05 September 2011

Indonesia tanah airku, Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami

“Indonesia tanah airku…tanah tumpah darahku…disanalah aku berdiri… jadi pandu ibuku…”. Suara pekikan sekitar 1000-an orang membahana di loket parkir utara Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), sekitar pukul 4 subuh ketika saya dan seorang kawan sedang mengantri tiket untuk menyaksikan tim Garuda beraksi di Final AFF Suzuki Cup 2010.

Penggalan syair tersebut secara ajaib mampu menenangkan emosi para pengantri yang saat itu, lantaran saling dorong dan serobot demi meraih 5 carik kertas Pre-Ticket. Penggalan syair yang sama, empat tahun yang lalu, juga dikumandangkan oleh 90.000 atau bahkan hampir 200 juta penduduk Tanah Air ketika menyaksikan timnas Garuda menekuk Bahrain dengan permainan indah. Dua peristiwa di atas setidaknya memperlihatkan kepada saya bahwa di tengah-tengah kondisi perpolitikan bangsa yang penuh dengan carut-marut retorika belaka, di tengah kondisi ekonomi mikro yang “mencekik” leher rakyat, di tengah ke-skeptis-an sebagian besar masyarakat negeri ini akan negerinya, ternyata masih ada potret kecil orang-orang yang masih punya hati untuk negeri ini, terlepas dari kecilnya scoop

olahraga khususnya sepakbola maupun mereka yang “latah” melihat wajah tampan Irfan Bachdim maupun Cristian Gonzalez saat itu.

Sepulang dari stadion dan turnamen telah berakhir, saya pun kembali merenung, “Apakah semangat nasionalisme rakyat Indonesia hanya bisa dibangkitkan pada sebuah turnamen sepakbola saja? Alangkah luar biasa bila semangat serupa bisa dibangkitkan dalam kehidupan sehari-hari dan berdampak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara!”.

Superfisial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘nasionalisme’ berarti: 1) Paham/ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; 2) Sebuah kesadaran sebagai anggota yang terikat dari satu bangsa. Dari definisi di atas, saya dapat menyimpulkan tolak ukur seseorang disebut nasionalis atau tidak dapat dilihat dari apakah setiap tindakan, pola pikir, dan determinasi seseorang menunjukkan ia mencintai dan bangga akan tanah airnya dan bukan demi keuntungan diri/kelompok. Bicara nasionalisme, khususnya dalam konteks kehidupan Mahasiswa yang (katanya) selangkah lebih dekat menuju dunia pekerjaan yang tentunya mempengaruhi hidup banyak orang, apakah ciri-ciri nasionalisme begitu “merasuk” ke dalam tindakan hingga pola pikir Mahasiswa Indonesia saat ini? Tentunya saya tidak dapat menjawab secara keseluruhan kondisi setiap kampus di Indonesia, tetapi inilah hasil pengamatan yang saya lakukan di kampus saya sendiri. Nasionalisme di kampus tempat saya menuntut ilmu sangat superfisial, hanya sampai di permukaan luar saja. Nasionalisme dilakukan jika itu berkaitan dengan suatu tren/mode yang dianggap dapat menunjang eksistensi diri saat itu. Jika tidak, hanya segelintir orang yang bangga akan hal tersebut. Terlihat jelas, bahwa nasionalisme hanya menjadi suatu instrument/embel-embel untuk membuat diri terlihat keren dan diterima di dalam pergaulan, agar terkenal di kalangan teman-teman kampus sebagai sang nasionalis (?), sedangkan ketika masuk ke dalam topic pembicaraan mengenai permasalahan Negara, alih-alih memberikan solusi. Orang-orang seperti ini hanya akan menjadi kalangan (sok) pintar yang hanya bsa mengkritik dan mencemooh tanpa menjadi bagian dari solusi bagi bangsa ini. Contoh paling nyata terlihat pada saat gelaran AFF Cup tadi. Banyak mahasiswa di kampus saya berlomba-lomba seolah-olah merekalah orang paling nasionalis di negeri ini dengan segala atribut timnas Garuda. Sayangnya itu tidak sampai merubah gaya hidup mereka, yang tetap membolos kuliah, melanggar rambu lalu lintas, mengkopi data dan lain sebagainya. Atau seperti gerakan Pray For Indonesia yang mendadak heboh ketika terjadi bencana alam di Wasior, Mentawai, dan Merapi, dimana para Facebookers menjadi “latah” dan mengganti Profile Picturenya dengan icon gerakan tersebut, tetapi sampai hari ini saya tidak melihat ada tindak lanjut konkrit dari gerakan dan orang-orang yang ber-ProfilePicture-kan Pray For Indonesia.

Skeptis-Pragmatis
Problem kedua adalah Mahasiswa yang skeptis dan apatis terhadap Negara. Memang kita tidak bisa memungkiri andil pemerintah yang turut “mensukseskan” hal ini. Ketika pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang apatis terhadap rakyat, maka konsekuensi logisnya adalah rakyat tidak peduli akan pemerintah dan bahkan Negara. Mahasiswa skeptis pada akhirnya akan berpikir “Yang penting saya hidup aman dan sejahtera, tidak peduli kepentingan orang banyak/Negara dirugikan”. Bukan tidak mungkin dari mahasiswa seperti ini, akan lahir banyak Gayus Tambunan baru bukan? Godaan keegoisan dan “main aman” menjadi pilihan yang rasional di tengah zaman yang pragmatis sekarang ini, di saat semua orang hanya berpikir “yang-penting-untung” hanya segelintir orang yang punya kesadaran untuk memberi dampak positif bagi sesama dan masyarakat.

Transformasi Negara adalah buah hasil doa dan kontribusi konkrit anak-anak bangsa yang mau keluar dari zona nyaman keegoisan diri dan rindu bangsa ini boleh mensejahterakan kehidupan rakyatnya. Ya! Teladan doa dan aksi nyata! Jika itu terjadi, saya percaya, akan muncul banyak Irfan Bachdim dan Christian Gonzalez yang bersedia meninggalkan peluang hidup nyaman karena kesadaran akan rencana Tuhan menempatkan mereka di sebuah Negara bernama “INDONESIA”. Bagimu negeri, jiwa raga kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar