14 Oktober 2011

Sejarah Guru dan Pengertiannya


WJS Poerwadarminta dalam kamus umum bahasa Indonesia yang disusunya mengartika bahwa guru adalah orang yang pekerjaanya mengajar.[1] Dalam Ensiklopedi bebas Wikipedia, pengertian guru menggambarkan guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.[2]

Dalam lintasan sejarah, guru memegang peranan-peranan penting dalam menjalankan dan mengendalikan pimpinan negara dan kerajaan pada zaman dahulu kala. Dalam sejarah mesir kuno, guru diartikan sebagai seorang filosof yang menjadi penasihat raja. Kata-kata guru menjadi pedoman dalam memimpin negara.

Dalam zaman kegilangan falsafah Yunani, Socrates, Plto dan Aristoteles adalah guru-guru yang mempengaruhi perjalanan sejarah Yunani. Karena itulah, para filosof arab mengatakan Aristoteles sebagai guru pertama. Sedang Al-Farabi, orang yang paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles diberi gelar guru kedua.[3]

Sejarah Guru dalam lintasan masa.

Dalam sejarah Islam, pengertian guru adalah ulama’. Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu mengajarkan wahyu itu kepada pengikut-pengikutnya. Mula-mula di rumahnya sendiri, kemudian rumah saudara-saudaranya barulah ke khayalak umum. Dalam seluruh kegiatan Nabi tersebut, guru selalu disertakan. Dalam perjanjian, perang juga menyebarkan ajaran Islam ke daerah-daerah yang baru.

Setelah negara Islam bertambah luas, disiapkanlah orang-orang tertentu yang mengajarkan Islam kepada anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Sudah tentu orang yang menjalankan pengajaran itu adalah orang yang paling mengerti akan Islam. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya “ulama’ adalah pewaris para nabi”.

Sejarah perkembangan sekolah dalam dalam Islam menunjukkan bahwa pendidikan Islam diadakan di pondok-pondok, madrasah atau surau didirikan sebab adanya ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid dari berbagai pelosok. Seperti Imam Syafi’i yang pergi berguru pada Imam Malik di Madinah, walau Imam Syafi’i lahir di Palestina dan dibesarkan di Mekah. Begitu juga Imam Al-Ghazali pergi berguru kepada Imam Al-Juwaini yang bergelar Imam Al-Haramain, walau Imam Al-Ghazali berasal dari Khurasan (sekarang di Iran). Hubungan murid dan guru begitu eratnya sehingga walaupun seorang murid lebih masyhur daripada gurunya, tetapi ia selalu setia dan hormat kepadanya.

Arti guru menjadi lain ketika penjajahan barat menginjakkan kakinya di negri jajahanya.Contohnya penjajahan belanda di nusantara. Berdirilah sekolah Belanda di negri ini. Namun, sekolah itu bukan karena ada ulama’ terkenal yang dikunjungi oleh murid-murid dari seluruh pelosok, tetapi sebab penjajah itu perlu pegawai untuk menjalankan penjajahan mereka. Dengan kata lain, sekolah bertujuan menghasilkan orang yang dapat menjadi pegawai atau pekerja bila tak mau disebut alat penjajah. Bahkan, beberapa anak pintar di sekolah dilarang meneruskan ke jenjang selanjutnya sebab dikhawatirkan akan menuntut kemerdekaan.

Arti dan pengertian guru dan sekolah berubah kembali pada masa setelah kemerdekaan. Setelah merdeka, timbul tujuan-tujuan lain selain penciptaan tenaga kerja dan pegawai. Misalnya, perpaduan negara, pengembangan sumber daya manusia, perbaikan mutu pendidikan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, timbullah nilai-nilai baru yang harus menjadi tujuan kurikulum pelatihan guru yang dalam masa penjajahan tidak terwujud.


[1] WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 2007) h.393

[2] Ensiklopedi Bebas Wikipedia, id.wikipedia.org/wiki/Guru

[3] Prof. Dr. Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, suatu analisa psikologi dan pendidikan(Jakarta: Al-Hussna Dzikra, 1995) h.228

Tidak ada komentar:

Posting Komentar