05 September 2011

7 Mentalitas Profesional Guru

7 Mentalitas Profesional
  1. Mentalitas Mutu 
  2. Mentalitas Altruistik 
  3. Mentalitas Melayani 
  4. Mentalitas Pembelajar 
  5. Mentalitas Pengabdian 
  6. Mentalitas Kreatif 
  7. Mentalitas Etis 

Mentalitas Etis
Seorang pekerja profesional, sesudah memilih untuk "menikah" dengan profesinya, menerima semua konsekuensi pilihannya, baik manis maupun pahit. Profesi apa pun pasti terlibat menggeluti wacana moral yang relevan dengan profesi itu. Misalnya profesi hukum menggeluti moralitas di seputar keadilan, profesi kedokteran menggeluti moralitas kehidupan, profesi bisnis menggeluti moralitas keuntungan, begitu seterusnya dengan profesi lain. Maka seorang profesional sejati tidak akan menghianati etika dan moralitas profesinya demi uang atau kekuasaan atau yang lainnya.

Penghianatan profesi disebut juga sebagai pelacuran profesionalisme yakni ketidaksetiaan pada moralitas dasar kaum profesional. Di pihak lain, jika profesinya dihargai dan dipuji orang, dia juga akan menerimanya dengan wajar. Kaum profesional bukanlah pertapa yang tidak membutuhkan uang atau kekuasaan, tetapi mereka menerimanya sebagai bentuk penghargaan masyarakat yang diabdinya dengan tulus.

Karakteristik guru profesional adalah : mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan kreativitas siswa, mempunyai sikap yang positif dan moral yang tinggi, dan melakukan belajar berkesinambungan dan pengembangan profesi.

Selain kualifikasi pendidikan, profesionalisme guru dapat dilihat dari : tingginya rasa tanggungjawab dan komitmen guru dalam membangun pendidikan bermutu; adanya kemauan dan keseriusan guru untuk mengembangkan potensi kependidikan atau kompetensi dasar sesuai dengan tuntutan IPTEK; kemampuan untuk berfikir analitis, sistematis dan bersikap aktif, kreatif serta inovatif dalam mengembangkan program pendidikan; dan kemampuan membangun konsep belajar bermakna, menarik dan menyenangkan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi. Suhendro (2008:http://www.duniaguru.com)

Menurut Moch surya Surya (2005:2-3), kualitas profesionalme ditunjukkan oleh lima unjuk kerja, yakni :
  1. keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, 
  2. meningkatkan dan memelihara citra profesi, 
  3. keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembanangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, 
  4. mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi, dan 
  5. memiliki kebanggaan terhadap profesinya. 
Menurut Djojonegoro yang dikutip Gultom (2007:5); profesionalisme dalam suatu pekerjaan/jabatan ditentukan oleh tiga faktor penting, yakni memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi, memiliki kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus), dan memperoleh penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian yang dimiliki tersebut.

Idealnya guru profesional harus memiliki
       1. bakat,
       2. minat,
       3. panggilan jiwa,
       4. idealisme,
       5. komitmen,
       6. kualifikasi akademik,
       7. kompetensi,
       8. tanggung jawab, dan
       9. prestasi kerja.

Seorang guru disebut sebagai guru profesional karena kemampuannya dalam mewujudkan kinerja profesi guru secara utuh yang dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dalam mencapai tujuan pendidikan.

Guru profesional akan tercermin dalam penampilan pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian, baik dalam materi, maupun metode.

Untuk melihat tingkat kemampuan profesional guru dilakukan melalui dua presfektif, yaitu
  1. tingkat pendidikan minimal dari latar belakang pendidikan untuk jenjang sekolah tempat guru tersebut menjadi guru, dan 
  2. penguasaan guru terhadap materi bahan ajar, mengelola proses pembelajaran, mengelola siswa, melaksanakan tugas-tugas bimbingan (Danim, 2002:30). 
Gibson yang dikutip Danim (2002:145) hasil penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan sekolah dalam meningkatkan kualitas lulusannya sangat dipengaruhi oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping adanya guru-guru yang kompeten di sekolah itu.

Nursito (2002:5) hasil penelitian yang dilakukan Bardley di 16 negara, menunjukkan bahwa faktor guru memberikan kontribusi sebesar 34%, manajemen 22%, sarana 26%, dan waktu belajar 18% terhadap hasil belajar siswa.

Menurut mantan Mendikbud Fuad Hasan yang dikutip Dharma (2008:http://www.duniaguru.com) di Indonesia, Jepang, Finlandia, Amerika Serikat, dan di manapun di dunia ini kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya, bukan oleh besarnya dana pendidikan dan juga bukan oleh hebatnya fasilitas. Jika guru berkualitas baik, maka baik pula kualitas pendidikannya.

Idealisme profesi guru dan komitmen membangun pendidikan berkualitas merupakan kunci jawaban dari persoalan pendidikan yang dihadapi selama ini. Sebuah Data yang disajikan Portal www.duniaguru. com pada Desember 2007 lalu telah melakukan jajak pendapat dengan pertanyaan ”Jika Anda seorang guru dan 'diberi' kesempatan untuk ganti profesi, maukah Anda?”. Jawaban para guru adalah tetap memilih profesi guru (55,8%), tetap sebagai guru dan mencari tambahan penghasilan (27,9%), ganti profesi (15,4%), bingung (1%). Ini berarti, lebih dari 80% guru ingin setia pada profesinya. Artinya lagi, tingkat kepuasan menjalani profesi keguruan cukup tinggi. Tentu saja ini kabar baik, karena sulit kita membayangkan kalau para guru mogok atau ogah-ogahan menjalani profesinya.

Istilah “guru profesional” berasal dari kata “guru” dan “profesional. Guru adalah padanan dari pendidik, yang menurut pasal 39 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat.

Kata “profesional” merujuk kepada dua hal, yakni (1) orang yang menyandang suatu profesi, dan (2) kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya (Danim, 2002:22-23).

Kelemahan guru adalah : masih banyak guru yang bersikap tidak profesional seperti tidak dimilikinya jiwa kreatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pelajaran, kebanyakan guru merasa cukup dengan keilmuan yang telah mereka dapat di bangku kuliah, dan kebanyakan guru mengajar tanpa program yang jelas dengan alasan mereka merasa hafal di luar kepala terhadap materi yang akan disampaikan. Suhendro (2008:http://www. duniaguru.com)

Mantan Mendiknas Bambang Sudibyo yang dikutip Suhendro (2008:http: //www.duniaguru.com) pernah mencanangkan bahwa pekerjaan guru adalah sebagai profesi seperti halnya dokter, wartawan dan profesi lainnya. Seperti halnya dokter, maka guru pun dituntut memiliki kompetensi dan kemampuan akademik yang memadai dalam melaksanakan profesinya. Tidak semua orang dapat bertindak sebagai dokter karena menyangkut keselamatan seseorang, begitupun dengan profesi guru: tidak semua orang dapat bertindak sebagai guru karena menyangkut masa depan bangsa dan negara.

Fenomena tersebut menegaskan bahwa masalah SDM pendidikan yang belum profesional merupakan salah satu akar permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Laporan ASPBAE and GCE yang dikutip Firdaus (2005:7) menunjukkan bahwa kualitas guru Indonesia menempati peringkat terakhir atau paling rendah di antara 14 negara di Asia Pasifik.

Hal ini didukung Lubis (2008:4) yang mengatakan bahwa salah satu indikator rendahnya kualitas pendidikan adalah human capital (mental/SDM dan skill manusianya).

Tercatat 15% guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidangnya. Berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? Memprihatinkan, mengenaskan, bencana untuk dunia pendidikan. Apakah guru seperti itu merupakan guru profesional? Kompas (9 Desember 2005)

Menurut Poedjinoegroho(2008: http://www.duniaguru.com) hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK.

Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat memprihatinkan (Depdiknas, 2003:http://www.depdiknas.go.id). Hal ini didukung Umaedi (2002:2) yang mengatakan bahwa kualitas pendidikan nasional terus mengalami penurunan. Menurut laporan ASPBAE (Asian South Pacific Beurau of Adult Education) and GCE (Global Campaign for Education) yang dikutip Firdaus (2005:7) penelitian terhadap kualitas Pendidikan Dasar di 14 negara Asia Pasifik, Indonesia hanya menempati peringkat 10 di bawah Kamboja dan India

Tidak ada komentar:

Posting Komentar