01 September 2011

“Futurology”

Pernah mendengar “futurology”? Saya juga tidak yakin pasti apakah ini bisa disebut sebagai suatu ilmu atau kebiasaan.

Yang jelas pasti saya tahu futurology adalah sebuah wilayah aneh (rada nyeleneh—bahasa jawa) yang sering membicarakan sesuatu yang bagi masyarakat umum adalah hayalan—sesuatu yang belum tentu terjadi—mengenai masa depan.

Bisa dikatakan mirip suatu “forecast” masa depan. Tetapi seringkali mengandung nilai-nilai bijak yang patut dijadikan bahan perenungan.

Futurologists (orang-orang yang suka membicarakan masa depan) mungkin bisa dikelompokkan dengan berbagai cara. Tetapi, yang paling mudah kita kenali ada dua dimensi, yaitu:

1. Pesimistis Nan Suram

Futurologist penganut paham pesimis memandang masa depan sebagia dunia suram.

Pedagangan barang dan jasa akan mengalami masa-masa buruk (bahkan hancur.) Mereka seperti sangat menikmati pembicaraan-pembicaraan mengenai ketidakstabilan dan perpecahan.

Mereka juga sering menyebut-nyebut adanya politik dan intrik yang akan mempermainkan dunia dengan bencana alam. Gempa bumi, badai, banjir, tsunami bahkan gunung meletus yang dibuat dan direkayasa oleh kekuatan politik tertentu dengan menggunakan tehnik geologi super canggih.

Institusi sekarat dan peradaban yang penuh dengan perselisihan.

Futurologist jenis ini, di satu sisi, melihat menurunnya daya juang kekuasaan, bahkan meragukan tujuan dari suatu negara. Tetapi disisi lainnya, mereka juga getol menunujukkan adanya arus penduduk, barang, uang dan informasi yang tidak tertahankan.

Suatu keadaan yang tidak bagus bagi pemerintahan diktator, tetapi juga dilematis bagi sistim pemerintahan demokratis. Suhu politik dan iklim usaha akan mengalami integrasi sekaligus disintegrasi.

Semua institusi—dari yang paling kita percaya hingga yang paling tidak kita percayai—mengalami kondisi yang berjalan tanpa aturan. Paham multi-kultur semakin berkembang, tetapi tak seorangpun mengerti persis apa sesungguhnya paham yang mereka anut. Keamanan menjadi agenda paling penting di setiap lini kehidupan: Pemerintah, dunia usaha, bahkan kehidupan pribadi.

Negara-negara-tertinggal, usaha-usaha-konvensional akan semakin ketinggalan hingga akhirnya kehilangan arah dan ambruk. Segala yang kita tahu dan percaya hidup dalam ancaman. Suatu masa depan dimana kamera-kamera dan satelit super canggih mengintai setiap gerakan setiap orang.

Sungguh potret masa depan yang mengerikan!

2. Optimistis Yang Naif

Mereka yang optimis meyakini bahwa satu-satunya yang sulit dan langka di masa depan adalah ide dan kreatifitas—hal-hal yang berhubungan dengan tatakelola moderenitas.

Kelompok ini sering meramalkan akan penataan masa depan dunia dengan tehnik kerja yang sangat berbeda—cenderung radikal. Sebuah jenis jabatan baru dalam managemen modern yang disebut CIO (Chief Imagination Officer) akan menjadi jauh lebih penting dibandingkan CEO (chief Executive Officer) maupun CFO (Chief Financial Officer) yang ada saat ini.

Akan ada jenis-jenis jabatan lain juga selain CIO, seperti:
  • DMM (Director Mind and Mood) 
  • IAA (Intangible Asset Appraiser) 
  • STA (Story Teller Assistant) 
Tugas-tugas mereka akan berbanding terbalik dengan tehnik managemen pengawasan (Internal control, Sarban Oxley, Audit Kepatuhan) yang ada saat ini. Mereka akan bertugas untuk menstimulasi, mengarahkan dan mengawasi penciptaan ide-ide kreatif.

Kesuksesan suatu negara tidak lagi ditentukan oleh kekuatan industri pabrikan dan kekuatan militer yang tangguh, melainkan ditentukan oleh kecerdikan, imajinasi, ide dan kreatifitas yang tinggi.

Di dunia dot com dan dot net (internet), web dan media online, semuanya akan menjadi mungkin untuk dilakukan.

Segalanya bisa dilakukan, segalanya akan mudah melalui hayalan potret kehidupan berinternet yang menyenangkan. Hari-hari dan hal-hal membosankan tidak akan ada lagi di masa depan. Begitulah futurologist (mereka-mereka yang senang dan menikmati hayalan masa depan) menggambarkan dunia ini. Kesan dan nilai kebijaksanaan apapun yang ditimbulkan oleh dua gambaran masa depan yang kontras ini, kenyataannya masih menimbulkan banyak pertanyaan penting yang memang harus kita jawab sendiri—dengan menjalani hidup ini. Diantara pertanyaan-pertanyaan yang tersisa, ada beberapa yang penting untuk dijawab, yaitu:

Apakah perlakuan diskiriminasi terhadap praktik penempatan tenaga kerja illegal masih akan ada di masa depan? Apakah stres di tempat kerja sesungguhnya hanya sesuatu yang dilebih-lebihkan (sesungguhnya lebih banyak disebabkan oleh stres yang berawal dari tempat tidur)? Apakah kehidupan dunia kerja modern—secara fisik—aman? Bagaimana caranya, membawa mereka-mereka yang sudah lama tidak bekerja, kembali kedunia kerja? Akankah kita sungguh-sungguh ingin memisahkan atau mencampuradukkan kehidupan di dunia kerja dengan dunia di luar pekerjaan? Apakah kita akan bisa belajar dari memaafkan? Apakah yang namanya “karir” mati? Akankah pekerjaan di masa depan lebih memuaskan secara intrinsik, dan untuk siapa?

Apakah anda tergolong yang pesimis atau optimis, yang jelas, mau tidak mau, sadar atau tak sadar, telah dan sedang terpengaruh oleh tiga hal:

Teknologi berubah dan sedang mengubah wajah dunia. Mesin faximile, perpustakaan, film, banjar, dan balai desa sedang dalam proses menuju keadaan yang sekarat, sebagian lagi telah mati.

Populasi sedang berubah: Pensiunan mulai membludak, semantara angkatan kerja baru (muda) belum cukup dibekali untuk menggantikan generasi tua.

Globalisasi adalah kenyataan yang tak terhindarkan.

Tersedia dan akan tersedia lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Banyak diantara mereka yang memiliki keahlian, pendidikan dan pengetahuan, memperoleh banyak pilihan untuk menentukan: dimana, kapan dan apa yang ingin dikerjakan.

Lapangan-lapangan pekerjaan baru akan lebih banyak diciptakan oleh kebangkitan pribadi-pribadi, organisasi swasta dan komunitas masyarakat, dibandingkan yang diciptakan oleh pemerintah.

Manajer dan executive akan lebih banyak berfungsi sebagai mediator dan konsultan dibandingkan sebagai pengawas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar