03 September 2011

Belajar Mendengar


Pagi hangat di kantor. Hujan besar tadi malam, meninggalkan kehangatan sempurna. Tak ada lagi awan menutupi mentari. Hingga sinarnya leluasa menjerang wajah bumi yang lembab. Suara radio El-Shifa FM menambah marak suasana. Sebuah sajian renyah, sarapan pagi nan bergizi. Kegiatan belajar tanpa sadar. Sederhana dan murah. Menambah wawasan. Proses pembelajaran berjalan di sela kerja pagi. Sang penyiar tengah bercerita, tentang anak kecil yang sedang belajar suara-suara. Ia bertanya pada ibunya;

“Bunda, suara apa itu ?”

“Itu suara denting tukang bakso nak!”

“Untuk apa?”

“Agar orang-orang tahu dimana tukang bakso berada. Ia seperti mengatakan, ayo kesini, aku ada di sini…!”

“Kalau yang itu suara apa Bunda?”

“O, itu suara klakson mobil nak”

“Kenapa mesti begitu…”

“Memberi tahu orang-orang agar minggir, tidak berjalan di tengah, agar tak ditabrak … seakan ia berkata, awas.. minggir, nanti kalian akan tersenggol mobilku ini..”

Kira-kira seperti itu alunan penyiar menceritakan keingintahuan si anak. Karena saya memang tidak sedang focus mendengarkan, cerita yang saya dengar terputus-putus. Tapi kesempatan itu menjadi proses kecil pembelajaran saya. Saya menyerap dan mengunyah sejenak info kecil dari radio itu. Cerita bagaimana si anak bertanya tentang suara-suara. Ia tidak paham suara apa itu. Untuk apa? Dan mengapa seperti itu? Dengan telaten sang ibu menjelaskan makna sederhana itu. Itulah sebuah proses belajar. Suara ting-ting-ting tukang bakso menjadi punya makna. -Hayo datang ke sini, aku ada di sini. Belilah baksoku ini-. Tapi suara yang sama saat kita sendiri yang membunyikan menjadi tak bermakna. Atau mempunyai makna lain bahkan.

Pembelajaran sederhana seperti itu akan terus terjadi. Sehingga si anak (dan kita) akan mampu membedakan suara ting-ting-ting-nya tukang bakso dengan yang lain. Ia mempelajari, suara yang sama untuk makna yang berbeda. Seperti juga akhirnya ia akan memahami, bagaimana intonasi juga mempengaruhi makna sangat mendasar. Kalimat tanya, kalimat seru, kalimat berita akan berbeda makna meski dengan kata yang sama. Kemarin! – kemarin? – kemarin. Diucapkan dengan intonasi yang tepat tentu sangat berbeda maknanya. Itu sebuah proses pembelajaran anak-anak tentang suara.

Proses belajar terus berjalan. Bertambah masa, bertambah usia, bertambah proses pembelajaran kita. Dari yang ringan, sedang lalu berat. Mulai dari yang mudah, lalu sulit dan semakin sulit. Memang akhirnya bukan cuma suara, kita banyak belajar tentang segala. Semua yang ada. Pelajaran awal tentang suara, menjadi dasar bagi kita memahami kata dan kalimat dalam nasihat dan taujih-taujih. Lalu berkembang bukan Cuma suara dan intonasi. Tapi inti pembelajarannya sama, bahwa ada makna lain dari makna biasa yang terdengar. Seperti suara ting-ting-ting-nya tukang bakso. Bahwa ada makna lain dari makna yang kita lihat. Ada makna lain dari makna yang kita rasa dan kita baca. Makna tersirat dari apa yang tersurat. Ibroh dari sebuah kisah. Hikmah dari setiap kejadian. Seperti itulah. Dan dari sanalah akhirnya kita mampu membaca raut wajah saudara kita tanpa perlu ia bercerita. Kita mampu membaca makna tanpa kata-kata. Memahami larangan dengan sebuah –ehem- kecil ayah kita. Memahami sebuah empati dengan ekspresi. Memahami makna setuju dengan senyum mengembang. Memahami kesedihan dengan kesayuan. Memahami kemarahan dengan keluhan dan wajah memerah. Memahami setiap kerutan dahi dan pipi. Memahami tarikan bibir dan ujung mata. Hingga memahami setiap gerak laku secara keseluruhan tubuh. Apakah sahabat kita sedang semangat. Atau atasan kita sedang bersedih dan rekan kerja kita tengah bergembira. Seperti Nabi mengetahui gelisah sahabat yang ingin nikah tapi tidak punya biaya, meski ia tak bicara ke Rasul. Seperti juga Ia SAW mampu menangkap getar lambung sahabat yang kelaparan meski tak meminta makan. Atau, mengetahui marahnya Aisyah RA dengan menangkap ucapan pujiannya.

Proses belajar terus berjalan dan kemampuan kita bertambah. Sebagian kita mulai mampu menangkap makna dari kepak sayap burung di angkasa. Sengangar serangga. Semilir angin dan kabut di sore hari. Mampu pula membaca pesan dari sapuan pelangi di kaki langit. Hamparan rumput hijau. Gerimis dan gelap malam. Kita-pun akhirnya mampu membaca makna cinta dari hujan yang turun saat kemarau. Cericit anak burung di ujung dahan. Elang yang memangsa tikus juga tangis anak kecil di kesunyian. Sama saat kita memahami makna kesedihan dengan adegan yang serupa; hujan turun, cericit anak burung, elang pemangsa dan tangis anak kecil. Kemampuan memahami makna menjadi sangat sensitif, halus dan spesifik. Memang tidak semua kita mampu melakukan itu dengan baik. 

Tapi sekali lagi, Allah memberi waktu dan kesempatan pada kita untuk terus belajar dan memperbaiki kualitas diri kita. Seperti seorang anak yang terus bertanya. “Bunda, Mengapa suara tukang bakso sekarang jadi tok-tok-tok..?” Sebuah proses belajar yang terus berlanjut…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar