30 Oktober 2011

Perang Malawan Korupsi


Korupsi adalah sebuah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya kelompoknya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Seorang korupsi karena untuk memperkaya diri, artinya mereka yang melakukan korupsi adalah mereka yang takut miskin, oleh karena memiskinkan koruptor adalah sebuah hukuman yang sangat berat yang harus diterima dan dijalani oleh seorang koruptor.

Tindakan korupsi terkadang diakibatkan oleh lingkungan keluarga yang terlalu menuntut kekayaan yang berlebihan, pemakluman dan pemaafan masyarakat yang sangat tinggi pada koruptor. “Pembenaran” tindakan korupsi oleh masyarakat salah satunya dengan memberikan apresiasi yang tinggi pada mereka yang jelas jelas korupsi tetapi mampu mempertahankan kekayaannya. Sebut saja nama caleg yang tetap dicontreng pada pemilu legislative 2009 lalu meski yang bersangkutan jelas jelas telah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, seorang pesakitan kasus korupsi pun tetap dipercaya masyarakat untuk memimpin organisasi public persepakbolaan dan perkoperasian Indonesia.

Hukuman social harus dipertimbangkan dan dipikirkan untuk dikembangkan menjadi alat pembangkit phobia korupsi di masyarakat

Perang Malawan Korupsi
Dalam konsepsi perang melawan korupsi, maka benar pernyataan Muhamadiyah bahwa hukuman mati setuju diberlakukan untuk kasus korupsi. Dengan persetujuan hukuman mati untuk koruptor, maka ini berarti darah seorang koruptor adalah halal.

Darah seorang musuh jelas halal kecuali musuh yang sudah menyerah haram hukumnya dibunuh. Bagi mereka yang tidak menyerah, maka disamping darahnya halal, hartanyapun sah untuk dirampas sebagai harta rampasan perang.

Harta musuh yang telah ditaklukkan adalah harta rampasan perang yang boleh digunakan untuk logistik perang maupun perbaikan wilayah perang atau wilayah pendudukan baru. Dalam konsepsi perang melawan korupsi yang telah dicanangkan oleh pemerintah, maka harta rampasan perang melawan korupsi selayaknya dan sepantasnya dikelola oleh Negara.

Hilangnya Kepercayaan Pada Birokrat dan Aparat
Yang menjadi pertanyaan untuk Indonesia sekarang adalah ketika pelaku korupsi adalah aparat penegak hukum, birokrasi dan politisi. pada siapa harta rampasan ini harus diberikan. pengelola pemerintah sudah tidak kredibel di mata rakyat, sementara pengelola rampasan perang sangat diharapkan adalah mereka yang amanah.

Dalam semangat demokrasi, yaitu dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat, maka lembaga rakyat adalah pilihan yang paling tepat dalam rangka perang melawan koruptor.

Lembaga rakyat anti korupsi ini merupakan satuan tugas yang dibentuk oleh rakyat dalam rangka melakukan (1) investigasi koruptor, (2) pengadilan rakyat yang memutuskan hukuman bagi koruptor dan (3) pengelola rampasan harta koruptor.

Dalam semangat UUD 45 pasal 34 ayat (1) Fakir miskin dan anak anak terlantar dipelihara oleh Negara, maka pengelola rampasan koruptor harus melaksanakan segala usaha untuk mensejahterakan fakir miskin dan anak anak terlantar.

Pembuktian terbalik dan penetapan hukuman rakyat ádalah langkah awal
Memperjuangkan aturan pembuktian terbalik dalam penangananan perkara korupsi akan Sangay efektif dalam pemberantasan korupsi. Sisi lain yang sangat menarik adalah pemberlakuan uu 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik tertanggal 1 mei 2010 yang akan datang, maka masyarakat berhak mendapatkan segala informasi tetang organisasi Publik yang salah satunya adalah mempertanyakan hal hal yang ditengarai terkait korupsi pada lembaga Publio tersebut.

Hukuman rakyat atau hukuman sosial masyarakat dapat pula dikembangkan dengan sebuah konsensus bersama masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang sederhana seminal bahwa sepakat seluruh desa di Indonesia tidak bersedia menerima korruptor untuk tinggal di desa. Hukuman semacam ini dulu pernah digunakan oleh masyarakat desa yaitu mengusir warga desa yang telah melakukan pelanggaran adat dan moral yang dijunjung tinggi di desa tersebut.

Ini akan menjadi luar biasa bila kemudian menjadi sebuah kesepakatan lebih lanjut untuk tidak mengijinkan anak seorang koruptor berkarier di birokrasi dan politik.

Saatnya kita menghidupkan kembali peradilan desa dan hukuman rakyat pada koruptor, saatnya Indonesia belajar dari desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar