08 Desember 2011

Design Thinking


Sebagai pelaku bisnis, apa yang Anda andalkan dalam menghadapi kompetisi yang “ugal-ugalan”? Harga atau tarif murah? Produk yang sangat beragam? Pengiriman yang cepat? Mungkin Anda sudah menyodorkan semua itu, tapi apa yang Anda tawarkan lagi bila para pesaing berbuat hal yang sama? Apa yang Anda lakukan tatkala produk Anda menjadi komoditas?

Sebagian orang mungkin menyebut “desain” sebagai pembeda. Desain dijadikan penyelamat dalam persaingan. (Sebagai catatan: Dalam Sciences of the Artificial, Herbert Simon mendefinisikan desain sebagai “transformasi dari kondisi yang ada ke kondisi yang lebih disukai”; sedangkan Ellen Lupton, desainer, mengatakan bahwa desain adalah “art people use”).

Bila mendengar kata desain, orang barangkali membayangkan desain kursi (produk), desain kaos (busana), atau gambar iklan (grafis). Baru akhir-akhir ini saja, kata desain memperoleh konteks yang lebih luas dalam manajemen ketika istilah “design thinking” jadi popular. Dalam hal ini, desain tidak lagi sebagai “nilai tambah” dari suatu produk (“Wah, desainnya bagus ya!”), melainkan sebagai cara berpikir dalam memecahkan persoalan, sebagai cara menciptakan nilai. Atau dalam pemahaman David Burney, Vice President of Brand Communications + Designdi Red Hat, sebagai “cara menciptakan strategi dengan mengalaminya daripada sekedar menjadikannya intellectual exercise”.

Di masa lalu, ketika hendak mengembangkan suatu produk, pelaku bisnis meletakkan unsur desain di tahap belakangan. Ia berpikir terutama mengenai fungsinya dulu. Dalam suatu kegiatan inovasi, desainer tidak memainkan peran awal dengan mengerjakan sesuatu yang substantif. Desainer hanya bertugas memberi “bungkus yang indah” terhadap suatu gagasan. Ia bertugas membuat suatu produk jadi lebih menarik secara estetis di mata konsumen.

Nilai kompetitif desain memang makin disadari. Produk-produk elektronik didesain lebih menarik. Misalnya, fungsi hape bisa sama, harga setara, tapi desain dibuat berbeda. Mobil dirancang lebih atraktif. Banyak barang yang dikemas hingga lebih enak dilihat. Betapapun, umumnya, desain masih dipikirkan belakangan. Bagaimana konsumen memakai suatu produk dengan nyaman, baru dibayangkan belakangan.

Cara berpikir seperti itu tak bisa dipertahankan lagi dan digeser oleh pemahaman bahwa spektrum aktivitas inovasi berpusat pada manusia. Maksudnya, inovasi dilandasi oleh pemahaman menyeluruh, melalui observasi yang penuh empati, mengenai apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh manusia dalam hidup mereka. Bukan hanya berkaitan dengan bagaimana produk itu dibuat, tapi juga bagaimana dikemas, dipasarkan, dijual, digunakan, dan memperoleh support (Apple kerap disebut sebagai perusahaan yang menerapkan design thinking, dan iPod salah satu hasilnya yang revolusioner).

Lantaran itulah, para inovator mengembangkan suatu produk dengan pertama-tama melihatnya dari sisi konsumen sebagai pengguna (ini seiring dengan apa yang selalu ditekankan oleh guru manajemen Peter Druckter ihwal outside-in, berpikir dari sudut pandang konsumen). Yang menarik, obyektifnya bukan lagi produk fisik semata, melainkan juga proses, layanan, interaksi, kolaborasi, komunikasi sebagai suatu rangkaian. Desain sebagai cara berpikir bertitik tolak dari bagaimana konsumen “merasakan pengalaman memakai suatu produk atau jasa”. Titik tolaknya bukan sekedar fungsi, tapi juga kenyamanan, kebiasaan, kemudahan.

Perusahaan yang menerapkan design thinking lazimnya melibatkan betul pelanggan dalam co-creation produk atau jasa mereka. Lantaran itu, seperti kata David Burney, design thinking lebih dari sekedar metodologi, tapi cara berpikir kultural yang melibatkan nilai-nilai yang dikembangkan bersama oleh perusahaan dan konsumen. Bila demikian, karakteristik seperti apa yang dibutuhkan seorangdesign thinkers?

Cara berpikir yang mengikut alur linier tak lagi memadai. Untuk memahami gejala yang terjadi dibutuhkan cara berpikir sistemik: berbagai hal saling terkait dan saling mempengaruhi. Nah, dalam design thinking, kerangka berpikir sistemik disarankan untuk diperkuat sebagai fundamen yang semestinya dimiliki oleh mereka yang berhasrat menggunakannya.

Proses desain (produk, strategi bisnis, pemasaran, dll), menurut Tim Brown, CEO IDEO, sebuah perusahaan desain kelas dunia, dapat digambarkan secara metaforis sebagai “system of spaces” ketimbang sebagai serangkaian langkah yang berurutan. “Ruang-ruang” itu membatasi jenis-jenis kegiatan yang berbeda tapi saling terkait, yang secara bersama-sama membentuk kontinum inovasi.

Sejumlah eksponen menyebutkan ada beberapa “ruang” yang mesti dilakukan dalam proses design thinking. Ada yang menyebut enam, ada yang empat. Tapi, intinya barangkali dapat diringkas seperti yang disarankan oleh Tim, yakni mencakup ruang Inspiration, Ideation, dan Implementation.

Inspiration (ada yang memakai istilah Pendefinisian Persoalan) terkait dengan lingkungan dan situasi (bisa berupa persoalan, peluang, ataupun keduanya) yang memotivasi pencarian solusi. Ideation berhubungan dengan proses menghasilkan, mengembangkan, dan menguji gagasan-gagasan yang bisa mengarah pada solusi. Implementation berupa pemetaan jalur menuju pasar. Proses ini tidak berjalan linier, melainkan ada jalur balik (loop back) ke ruang-ruang tadi (khususnya Inspiration dan Ideation), bahkan bisa lebih dari sekali, guna mematangkan gagasan dan mengujinya sebelum diimplementasikan.

Bagaimana design thinking dapat mengubah strategi bisnis, bisa dicontohkan apa yang dilakukan oleh Shimano, perusahaan Jepang yang memproduksi komponen sepeda. Pada tahun 2004, menghadapi pertumbuhan pasar di AS yang datar-datar saja, Shimano melirik segmen di luar road-racing dan mountain-bike yang selama ini digarap.
Untuk mempelajari pasar potensial ini, Shimano mengajak IDEO berlokaborasi. Tim yang dibentuk melibatkan orang dari berbagai disiplin, seperti desainer, ilmuwan yang mempelajari perilaku (behavioral scientist), pemasar, dan insinyur.

Dengan menyatukan keahlian yang beragam, perspektif yang didapat jadi lebih kaya. Hindari pengkotak-kotakan. Yang tak kalah penting, desainer dan pemasar dilibatkan sejak awal. Desainer tidak bertindak sekedar sebagai orang yang mewujudkan apa yang dipikirkan insinyur. Dan pemasar bukan orang yang memasarkan dan menjual apa yang dibuat insinyur.

Di fase Inspiration, tim interdisiplin ini menemui konsumen. Mereka mendapati orang-orang dewasa di Amerika jarang memakai sepeda meski punya kenangan manis sewaktu bersepeda di masa kanak-kanak. Setelah dewasa, mereka merasa tidak nyaman karena banyaknya asesoris yang mesti dikenakan saat bersepeda, belum lagi bahaya jalanan yang tidak dirancang untuk pesepeda.

Dari eksplorasi mengenai pengalaman dan apa yang diinginkan konsumen ini, tim kemudian mulai fokus pada masalahnya dan mereka-reka jalan keluarnya. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana menghubungkan pengalaman bersepeda saat ini dengan kenangan masa kanak-kanak. Konsumen juga harus merasa aman bersepeda. Hasilnya? Lahirlah konsep “Coasting”. Yang dibayangkan dengan konsep ini ialah bersepeda merupakan aktivitas yang simpel, tidak ribet dengan berbagai asesoris, aman, dan menyenangkan. Coasting bike dirancang lebih untuk kesenangan ketimbang olahraga. Uji coba dilakukan beberapa kali sampai dirasa menemukan desain yang tepat.

Konsep ini mendapat sambutan. Trek, Raleigh, dan Giant lalu mengembangkan ragam sepeda baru yang menggabungkan komponen inovatif buatan Shimano. Tapi tim Shimano-IDEO tak berhenti pada desain sepedanya saja. Mereka juga merancang strategi penjualan di toko ecerannya, menciptakan brand yang mengidentikkan Coasting dengan “cara menikmati hidup”. Mereka juga menyiapkan kampanye kehumasan, bekerjasama dengan pemerintah dan organisasi sepeda setempat, agar pesepeda bisa bersepeda dengan aman.

Dari contoh ini, terbayang bagaimana design thinking menawarkan cara memecahkan persoalan dan mendorong perusahaan mengembangkan cara kerja yang imajinatif. Di dalamnya tercakup pula strategi branding dan pelibatan parastakeholder. Bagi karyawan, ini pengalaman yang memperkaya: memadukan kemampuan analitis dan daya kreatif. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar