30 Oktober 2011

DISPARITAS :Negara dan Purifikasi Peran Pemerintahan


Menjadi amat wajar mayoritas warga Negara mempertanyakan peran Negara memenuhi tuntutan keadilan. Bukankah negara ini didirikan bersama, untuk menjamin kelayakan hidup semua warga Negara tanpa kecuali? Ketika totalitas energi nasional lebih mementingkan alokasi sistem sumber untuk pengesahan disparitas, akhirnya menjadi amat relevan mempersoalkan lebih penting mana kekuatan negara atau kekuatan pemerintahan.

Disparitas (kesenjangan) tetap menjadi masalah serius pembangunan Indonesia. Semua orang tahu itu. Dimensi disparitas itu begitu luas, mulai dari disparitas antarwilayah (vertikal) hingga keadaan yang membuat jarak sosial ekonomi yang nyata di tengah masyarakat (horizontal). Banyak indikator tentang itu, di antaranya kegiatan ekonomi dan pola dominasinya, infrastruktur dengan model pengadaan dan pemeliharaannya, serta tingkat kemiskinan dan sifat-sifatnya.

Membuat masalah disparitas vertikal dan horizontal ini seolah tak penting disorot dengan jalan berusaha melupakan atau mengedepankan teori penyesatan untuk mengesankan tak seperti itu buruknya, adalah hal yang selalu umum terjadi meskipun tetap sia-sia. Menghapusnya dari agenda tidak mungkin.

Negara dan Pemerintahan. Jika ditilik lebih detail pada tingkat regional Provinsi, Kabupaten, dan Kota, disparitas ini ternyata begitu dominan. Banyak daerah mencapai peningkatan ekonomi signifikan. Tetapi itu tak mungkin dibantah meski tak dapat menafikan fakta bahwa masih lebih banyak daerah yang jauh tertinggal.

Mengapa aktivitas ekonomi sejak awal dianggap lebih baik ditimpangkan? Meski dengan segenap catatan serius, di kota-kota besar yang menjadi pusat bisnis umumnya segala sarana dan prasarana sudah tersedia. Tingkat ketersediaan itu tidak pernah berhenti pada satu titik kepuasan. Karena kontinum itu tidak demikian di daerah, disparitaspun disahkan seolah menjadi identitas nasional. Di daerah sarana dan prasarana tidak tersedia. Karena itu aktivitas ekonomi menjadi rendah. Daerah-daerah yang bernasib seperti itu jumlahnya lebih banyak. Tingkat kemiskinan pun tinggi.

Menjadi amat wajar mayoritas warga Negara mempertanyakan peran Negara memenuhi tuntutan keadilan. Bukankah negara ini didirikan bersama, untuk menjamin kelayakan hidup semua warga Negara tanpa kecuali? Ketika totalitas energi nasional lebih mementingkan alokasi pengesahan disparitas, akhirnya menjadi amat relevan mempersoalkan lebih penting mana kekuatan negara atau kekuatan pemerintahan. Pertanyaan-pertanyaan tentang keniscayaan kehadiran pemerintahan yang kuat atau Negara yang kuat, mestinya tidak harus dijawab kecuali hanya dengan ukuran seberapa makmur atau seberapa menderita sebuah negeri. Menjadi amat perlu diperjelas pertentangan besar antara peran negara dan pemerintahan dalam membuat distribusi dan alokasi yang lebih adil. Mengapa bahasa Negara begitu berbeda dengaan bahasa pemerintahan?

Isyu Strategis. Di tengah harapan akselerasi pembangunan menyeluruh, apalagi di tengah proses mencapai apa yang disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) khususnya untuk mengatasi kemiskinan di segala aspek, mau tidak mau daerah atau potensi-potensi domestik dalam kawasan-kawasan regional tertinggal amat mendesak digerakkan. Negara mengenali permasalahan ini dengan amat baik. Negara juga berbicara lantang bahwa dengan berlangsungnya secara adil pembangunan ekonomi yang merata dan sekaligus terintegasi, Indonesia pasti mampu semakin mendekati cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh para the founding father. Maka telah tiba saatnya mempertanyakan political will pemerintahan. Tetapi pemerintahan itu adalah sebuah keramaian. Kerap pula tak terkendali. Wajah dan tangannya jamak, dan semakin hari semakin pandai berapologi. Ini akan membuat Negara semakin malu hati karena tak berbicara lagi tentang kesejahteraan.

Bagaimana cara beranjak dari disfungsionalitas itu? Pertanyaannya lebih patut ditujukan kepada pemerintahan. Pemerintahan yang diharapkan mampu melakukan perubahan itu amat perlu tahu bahwa tuntutan perubahan dewasa ini sesungguhnya telah semakin menampakkan pentingnya keadilan untuk semua. Bukankah setiap orang kini tahu dengan jelas bahwa Indonesia masih merupakan Negara yang dihadapkan kepada masalah-masalah mendasar yang bersifat amat elementer terkait peran pemerintahan memajukan kesejahteraan?

Berdasarkan pertimbangan pengimplementasian mandat politik menurut alokasi waktu dan kesempatan yang sudah berlalu dan yang masih tersisa dalam kurun kepemimpinan nasional ke depan, secara pasti diyakini tidak ada lagi celah untuk apologi. Daripada akan berpolemik berkepanjangan tentang isyu-isyu yang tak strategis dan yang tak terkait dengan maslahat rakyat, energi politik bangsa sebaiknya tidak dibiarkan sia-sia. Terutama potensi serta kemampuan seluruh jajaran pemerintahan, sudah sebaiknya secara sadar diarahkan meninggalkan eufimisme dan serta-merta menggantikannya dengan kepeloporan nyata, sambil membenahi serius kendala-kendala birokrasi dan aneka deviasi norma dan konstitusi yang menjadi sumber stagnasi.

Agenda Politik Pemerintahan. Secara kritis dan partisipatif, sebagai salah satu kekuatan pilar utama demokrasi, partai tentu saja masih tetap menjadi institusi tempat rakyat menaruh harapan. Ini tidak perlu diukur dengan tingkat kesukaan dan ketidak-sukaan, karena masalahnya hanyalah soal keniscayaan belaka. Terhadap pentingnya kemampuan pemerintah dan begitu pentingnya tetap mendorong upaya untuk mempercepat pembangunan yang dapat menyertakan rakyat secara menyeluruh dengan penuh keadilan, diyakini rakyat sudah lama siap. Jadi, itu adalah sebuah tumpukan utang besar yang wajib dituntaskan dengan agenda politik pemerintahan.

Indonesia sangat memerlukan kerangka besar purifikasi (pemurnian) yang dapat merupakan kelanjutan reformasi sistemik dan bertahap terutama dalam kaitannya dengan purifikasi keyakinan-keyakinan politik di satu pihak yang ditopang oleh pengembangan struktur-struktur politik yang dinamis dan mengacu kepada pertimbangan pentingnya partisipasi politik rakyat tanpa eliminasi dalam bentuk apa pun. DI pihak lain kita menemukan kebenaran fakta bahwa kebijakan yang tepat sekalipun tidak akan mungkin terlaksana tanpa jaringan kinerja birokrasi yang sehat. Oleh Karena itu sama pentingnya mendesign kebijakan yang tepat dan proses orbitasi pemimpin-pemimpin yang amanah untuk semua level.

Pada hakekatnya memberdayakan Negara untuk tujuan tertinggi keadilan dan kemakmuran rakyat berkaitan dengan 4 (empat) domain tugas penting dengan misi utama yang dituntut secara imperatif oleh konstitusi:Pertama, memelihara dan meneguhkan identitas bersama sebagai suatu bangsa tanpa menutup diri terhadap interaksi dengan dunia luar dalam penyerapan eklektif terhadap tuntutan-tuntutan moderenisasi. Semua itu tentulah harus selalu berpreferensi kepada sejarah dan nilai kepribadian bangsa;

Kedua, pengorganisasian alat-alat kekuasaan yang efektif sesuai pola-pola kemajuan zaman dan berorientasi kepada pemberdayaan masyarakat. Pentingnya penegakan prinsip-prinsip good governance dan clean government akan semakin terbuktikan manakala pengabaiannya telah mengakibatkan munculnya fenomena-fenomena pathologi birokrasi yang malah semakin membebani masyarakat.

Ketiga, penegakan wewenang yang sah, metode dan implementasinya yang maju, bermoral, jujur sejujur-jujurnya dan adil seadil-adilnya. Legitimasi menjadi pokok pertanyaan penting sekaitan dengan dorongan ke arah demokrasi modern yang tidak sekadar arena pertikaian yang melelahkan sembari menjatuhkan martabat karena hanya mementingkan prosedural yang tidak substantif sama sekali.

Keempat, masalah produksi dan distribusi barang dan jasa yang diselenggarakan secara berkeadilan dan mementingkan keberdayaan serta akses masyarakat luas tanpa mengingkari potensi yang dimiliki oleh Negara. Bukan cuma ketergantungan kepada kekuatan asing yang menjadi noda buruk dalam hal ini, melainkan kedaulatan sebagai Negara yang merdeka, dan penciptaan regulasi yang sehat dan mampu memfasilitasi perubahan tanpa cacat kesenjangan di luar ambang batas toleransi psikologis dan politik yang rawan stabilitas.

Penutup. Indonesia harus menumbukan sebuah keyakinan baru bahwa politik sebagai upaya mengejar kepentingan umum adalah sebuah keluhuran. Pengoperasian negara secara benar dan sehat menjadi implementasinya di lapangan. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum yang mensejahterakan rakyat banyak tak dapat berhenti sebatas berkutat pada ukuran-ukuran subjektif yang tidak terkait dengan nilai dan derajat kehidupan yang difahami secara objektif oleh masyarakat. Kira-kira dimanakah letak reshuffle kabinet dalam kesulitan serius ini?

Naskah ini pertamakali dimuat Harian Waspada Medan Kamis, 20 Oktober 2011 hlm B4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar