06 Oktober 2011

Alangkah Lucunya (Negeri Ini) – Sebuah Resensi


Satu lagi film Indonesia berkualitas muncul pada tahun ini. Setelah berbagai film-film sebelumnya, seperti Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan lain-lain (tidak termasuk film pocong-pocongan lho yah…), pada bulan April tahun 2010, sebuah film yang mengangkat kondisi nyata anak Indonesia sehari-hari.

Film ini dimulai dengan menggambarkan seorang anak muda, lulusan S1 Managemen yang bernama Muluk.

Muluk, sebagai seorang yang baru saja lulus kuliah, tentu saja berupaya untuk mencari kerja. Dengan berbekal ijazah yang dimiliki serta surat kabar yang memuat berbagai lowongan kerja, dia keluar masuk berbagai perusahaan untuk melamar. Namun, semua lamaran tersebut tidak membuahkan hasil. Malah, di sebuah perusahaan, pengetahuan manajemen yang dimilikinya dinyatakan tidak berguna karena pimpinan perusahaan tersebut sudah mencoba segala jenis manajemen, mulai manajemen China, hingga manajemen Arab namun tidak berhasil menyelamatkan perusahaannya. Juga pada saat melamar di perusahaan lain dan ditawarkan untuk menjadi TKI, sebuah bayangan hukum cambuk TKI di Malaysia segera menghinggapi pikiran Muluk yang langsung ditolak mentah-mentah.

Di sisi lain, ayah Muluk yang bernama Pak Makbul berdebat serius dengan Haji Sarbini yang merupakan calon besannya mengenai apakah pendidikan itu penting atau tidak. Keduanya terus saja berdebat tentang hal tersebut walaupun berusaha dilerai oleh Haji Rahmat, seorang tetua dalam bidang agama Islam di daerah tersebut. Perdebatan itu selalu mengarah bahwa pendidikan tidak penting ada keluarga dan kenalan Haji Sarbini yang bekerja walaupun tidak mengenyam pendidikan, bahkan mencontohkan Muluk yang sudah sarjana namun tidak juga bekerja.

Muluk, yang terus berkeliling mencari kerja akhirnya melihat sekelompok anak yang melakukan aksi copet di sebuah pasar. Dengan geram Muluk meringkus anak tersebut dan mengancam melaporkannya kepada polisi. Sebuah pernyataan keluar dari Muluk saat itu, yaitu “Mengapa mencopet, kalau butuh khan tinggal minta’” yang dijawab dengan ringan oleh pencopet bernama Komet dengan “saya pencopet, bukan peminta-minta.”

Jawaban yang mengagetkan ini menyebabkan Muluk tidak dapat berkata-kata dan melepaskan Komet, dan inilah yang menjadi awal pertemuan dan perkenalan mereka.

Beberapa waktu kemudian, di sebuah warung, terjadi pertemuan yang tidak disengaja antara Muluk dan Komet. Komet akhirnya membawa Muluk ke markasnya dan memperkenalkan dengan Jarot yang menjadi pemimpin para pencopet.

Perkenalan Muluk dan Jarot menghasilkan kesepakatan bahwa Muluk akan bekerja bersama para pencopet tersebut untuk mempraktekkan ilmu manajemen yang dimiliki dengan mengelola keuangan mereka. Ini ditawarkan oleh Muluk dengan imbalan 10% dari hasil copet mereka. Tujuan Muluk adalah agar hasil copet mereka dapat dikelola secara profesional dan akhirnya dapat dijadikan sebagai modal usaha agar tidak perlu menjadi pencopet lagi.

Hari berikutnya, Jarot sebagai pimpinan pencopet memperkenalkan Muluk kepada seluruh anggota timnya dan menjelaskan kelompok dan metode kerja mereka.

Secara umum, kelompok pencopet ini dibagi menjadi 3, yaitu kelompok mall yang terdiri atas pencopet yang berpakaian paling bagus dan “gaul”, kelompok pasar yang berpakaian paling kumal, dan kelompok angkot yang berpakaian sekolah. Setiap kelompok memiliki pemimpin dan metode kerja sendiri-sendiri.

Banyak terjadi dialog yang cukup “segar” pada momen ini dan kita sebagai penonton juga dapat menyaksikan pola dan cara-cara pencopet ini melaksanakan aksinya.

Setelah beberapa lama, Muluk beranggapan bahwa anak-anak ini juga butuh pendidikan, dan untuk mengajar mereka, Muluk meminta bantuan Samsul, seorang Sarjana Pendidikan pengangguran yang sehari-hari hanya bermain kartu saja.

Awal Samsul mengajar juga banyak menampilkan hal-hal yang menggelikan sekaligus memprihatinkan. Anak-anak pencopet ini sama sekali belum pernah tersentuh oleh pendidikan sebelumnya. Bahkan, karena tidak dapat membaca, salah seorang diantara mereka pernah lari ke kantor polisi saat dikejar massa karena tidak mampu membaca. Selain itu, Samsul mengalami kesulitan saat menjelaskan mengapa mereka sampai membutuhkan pendidikan, bahkan anak-anak ini menjadi bersemangat setelah mengetahui salah satu ciri-ciri koruptor adalah berpendidikan dan menjadikan koruptor sebagai cita-cita mereka

Sebuah permasalahan kecil terjadi saat ayah Muluk bertanya mengenai pekerjaannya. Dengan terpaksa Muluk menjawab bahwa pekerjaannya adalah di bagian Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Beberapa waktu kemudian, Haji Rahmat meminta Muluk agar dapat mempekerjakan anaknya, Pipit, karena sehari-hari Pipit hanya mengurusi kuis-kuis di televisi dan mengirim undian berhadiah kemana-mana. Muluk-pun menyanggupi hal tersebut dan mengajak Pipit untuk mengajar agama bagi anak-anak pencopet.

Lagi-lagi banyak adegan yang lucu disini dan silakan disaksikan sendiri

Akhirnya, permasalahan tiba. Pak Makbul ayah Muluk, Haji Rahmat ayah Pipit, dan Haji Sarbini calon mertua Muluk bersikeras hendak melihat tempat kerja Pipit, Muluk dan Samsul. Mereka amat terkejut sewaktu mengetahui bahwa anak-anak mereka rupanya bekerja untuk para pencopet dan yang lebih menyakitkan hati mereka, bahwa makanan yang selama ini mereka makan berasal dari uang hasil copet

Pertentangan batin yang hebat segera terjadi di hati mereka yang juga mempengaruhi Muluk, Pipit, dan Samsul. Hal ini menyebabkan ketiganya berhenti mengajar anak-anak tersebut. Disinilah ritme film ini mulai terasa berat dan menyesakkan dada.

Pilihan yang amat berat yaitu mengajar anak-anak pencopet itu agar dapat mandiri dan meninggalkan dunia copet mereka namun memperoleh uang hasil copet yang haram, atau meninggalkan mereka dan tidak berbuat apa-apa.

Berhasilkah mereka mengubah anak-anak pencopet ini menjadi pedagang asongan ? Dan bagaimana dengan ancaman Satpol PP yang justru mengejar-ngejar pedagang asongan ?

Silakan saksikan sendiri film ini…

Catatan saya:
  1. Film ini berhasil mengangkat permasalahan mendasar bangsa ini dengan mengedepankan konflik batin yang terjadi, yaitu pendidikan dan kemiskinan 
  2. Pertanyaan masalah halal dan haram juga jadi sangat mendasar setelah melihat kenyataan yang terpampang, apakah boleh menerima uang haram dari hasil yang halal dan bertujuan baik ? Sedangkan kalau tidak diterima, maka orang tersebut tidak akan dapat hidup dan tidak memperoleh penghasilan ? Apabila tidak dikerjakan, maka tidak akan ada perbaikan moral dan pendidikan yang terjadi. Pertanyaan ini masih menjadi PR sampai film ini selesai 
  3. Pemeran anak-anak pencopet sebagian diperankan oleh anak-anak jalanan asli, sama seperti pemeran laskar pelangi yang dilakukan oleh anak Belitong asli. Namun seni peran mereka tidak kalah oleh anak-anak yang berasal dari sekolah seni. 
  4. Dedi Mizwar telah berhasil meramu film yang penuh dengan komedi dan pesan-pesan moral secara apik untuk ditampilakn di depan kita semua. Mudah-mudahan pemimpin kita bisa melihat film ini dan mengambil hikmah serta melaksanakan tindakan nyata untuk mengatasi permasalahan yang ada. 
  5. Gambar saya peroleh dari internet, dan seluruh foto adalah produksi: Amiruddin/Citra Sinema 
  6. Sebagai catatan akhir, saya merekomendasikan seluruh pembaca untuk menyaksikan film ini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar