR. Wakil rakyat itu diduga terlibat langsung dalam pengaturan proyek-proyek pemerintah. Bahkan anggota DPR Wa Ode Nurhayati menyebut bahwa badan tersebut mengutip 6-7 persen dari proyek-proyek di daerah.

Sayangnya, KPK tidak kunjung segera menyeret pihak-pihak yang dianggap ikut menikmati dana haram tersebut, baik itu wakil rakyat hingga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta orang-orang di sekeliling menteri.

Tidak hanya kalangan eksekutif dan legislatif, korupsi telah menjalar pula ke kalangan yudikatif. Selama tahun 2011 tercatat beberapa hakim dan jaksa yang ditangkap KPK. Hakim terakhir yang ditangkap adalah Hakim ad hock Pengadilan Hubungan Industri (PHI) Bandung, Imas Dianasari. Ia diancam hukuman 20 tahun penjara karena menerima suap total Rp352 juta dari Manager HRD PT Onamba Indonesia, Odih Juanda.

Sedangkan jaksa yang tertangkap di November 2011 adalah Sistoyo dari Kejaksaan Negeri Cibinong, Jawa Barat. Menurut KPK, ia menerima suap senilai Rp 99,9 juta.

Sementara itu, penegak hukum terlihat tak berani menangani kasus korupsi kelas kakap dan menyerempet orang-orang penting di kekuasaan. Kasus korupsi Rp 6,7 triliun Century tak ada perkembangan. Demikian juga kasus yang melibatkan istri petinggi PKS Adang Darajatun, Nunun Nurbaeti. Sosialita ini kabur ke luar negeri hingga kini.

Di sisi lain, banyak koruptor yang diadili di pengadilan tindak pidana korupsi daerah yang bebas. Sedangkan para koruptor yang terjerat hukum pun, sejauh ini mendapat hukuman yang tergolong ringan. Hampir semuanya dihukum penjara di bawah lima tahun. Itu pun mereka mendapatkan remisi (pengurangan) hukuman dan perlakuan khusus saat di penjara. Sempat pemerintah di bawah Menteri Kehakiman dan HAM Amir Syamsudin mengeluarkan moratorium terhadap remisi para koruptor, tapi begitu dikecam oleh partai politik, kebijakan itu direvisi kembali. Kebijakan ini jelas tidak akan menjerakan orang untuk berbuat korupsi dan malah bisa menyuburkan korupsi itu sendiri. Tak heran jika korupsi menggurita di mana-mana. Tak salah bila koran Singapura, The Strait Times, pernah menjuluki Indonesia sebagai The Anvelope Country.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar