01 September 2011

Sarjana Palsu dengan Mental Tempe



Tempo ini sejumlah media massa mengangkat isu pemalsuan tugas akademik, terutama skripsi dan tesis, sebagai syarat kelulusan pendidikan di universitas. Tentu saja, maraknya kecurangan itu wajib dipermasalahkan. Tapi, di saat yang sama, saya juga gatal untuk bertanya kepada perusahaan media massa yang mengangkat isu itu: apakah mereka mensyaratkan pendidikan S1 untuk calon pegawai mereka? Jika ya, maka keprihatinan mereka adalah keprihatinan yang percuma.

Kenapa ?

Karena, syarat pendidikan minimal S1 yang disyaratkan banyak perusahaan, adalah penyebab utama dari pemalsuan tugas-tugas akademik itu. Oke, tentu saja ada pos-pos pekerjaan yang hanya mensyaratkan pendidikan D3 atau bahkan SMA. Tapi semua orang tahu, itu adalah pos-pos terendah. Untuk mendapatkan gaji yang layak, Anda harus lulus universitas. Ini syarat umum yang diterapkan oleh hampir seluruh perusahaan di Indonesia. Bahkan sejumlah perusahaan mensyaratkan IP tertentu. Konyol!

Hal ini membuat penilaian kualitas seseorang ditentukan oleh selembar ijazah, bukan oleh kompetensinya. Ijazah menjadi seperti tiket nonton pertandingan sepakbola. Tak penting Anda suka bola atau tidak, bukan masalah Anda mau bikin kerusuhan di dalam, tak penting Anda copet yang datang hanya untuk menguras kantong penonton lain, tak penting Anda membeli tiket dari calo… selama Anda memegang tiket itu, Anda boleh masuk stadion. Sementara yang benar-benar ingin memberi dukungan, yang tahu benar akan sepakbola, atau anak kecil yang punya obsesi menjadi pemain besar… selama mereka tak punya tiket, ke laut aja.

Dalam hal menonton sepakbola, hal itu tak bisa dihindari. Tapi, dalam penyaringan calon pegawai, itu bisa dihindari. Menghapus persyaratan S1 tak akan menurunkan kualitas pegawai yang Anda terima, percayalah. Toh para calon pegawai harus melewati serangkaian tes, perusahaan bisa membuat tes yang benar-benar mampu memfilter mereka yang kompeten. Kalau pun ada kesalahan dalam tes yang begitu banyak itu, ada masa magang selama 9 bulan. Ada kesempatan untuk menilai mereka lebih dalam.

Dan, yang terpenting, ijazah S1 sama sekali tak menggambarkan kualitas seseorang. Anda mungkin berkata, “Loh, ijazah S1 adalah salah satu cara untuk menentukan kompetensi seseorang. Jika sarjana saja banyak yang tak berkualitas, apalah lagi mereka yang hanya tamat SMA.” Untuk mereka yang berkata seperti ini, saya akan sodorkan kepada mereka sejumlah orang yang amat berkualitas meski mereka bukan sarjana. Serius, kualitas mereka (secara teknik dan etos kerja) jauh lebih baik dari rekan-rekan mereka yang lulus S1 atau bahkan pascasarjana. Tentu saja, ada pengecualian. Pekerjaan di bidang akademis (dosen atau peneliti) tetap harus diisi oleh para sarjana.

Selama perusahaan-perusahaan masih mensyaratkan pendidikan S1 dalam iklan lowongan kerja mereka, selama itu pulalah gelar sarjana menjadi tuhan. Apapun dilakukan agar mendapatkan gelar itu. Tak penting caranya. Mau tugas skripsinya dibuatkan orang lain, mau otak mereka sekosong bola kempis, sebodo amat. Toh nantinya yang dilihat oleh SDM di perusahaan-perusahaan itu adalah ijazan dan IP mereka. SDM tidak bertanya, “Kamu lulus dengan memakai skripsi buatan sendiri atau buatan tukang ketik di Jalan Pramuka?” Kalau pun hal itu ditanyakan, kita bisa menjawab: “Ya buat sendirilah.”

Jadi, daripada menerima para sarjana palsu dengan mental tempe yang bikin skripsi saja harus bayar orang lain, lebih baik membuka diri seluas-luasnya. Beri kesempatan kepada lulusan SMA/SMK yang cerdas dan berdedikasi tapi tak mampu masuk universitas karena uang pangkalnya mahal selangit.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar