30 Oktober 2011

Reinterpretasi Pancasila dan Reposisi Islam


Segala potensi manusia adalah manifestasi Tuhan yang Maha Mengetahui dan Maha Pencipta. Sifat Tuhan yang pertama itu ditemukan manusia dalam bentuk bahasa. Bahasa adalah sarana komunikasi. Sarana komunikasi melalui puisi adalah manifestasi tertinggi dari kecerdasan manusia di bidang bahasa. Masa selanjutnya dirasa puisi terlalu simbolis sehingga perlu dijabarkan. Maka dijabarkanlah dia secara filosofis. Selanjutnya filsafat itu dirasakan terlalu subjektif sehingga perlu dirumuskan kesepakatan bersama. Maka lahirlah disiplin ilmiah.

Manifestasi Tuhan yang Maha Pencipta ke dalam diri manusia menjadikannya mampu menghasilkan karya dalam wujud fisik. Sebab itulah pada masa lalu manusia menghasilkan seni ukir yang luar biasa. Hasrat akan karya terus mengalami perkembangan dan modivikasi sehingga manusia mampu menghasilkan kapal, mobil, pesawat, tv, ponsel dan lainnya.

Pada masa lalu, manusia menyembah karyanya sendiri yang disebut berhala. Manusia modern saat ini menyembah tv, ponsel dan sebagainya. Untuk ranah karya ide, manusia masa lalu menjadikan puisi, hikayat, modivikasi kitab suci sebagai pedoman hidup. Manusia modern menjadikan ideologi sebagai agama dan sains sebagai pedoman dan tumpuan hidup.

Menyembah berhala dan menjadikan ideologi sebagai pedoman hidup adalah menyembah selain Tuhan. Melalui jalan pikiran seperti ini, maka Pancasila yang merupakan ideologi, hasil produk ide manusia bila dijadikan asas dan pedoman hidup, adalah sama halnya dengan syirik. Bila demikian, tidak layakkah Pancasila menjadi dasar negara yang dihuni rakyat yang beragama?

Alasan di atas menyebabkan polemik yang berkepanjangan sehingga orang selalu memperbandingkan Islam dengan Pancasila.

Sunano mengatakan gerakan Islam muncul karena dua hal. Pertama interpretasi ummat terhadap teks, kedua adalah reaksi terhadap realitas. Saya kira ini berlaku bagi setiap agama. Pancasila adala reaksi atas realitas masyarakat muslim di Indonesia.

Pancasila memberi ruang agar semua produk hukum dan mobilisasi segala sistem bersesuaian dengan Islam. Namun, merujuk pada kisah negosiasi yang ditawarkan Quraish kepada Muhammad Saw untuk agar Nabi mengizinkan Quraish menyembah Allah juga namun dengan menggunakan perantara berhara. Nabi menolaknya mentah-mentah. Ada yang menyamakankan tawaran Quraish dengan model penerapan nilai-nilai Islam namun dengan berlambangkan Garuda, melalui Pancasila. Dengan analogi ini maka Pancasila adalah musuh mutlak Islam.

Pancasila harus dilihat sebagai hasil kesepakatan rakyat Indonesia yang juga setiap mereka membawa nilai-nilai agamanya untuk dirumuskan menjadi pancasila. Nilai mayoritasnya adalah Islam. Pancasila adalah sebuah usaha membumikan ajaran-ajaran Islam. Tema besar yang diusung Pancasila adalah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Tema-tema ini adalah esensi pokok dalam Islam. Melalui Pancasila, Islam telah menjadi konsepsi praktis sehingga sangat dekat dengan keseharian kita.

Mengenai alasan Pancasila tidak layak menjadi sebuah sistem karena tidak mengandung panduan atau pedoman yang lengkap seperti layaknya Islam yang mengatur mulai dari tata cara bersuci hingga politik luar negeri. Maka lima tema pokok tadi dapat dikembangkan kedalam aturan hukum yang detail dan holistik. Pancasila adalah asas yang mengatur tata kehidupan majemuk, tentang sistem interaksi, sistem untuk kelompok masyarakat bernama negara, jadi dia tidak mengatur urusan individu seperti ibadah, bersuci dan sebagainya. Ada muslim yang menolak Pancasila karena tidak mengatur mu'amalah (ekonomi) dan jinayah (hukum) sepeti aturan dalam Al-Qur'an. Saya kira persoalan itu terletak pada undang-undang (UU) yang dibuat, sama sekali bukan Pancasila. Malah Pancasila memaksakan agar ekonomi harus berlandaskan kemanusiaan dan kerakyatan serta hukum harus berlandaskan keadilan.

Melihat dari sejarah peradaban Islam, maka setiap rezim dirumuskan aturan untuk patuh pada aliran dan mazhab tertentu. Bahkan masa monarki aturan dan aliran dipaksakan pada rakyat yang berbeda mazhab dan aliran. Namun Pancasila sangat representatif bagi masyarakat Indonesia.

Setiap manusia punya subjektivitas. Subjektifitas ini memerlukan objektivitas agar terjadi integrasi antar manusia. Pancasila adalah sagana objektif masyarakat Indonesia.

Ada yang mengatakan Pancasila sudah tidak relevan lagi untuk masyarakat indonesia. Ini pernyataan yang aneh. Karena selama manusia masih ada, maka rumusan mengenai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan (berbeda dan tidak sama dengan penyeragaman), kerakyatan dan keadilan akan selalu dibutuhkan.

Ada yang mengatakan Pancasila sebagai alat kepentingan politik elit kekuasaan. Saya katakan Pancasila adalah memang alat. Dianya adalah produk akal manusia. Jadi selamanya harus sebagai alat, sebuah alat yang ditetapkan sebagai asas sekelompok masyarakat yang menamakan diri Indonesia. Jadi jangan salahkan politikus yang menggunakan Pancasila sebagai alat politik, tanyakan pada diri kita masing-masing kenapa tidak menggunakan Pancasila sebagai alat profesi kita. Bila kita mahasiswa, kenapa tidak menggunakan nilai-nilai pancasila sebagai alat untuk sukses study. Seorang wirausahawan harus menjadikan Pancasila sebagai alat yang menyemangati keadilan dan kesejahteraan sosial. Umpamakan sebuah pisau, seorang tukang rajang bawang marah pisau digunakan oleh tukang potong lembu untuk potong lembu. Padahal, bila dia mau pisau itu dapat juga digunakan untuk rajang bawang.

Islam memiliki cita-cita yang besar dan sangat universal. Sementara Pancasila adalah semacam sebuah visi yang diusung masyarakat Indonesia yang hampir semuanya muslim. Dalam kacamata Islam yang universal itu, Indonesia adalah sebuah organisasi yang mengusung lima visi yaitu kelima butir Pancasila dan misinya adalah UUD 1945 serta semboyannya adalah Bhinneka Tunggal Ika. Jadi tidak ada yang layak disebut bertentangan dengan Islam. Memperbandingkan Islam dengan Pancasila hampir sama seperti memperbandingkan Islam dengan organisasi Muhammadiyah. Pancasila adalah sikap masyarakat atas realitas yang mereka alami dan rasakan. Seperti Ahmad Dahlan yang medirikan Muhammadiyah untuk merespon perkembangan modern yang masuk ke dunia Islam. Memperbandingkan Islam dengan Pancasila adalah pendegradasian terhadap Islam.

Cara berfikir dengan memperbandingkan Islam dengan Pancasila mengingatkan kita akan paham Hegelian berupa tesis, anti tesil lalu membentuk sintesis. Umumnya manusia menganggap tesis adalah kontradiksi dengan sintesis. Padahal Hegel membangun konsep ini berdasarkan inspirasi hukum garak yang niscaya. Untuk menghasilkan sebuah gerak diperlukan keseimbangan tertentu. Misalnya keseimbangan energi proton dengan elektron menyebabkan elektron mengelilingi proton. Namun gerak yang dimaksudkan di sini tidak terbatas pada gerak material. Dari tidak tahu menjadi tahu juga disebut gerak.

Muhammadiyah dapat terus bergerak menjadi lebih progresil karena ada NU. Orang menganggap Muhammadiyah kontradiksi dengan NU padahal karena keseimbangan antara keduanya, maka masing-masing saling berlomba mengembangkan diri. Pancasila tidak memiliki penyeimbang untuk terus bergerak maju dan bergerak lebih mengakar kedalam jiwa masyarakat Indonesia.

Orang mencoba menjadikan Islam sebagai antitesis. Padahal ini tidak layak, tidak seimbang. Akal manusia memang suka mencari kontadiksi lalu memverivikasi untuk memudahkan mengenal sesuatu. Namun tidak benar menghadapkan Islam dengan Pancasila apalagi menjadikan yang satu sebagai tesis dan lainnya antitesis yang dipahami sebagai kontradiksi. Sebagai penyeimbangpun tak layak. Sehingga ada kalangan yang berusaha memunculkan isu adanya gerakan Islam sebagai asas negara sebagai alat menentang Pancasila dengan tujuan sebenarnya ingin menggerakkannya, ingin mengembangkan. Ini jalan yang keliru.

Masalah kompleks yang dialami bangsa Indonesia adalah karena Pancasila tidak dijiwai masyarakat. Pancasila hanya dilihat sebagai sistem. Sistem kesannya selalu sebagai tangan besi yang mengatur manusia dengan paksa. Jadi Pancasila selalu dilihat sebagai pengekang. Agar nilai-nilai Pancasila selalu tertanam dalam jiwa, diperlukan cara pendekatan pembelajaran yang baru kapada anak-anak Indonesia, bukan sekedar sebagai bagian mata pelajaran yang diajarkan dua kali 40 menit seminggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar