05 September 2011

Kecepatan Cahaya menurut Mansour H. Elnaby

Setelah ditemukannya kecepatan cahaya, oleh salah satu ilmuwan modern yang paling dikenal. kembali lagi kita harus melihat kedalam Islam bahwa ada sesuatu itu lagi-lagi ditemukan telah ada dalam Al-Qur'an sejak yang turun 1400 tahun yang lalu. Dan sekali lagi kita akan berkata kenapa bukan Islam yang menemukannya lebih dulu.

SINODIK DAN SIDERIAL
Dalam menghitung gerakan benda langit, digunakan dua sistem yaitu Sinodik dan Siderial. Sistem Sinodik didasarkan pada gerakan semu Bulan dan Matahari dilihat dari Bumi. Sistem ini menjadi dasar perhitungan kalender Masehi di mana satu bulan = 29,53509 hari.

Sistem Siderial didasarkan pada gerakan relatif Bulan dan Matahari dilihat dari bintang jauh (pusat semesta). Sistem ini menjadi dasar perhitungan kalender Islam (Hijriah) di mana satu bulan = 27,321661 hari. Ahli-ahli astronomi selalu mendasarkan perhitungan gerak benda langit (mechanical of Celestial) kepada sistem Siderial karena dianggap lebih eksak dibandingkan sistem Sinodik yang mengandalkan penampakan semu dari Bumi.

SINYAL DARI AL-QUR'AN
Mengetahui besaran kecepatan cahaya adalah sesuatu yang sangat menarik bagi manusia. Sifat unik cahaya yang menurut Einstein adalah satu-satunya komponen alam yang tidak pernah berubah, membuat sebagian ilmuwan terobsesi untuk menghitung sendiri besaran kecepatan cahaya dari berbagai informasi .

Seorang ilmuwan matematika dan fisika dari Mesir, Dr. Mansour Hassab Elnaby merasa adanya sinyal-sinyal dari Alquran yang membuat ia tertarik untuk menghitung kecepatan cahaya, terutama berdasarkan data-data yang disajikan Alquran. Dalam bukunya yang berjudul A New Astronomical Quranic Method for The Determination of the Speed C, Mansour Hassab Elnaby menguraikan secara jelas dan sistematis tentang cara menghitung kecepatan cahaya berdasarkan redaksi ayat-ayat Alquran. Dalam menghitung kecepatan cahaya ini, Mansour menggunakan sistem yang lazim dipakai oleh ahli astronomi yaitu sistem Siderial.

Ada beberapa ayat Alquran yang menjadi rujukan Dr. Mansour Hassab Elnaby. Pertama, "Dialah (Allah) yang menciptakan Matahari bersinar dan Bulan bercahaya dan ditetapkannya tempat bagi perjalanan Bulan itu, agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan." (Q.S. Yunus ayat 5).

Kedua, "Dialah (Allah) yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing beredar dalam garis edarnya" (Q.S. Anbia ayat 33).

Ketiga, "Dia mengatur urusan dari langit ke Bumi, kemudian (urusan) itu kembali kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu" (Q.S. Sajdah ayat 5).

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jarak yang dicapai "sang urusan" selama satu hari adalah sama dengan jarak yang ditempuh
Bulan selama 1.000 tahun atau 12.000 bulan. Dalam bukunya, Dr. Mansour menyatakan bahwa "sang urusan" inilah yang diduga sebagai sesuatu "yang berkecepatan cahaya ".

HITUNGAN ALQURAN MENURUT DR MANSOUR
Dari ayat di atas dan menggunakan rumus sederhana tentang kecepatan, kita mendapatkan persamaan sebagai berikut:

C x t = 12.000 x L ...............(1)
C = kecepatan "sang urusan" atau kecepatan cahaya
t = kala rotasi Bumi = 24 x 3600 detik = 86164,0906 detik
L = jarak yang ditempuh Bulan dalam satu edar = V x T

Untuk menghitung L, kita perlu menghitung kecepatan Bulan. Jika kecepatan Bulan kita notasikan dengan V, maka kita peroleh persamaan:

V = (2 x x R) / T
R = jari-jari lintasan Bulan terhadap Bumi = 324264 km
T = kala Revolusi Bulan = 655,71986 jam, sehingga diperoleh
V = 3682,07 km / jam (sama dengan hasil yang diperoleh NASA)

Meski demikian, Einstein mengusulkan agar faktor gravitasi Matahari dieliminir terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang lebih eksak.

Menurut Einstein, gravitasi matahari membuat Bumi berputar sebesar :

a = Tm / Te x 360°
Tm = Kala edar Bulan = 27,321661 hari
Te = Kala edar Bumi = 365,25636 hari, didapat a= 26,92848°

Besarnya putaran ini harus dieliminasi sehingga didapat kecepatan eksak Bulan adalah

Ve= V cos a.

Jadi, L = ve x T, di mana T kala edar Bulan = 27,321661 hari = 655,71986 jam

Sehingga L = 3682,07 x cos 26,92848° x 655,71986 = 2152612,336257 km

Dari persamaan (1) kita mendapatkan bahwa C x t = 12.000 x L

Jadi, diperoleh C = 12.000 x 2152612,336257 km / 86164,0906 detik

C = 299.792,4998 km /detik


Hasil hitungan yang diperoleh oleh Dr. Mansour Hassab Elnaby ternyata sangat mirip dengan hasil hitungan lembaga lain yang menggunakan peralatan sangat canggih. Berikut hasilnya :

Hasil hitung Dr. Mansour Hassab Elnaby C = 299.792,4998 km/detik

Hasil hitung US National Bureau of Standard C = 299.792,4601 km/ detik

Hasil hitung British National Physical Labs C = 299.792,4598 km/detik

Hasil hitung General Conf on Measures C = 299.792,458 km/detik

Hasil ini menunjukkan beberapa hal, yaitu

Umat Islam bisa menggali semua potensi keilmuan sains tanpa meninggalkan Al-Qur'an (Sains bisa dicari dari Al-Qur'an)

Al-Qur'an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang luarbiasa. Al-Qur'an dengan segala keajaiban sastra, sains, ketepatan sejarah dan kehebatan dari segala disiplin ilmu yang memandangnya, memang merupakan mukjizat paling nyata, dahsyat dan tiada duanya. Suatu Mu'jizat yang berfungsi menyeru manusia untuk kembali mengingat Allah dan kembali pada ajaran-Nya.

Terlepas dari benar atau tidaknya ijtihad seorang ulama diatas, Al-Qur'an yang tidak pernah mengikuti zaman tetap tidak ketinggalan zaman.

Al-Qur'an tidak pernah memakai istilah buatan manusia seperti kilometer, gram, inchi, tak pernah juga menyebutkan waktu dzuhur itu jam 12, (karena itu merupakan kesepakatan yang tidak ada di semua zaman) melainkan menggunakan istilah seperti hasta (walaupun ukuran ini relatif menurut ilmu), dan menggunakan istilah tergelincirnya matahari karena ukuran ini lebih jelas dan tetap nilainya sepanjang zaman karena tidak terpengaruh oleh kesepakatan internasional yang muncul kemudian.

Nur atau cahaya itu ialah sesuatu yang menyebabkan kita nampak dengan jelas akan sesuatu. Baik dengan mata kepala kita atau mata hati. Ia adalah perlu untuk kehidupan manusia terutama dalam kehidupan yang berhubung dengan agama dan penerimaan petunjuk atau hidayah daripada Allah s.w.t.

Firman Allah :
" Allah ( pemberi ) cahaya ( kepada ) langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya adalah seperti sebuah lubang besar yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita. Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang ( yang bercahaya ) seperti mutiara yang dinyalakan dari pohon yang banyak berkahnya, ( yaitu ) pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah Timur ( sesuatu ) dan tidak ( pula ) tumbuh di sebelah Barat. Yang minyaknya ( saja ) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya ( berlapis-lapis ), Allah membimbing kepada cahayaNya siapa yang dikehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." ( Surah An Nur Ayat 35 )

Nur terbagi jadi dua,yaitu:

  1. Nur Lahir (Hissi) yaitu cahaya menolong kita melihat sesuatu dengan mata kepala kita seperti cahaya sinaran matahari yang memberi kita cahaya terang dikala siang. 
  2. Nur Batin (Ma’nawi) yaitu cahaya monologi kita melihat dengan mata hati terhadap sesuatu yang ghaib atau memahami sesuatu hakikat atau pengertian. 

Nur Batin ini terbagi pula jadi 8 jenis, yaitu:
  1. Nur Al-Iman : Cahaya keimanan iaiti cahaya sejati yang dapat menembusi segala kegelapan dimana akan ternyata keagungan dan keesaan Allah s.w.t menyinari hati insan. 
  2. Nur Al-Qalb : Cahaya hati yaitu cahaya yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya daripada nur Al-Iman. 
  3. Nur Ar-Ruh : Cahaya Ruh (jiwa) yaitu cahaya yang diperoleh dengan sebab kepatuhan yang sungguh-sungguh kepada Allah dan menyucikan pribadi dari perlakuan liar yang merugikan sehingga ruhnya dapat berhubung dengan alam malaikat. 
  4. Nur An-Nafs : Cahaya pribadi yang wujud dengan sempurna berikutan dengan memperoleh sinaran dari pada Nur Ar-Ruh. 
  5. Nur As-Sirr : Cahaya rahasia yang diperoleh dengan mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan yang diikuti dengan hubungan kepada Maha Pencipta tanpa selainNya sehingga dapat menyaksikan keajaiban kebesaran Ilahi di Alam Malakut dan Alam Mulk dan Syahada. 
  6. Nur Al-Aql : Cahaya akal yang wujud dengan sempurna dengan memperoleh sinaran cahaya daripada Nur As-Sirr. 
  7. Nur Al-Qur’an : Cahaya Qur’an yang merupakan Nur Allah s.w.t. yang berhubung rapat dengan DzatNya Yang Maha Tinggi. Hakikat Nur ini adalah diserahkan kepada Allah.Cuma diketahui bahwa nur inilah yang menimbulkan Nur As-Sirr dan nur yang lain. 
  8. Nur Al-kasyaf: Cahaya penyingkapan yaitu Nur Al-Qur’an yang merupakan nur yang paling tinggi dan memberi kesan yang istimewa. Nur ini dapat menggilapkan cermin hati para insan dengan membaca ayat-ayat suci,dzikrullah (takbir,tahmid,tasbih,taqdis dan lain-lain); juga dengan memakan makanan yang halal, berlaku ikhlas, berpuasa meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Alloh SWT , sentiasa membersihkan diri dan pribadi dengan mengekalkan wudhu’ dan menjaga segala waktu untuk ketaatan dan berbakti kepada Allah s.w.t. 
Allah berfirman:
"Wahai manusia,sungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari tuhanmu (nabi Muhammad dan mujizatnya); dan kami telah menurunkan kepadamu satu cahaya (Al-Qur’an) yang terang benderang." ( Surah An-Nisaa’ Ayat 174 )

Menurut golongan Sufi bahwa nur ini memungkinkan mengangkat pandangan kepada ‘Arasy dan Kursi dan menyaksikan segala nur-nur yang indah hingga terbuka segala rahasia-rahasia alam dan bermacam-macam rupa alam ghaib

Nur inilah yang menyelubungi peribadi Nabi Muhammad s.a.w sehingga beliau dapat memandang atau mengetahui sesuatu dengan izin Allah. Dikala beliau pulang dari pengembaraan Isra’ dan mi’raj, orang-orang kafir mengerumuni beliau bagi menguji kebenaran pelajarannya.

Mereka menanyakan sifat-sifat masjid Al-Aqsa dengan detail;tetapi pertanyaan itu dapat dijawab oleh nabi dengan tepat sehingga segolongan manusia merasa heran dan kagum lalu mempercayai kebenaran nabi s.a.w.

Nur inilah yang membukakan pandangan kepada Khalifah Umar b.Al-Khattaab yang berada di kota Madinah dapat melihat daerah Nahawand dan melihat panglima dan tentara-tentara Islam yang sedang berjuang menyerang tentara-tentara Persi dibawah raja Yazdajird III dimana beliau mengeluarkan perintah menggempur musuh dengan hebat.

Suara umar didengar pula oleh panglima Hudzaifah Al-Yaman sehingga beliau berjaya menumpaskan mereka.
Pada suatu masa ditanyakan Rasulullah s.a.w. dengan pertanyaan: "Apakah Nur itu?"
Beliau menjawab: "Apabila nur itu memasuki hati maka lega dan lapanglah hati itu."
Kemudian ditanyakan lagi: "Bagaimanakah tandanya?"

Sabda Rasulullah SAW:
"Hati itu tidak lupakan perkembaliannya ke Darul Khuld (negeri Akhirat) Dia tidaklah bermasyghul (terlena) dengan keduniaan karena dunia ini adalah tempat permainan (dan Percobaan).Hati itu selalu mengingati kematian sebelum tibanya kematian itu".

Abdullah b. Mas’ud pernah berkata: "Ilmu itu diperoleh bukanlah karena semata-mata banyak riwayat (sumber biasa), tetapi dia hanya diperoleh dengan nur yang disampaikan Allah ke dalam hati seseorang.

Firman Allah :
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mahu menerima petunjuk."( Surah al-Qashash Ayat 56 )

Kunci pengenalan kepada Allah adalah mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri itu penting. Sebab, tidak ada sesuatu yang lebih dekat dengan diri kita selain kita sendiri. Di sini yang menjadi pertanyaan apakah benar kita sudah mengenal diri kita sendiri?

Al-‘aarif billah adalah orang yang sudah mencapai tingkatan mengenal Allah. Orang seperti ini mengabdi kepada Allah bukan karena takut neraka maupun mempunyai pamrih terhadap surga. Tapi apa yang ia lakukan semata-mata karena kecintaan kepada Allah dan ia ingin memandangNya kelak di hari kiamat.

Kunci pengenalan kepada Allah adalah mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri itu penting. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih dekat dengan diri kita selain kita sendiri. Di sini yang menjadi pertanyaan apakah benar kita sudah mengenal diri kita sendiri?

Kalau seseorang mengatakan, “Aku telah mengenal diriku.” Maka, sebenarnya ia hanyalah mengenal fisiknya seperti; badan, tangan, kaki dan kepala. Orang tersebut tidaklah mengenal apa yang ada dalam batinnya, yaitu sesuatu yang menyebabkan dirinya tahu segala hal yang ada di balik seluruh keinginannya.

Kebanyakan manusia, biasanya bila sedang marah akan mencari musuh. Bila bernafsu ia akan memperturutkan syahwatnya. Bila merasa lapar, dia ingin makan. Dan bila haus ia akan mencari minum. Dalam kondisi seperti itu antara manusia dan binatang adalah sama. Tidak ada bedanya satu sama.Semua memiliki kecenderungan seperti itu.

Di dalam diri manusia terkumpul berbagai macam karakter, mulai yang halus hingga kasar, yang cenderung bersifat kebinatangan hingga malaikat.

Ruh adalah faktor mendasar bagi manusia. Selain ruh semuanya adalah asing dan sekedar pinjaman, yang selesai apabila kebutuhan makan, minum, tidur dan bersenggama terpenuhi. Manusia yang menjiwai sifat ini maka seluruh aktifitasnya hanya dipusatkan pada urusan perut dan kelamin. Manusia yang demikian ini tidak akan peduli apakah dalam memenuhi kebutuhannya merugikan orang lain atau tidak.

Kebahagiaan malaikat terletak pada musyahadah (persaksian) kepada keindahan hadirat ketuhanan. Tak ada jalan bagi angkara murka dan hawa nafsu untuk mencapai mereka. Kalau engkau termasuk unsur malaikat, maka bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asalmu. Sehingga engkau mengenal jalan menuju ke hadirat ketuhanan, mencapai tingkat musyahadah terhadap keindahan, melepaskan dirimu dari belenggu nafsu dan angkara murka.

Karakter-karakter itu diciptakan Allah bukan untuk menjadikanmu sebagai tawanannya. Tapi, Allah menciptakannya untuk menjadikan kita mampu mengendalikan perjalanan yang ada di depan kita. Salah satunya kita bisa menjadikan kendaraan, yang lain sebagai senjata, sehingga kita dapat memburu kebahagiaan yang ingin kita peroleh. Jika engkau telah sampai tujuanmu, kau dapat mempertahankannya, maka pergilah ke tempat kebahagiaanmu itu. Tempat itu adalah kediaaman khusus orang-orang yang mencapai hadirat ketuhanan. Sedangkan tempat menetap orang-orang awam adalah tingkat-tingkat surga.

Jika engkau ingin mengenal dirimu, maka ketahuilah bahwa diri manusia terdiri atas dua hal : pertama hati, kedua apa yang dinamakan jiwa atau ruh. Hati dalam bahasa Arab qalb, yang dimaksud adalah pengertian maknawi, seperti kalimat fii quluubihim maradh, (dalam hati mereka ada penyakit). Secara bahasa, qalb berarti mudah berbolak balik. Dalam sebuah hadis dikisahkan Nabi SAW. bersabda, “Dalam diri manusia, terdapat sebuah bagian, jika bagian itu baik, maka baiklah manusia itu. Jika bagian itu tidak baik, maka buruklah orang itu. Bagian terpenting itu adalah qalb (hati).”

Ini berarti hati merupakan bagian terpenting dari diri manusia yang mudah berbolak-balik karena terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya. Jiwa adalah hati yang engkau kenal dengan mata hati dan merupakan hakikat yang dalam. Sementara jasad, menurut Imam Al-Ghazali adalah permulaan dan dia lah yang terakhir, sedang jiwa adalah akhir dan dialah yang pertama dan disebut hati (jantung). Tapi hati ini bukan sepotong daging yang ada di rongga dada sebelah kirimu. Kalau hanya itu, binatang dan mayat pun memilikinya.

Segala yang engkau lihat dengan mata lahir termasuk alam ini, disebut alam syahadah (dunia yang bisa dilihat). Sedang hakekat hati bukanlah dari alam syahadah ini, tetapi bagian dari alam ghaib. Di alam ini hati adalah asing. Dan ‘potongan daging’ itu adalah kendaraannya. Sedang semua anggota badan merupakan bala tentara atau prajuritnya.

Nyawa (ruh) hewani apapun juga, mengikuti dan mengiringinya. Dan, mengetahui hakikatnya serta mengenal sifat-sifatnya merupakan kunci bagi pengenalan kepada Allah SWT. Oleh karenanya manusia harus melakukanmujahadah (berjuang) sehingga dapat mengenalinya. Sebab ia merupakan unsur mulia dari anasir malaikat dan sumber asalnya adalah hadirat ketuhanan. Dari tempat itu dia datang dan ke tempat itulah dia kembali. Allah SWT. berfirman “ Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah ruh itu adalah urusan Tuhanku.” (QS. Al Isra : 85). Sebab ruh merupakan bagian keseluruhan kekuasaan Ilahi dan termasuk ‘aalamul amri’ (kawasan wewenang Allah), sebagaimana dalam firmannya yang lain, “ingatlah penciptaan dan wewenang hak Allah.” (QS. Al A’raaf : 54).

Jadi Manusia itu di satu sisi termasuk alam penciptaan (aalamul khalaqi), dan di sisi lain alam wewenang (‘aalamul amri). Segala sesuatu yang menerima pensifatan, jarak dan ukuran adalah termasuk alam penciptaan. Sedang untuk hati tidak ada jarak dan ukuran. Karena itu ia tidak menerima pembagian (tidak bisa dibagi). Jika bisa dibagi, niscaya ia termasuk dalam alam penciptaan dan bisa dikatakan bodoh dari segala ketidaktahuan dan pandai dari pengetahuan. Dalam pengertian lain, hati adalah termasuk alam wewenang, karena alam wewenang merupakan sesuatu yang tidak menerima ukuran jarak.

Sementara orang beranggapan bahwa ruh itu adalah sesuatu yang qadim (dahulu). Golongan lain berpendapat bahwa ruh itu merupakan gejala (‘aradh). Ad-Dahlawy dalam kitabnya Al-Hujjah, mengatakan, “Ketahuilah bahwa ruh yang kali pertama dapat diketahui adalah bahwa dia itu merupakan asal kehidupan binatang. Bahwa binatang itu hidup dengan adanya hembusan ruh ke dalam dirinya dan mati bila ruh meninggalkannya. Kemudian dalam pengamatan yang lebih cermat akan tampaklah semacam uap lembut yang muncul dalam hati, terdiri dari sari campuran yang membawa kekuatan perasa, penggerak dan pengatur. Kekuatan yang sensitif ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tipis dan tebalnya “uap” tersebut serta bening keruhnya. Perumpamaan “uap” ini pada tubuh, seperti sari mawar pada air mawar atau seperti bara api dalam arang.” Ruh adalah asal manusia, sedang raga manusia mengikutinya, bagaimana ia dikatakan sebagai gejala? Dan, ruh bukan pula jisim (benda fisik). Sebab jisim dapat dibagi. Ruh yang menjadi hati dan menjadi tempat ma’rifatullah, bukanlah jisim dan bukan pula gejala. Tetapi, termasuk jenis malaikat . Mengenal ruh sungguh sangat sulit. Ruh adalah energi suci yang berhubungan dengan zat kimiawi semacam “uap” tadi. Ad-Dahlawy akhirnya menyebut nasamah (nafas nyawa). Beliau berkata, “Nasamah menumpang pada badan,….dengan nurani yang bersih, bahwa mati adalah lepasnyanasamah dari jasad untuk menghentikan nasamah itu. Setelah manusia mati, nasamah mempunyai kebangkitan lain yang materinya bersumber pada kehidupan barzakh (kebangkitan setelah mati). Dan, nasamah ini “berpakaian” nurani atau kepekatan, tergantung pada amal perbuatan manusia dalam hidupnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar