02 September 2011

Mem(re)posisikan Perempuan

[Perempuan, subjek kajian yang menarik dan membingungkan, telah “mencetak” banyak sarjana dan menghasilkan banyak sekali kucuran dana untuk LSM yang (katanya) peduli dengan permasalahan perempuan] 


SUDAH banyak disajikan bahwasan-nya menjadi perempuan adalah suatu hal yang sulit ditengah masyarakat patriarkal. Second sex, demikian sesuatu yang berlabel perempuan ini terkadang dikategorikan bahkan seringkali label ini mendapat legitimasi teologis yang membuat perempuan hanyalah sesuatu yang memang sudah ditakdirkan untuk hidup dibawah sesuatu, lakilaki. Sementara itu, feminisme dalam diskursus perempuan hanya dianggap (dengan sempit) sebagai suatu gerakan tentang apa yang “seharusnya” dilakukan dan bagaimana memahami realitas patologis akibat dominasi patriarki

Bagaimanapun juga, feminisme tidak selalu parallel dengan suatu kompleks bernama perempuan, terlebih jika menimbang perempuan sebagai kategori yang terbentuk dari sesuatu yang kompleks. Perempuan adalah suatu identitas yang terus menerus membentuk diri, tidak stabil dan selalu “menghindari” penanda tunggal. Dengan demikian feminisme tidak menjadi jalan eksklusif, tetapi menjadi suatu penanda yang (meminjam istilah Lacan) foating1. Feminisme tidak bisa menjadi semacam hak eksklusif sekelompok perempuan, ia “semestinya” menjadi penanda yang terus menerus diisi oleh “perempuanperempuan lain”: mereka yang paling sensitif dengan isu kekuasaan dan dominasi. Dalam sudut pandang ini perempuan memiliki makna yang arbitrer, yang tidak bisa begitu saja ditundukkan dalam satu pemaknaan tunggal karena ia akan selalu membelokkan dirinya dari Logos. Bukan berarti ia “tidak memiliki makna tunggal”, ia hanya menunda perjalanan menuju kemanunggalan makna. Karena penundaan inilah perempuan menjadi sesuatu yang terus menerus berproses dan kompleks. Artikulasi perlawanan yang diberikan perempuan dengan sangat beragam, menurut saya, layak dipertimbangkan dalam konteks semacam ini

Jika saja “kategori” feminisme dikangkangi hanya oleh sesuatu perempuan, ia akan membentuk lagi suatu lokus kuasa atas yang lain. Memang (seperti yang sekilas telah tersebut diatas) perempuan telah menanggung banyak sekali beban sebagai second sex. Ia diawasi karena normanorma bentukan kuasa tidak mengijinkannya “bebas” sebagaimana sesuatu lakilaki. Ia dihakimi karena normanorma bentukan ini telah membadan dalam setiap gerak langkah kita (“kuasa”). Bukankah sesuatu perempuan adalah sebuah konstruksi sosial (dan politis)? Bukankah menjadi sesuatu perempuan adalah sebuah “kutukan” kultural, sosial, dan politis?

Engels dalam Origin of The Family, Private Property and The State memaparkan secara historis “proses peminggiran” sesuatu perempuan ini2. Engels menulis buku ini berdasarkan atas penelitian Lewis H. Morgan yang berjudul Ancient Society. Pendekatan materialis Morgan menyoroti bahwa institusi pokok (keluarga, kepemilikan pribadi dan negara) dalam masyarakat tidak pernah eksis dalam kehidupan prasejarah. Ia melihat bahwa kehidupan prasejarah dibangun berdasarkan kepemilikan kolektif, kebebasan, dan kesetaraan bagi semua orang (termasuk kesetaraan seksual). Oleh Morgan hal ini disebutnya “komunisme primitif”

Buku ini mungkin akan sedikit banyak membuka pemahaman kita bagaimana “sebenarnya” perempuan itu. Ia tidak hanya manusia kelas dua, ia (juga pernah) memiliki kekuatan politik yang menentukan hidup-matinya suatu komunitas. Engels membeberkan bahwa secara historis sukusuku (kuno) memposisikan perempuan sebagai sesuatu yang suci yang dipercaya mengantarkan suku tersebut pada kejayaan. Dalam masyarakat purba, perempuanlah yang mengurusi sebagian besar urusan klan. Karena keanggotaan sebuah klan diwariskan melalui jalur perempuan, dimana anakanak tidaklah menjadi anggota klan ayahnya, melainkan ibunya. Dengan demikian seorang anak lakilaki berada dalam klan yang sama dengan saudara perempuannya dan sang ayah berada dalam klan yang berbeda dengan klan anakanak-nya. Dalam buku ini Engels menuliskan bahwa semua ini berubah pertama-tama dengan diperkenalkannya suatu bentuk sistem perkawinan berpasangan. Yang kemudian berdasarkan pembagian kerja, lakilaki bertugas mencari makanan dan menguasai alatalat kerja. Dengan penguasaan alatalat kerja inilah lakilaki kemudian memiliki sumber pangan baru: ternak, dan instrumen kerja baru: budak. Ketika sumber pangan dikuasai, secara proporsional kekayaannya meningkat. Meskipun kekayaannya meningkat, anakanak tidaklah mendapat warisan dari ayah, melainkan dari anggota garis keturunan ibu yang telah meninggal. Akan tetapi dengan meningkatnya kekaayaan, di satu sisi memberikan status yang lebih tinggi kepada lakilaki, disisi lain memberi dorongan untuk mengunakan posisinya untuk menggulingkan pewarisan tradisional lewat garis ibu (hal 61-62)

Dalam masyarakat beradab, terdapat (setidaknya) dua kelas sosial yang “bekerja”; kelas berpunya dan tidak. Kelas berpunya ini memonopoli “segalanya” melalui sistem kepemilikan pribadi yang kuasa pelaksanaannya dibantu oleh aparatus negara. Dalam pengantar buku ini, Evelyn Reed menyebutkan bahwa, “Karakterisasi dari masyarakat yang demikian ditunjukkan dengan adanya ketimpangan dalam segala bentuknya baik dalam bidang ekonomi, sosial, dan seksual. Supremasi kaum lakilaki dan inferioritas kaum perempuan merupakan gambaran utuh dari sistem kelas patriarki ini.” (hal: xi). Pembagian kerja pada akhirnya berdampak pada pembagian masyarakat ke dalam kelaskelas, dan sukusuku digantikan tempatnya oleh negara (hal.213). Pada dasarnya pembentukan keluarga inilah yang merupakan cikal-bakal lahirnya negara. Yang pada sudut pandang tertentu keluarga bisa dilihat sebagai miniature negara dan atau masyarakat

Akan tetapi dengan melulu melihat segalanya secara material, halhal simbolik justru tidak tertangkap. Perlawananperlawanan simbolik, modal simbolik, dan seterusnya yang memungkinkan untuk menjadi alat perlawanan, terabaikan. Di majalahmajalah seringkali dibahas (atau mungkin beberapa dari sidang pembaca --laki-laki-- pernah mengalaminya?) mengenai fake orgasm. Dalam pendapat saya, fake orgasm adalah sebuah alat perlawanan yang dimiliki perempuan. Tidak jelas bagaimana seorang perempuan mengalami orgasme atau tidak jika ia tidak memperlihatkannya. Pun ketika ia mengatakannya, tidak akan pernah jelas apakah itu sebuah kebenaran, karena ia sendiri yang merasakannya. (Dalam konteks hubungan dua orang) hal ini menjadi hubungan yang tidak seimbang meski tidak ternyatakan secara material. Bisa saja perempuan merasa telah “menaklukkan” laki-laki dengan cara tersebut diatas. Memang penaklukan ini tidak termaterialkan (dalam beberapa kasus). Apakah dengan demikian perselingkuhan bisa dikatakan sebagai kelanjutan “penaklukan” ini? Saya kira bisa saja demikian, namun ia tidak menyelesaikan apapun (dalam kasus ini). Demikian juga sebaliknya jika melihat hanya pada tataran simbolik, akan terjebak dengan cara yang naif. Semua hal dilihat sebagai sebuah perlawanan, dan mengabaikan kenyataankenyataan material. Yang akhirnya mengarah pada romance of resistance dalam pengertian yang sedikit berbeda dengan Lila Abu-Lughod. Yang saya maksudkan disini bukanlah sebuah perayaan posisi sebagai oposisi yang tidak sempat mendekonstruksi bahwa perlawanan bisa mereproduksi kekuasaan. Tapi, bahwa setiap hal yang terlihat sedikit berbeda dengan anggapan “normal” dianggap sebagai sebuah perlawanan. Seperti misalnya perempuan yang merokok di tempat umum, dianggap sebagai perlawanan pada normanorma “kenormalan” yang berlaku di masyarakat. Demikianlah kompleks yang bernama perempuan tidak bisa dijelaskan dengan mudah yang kemudian malah salah langkah dan menggampangkan persoalanpersoalan di dalamnya

*Keterangan tambahan:

  1. Ditempat lain Barthes (dan Derrida) memperlihatkan kengerian yang “sama” dengan “menyarankan” penyingkiran (bahkan penghapusan) signifed, dan kita harus puas hanya dengan signifer-pure signifer. Dalam Barthes hal ini melahirkan teori mitos, pada sisi lain ia melahirkan kritik ideologi. Lihat: St Sunardi, Semiotika Negativa, 2004
  2. Meski buku ini bisa dibaca dengan cara yang berbeda-beda oleh pembacanya, sedikit tidaknya dalam pembacaan saya ia memaparkan prosesi peminggiran sesuatu perempuan itu
  3. Artikel di atas saya salin dari Jurnal Amor Fati #2. Bebas untuk kalian baca, bajak, copy, print, dan sebarkan_ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar